Jadi, saya yang sampai sekarang pun masih belajar sejarah peradaban akan sangat hati-hati dengan tawaran populisme yang biasanya dipimpin oleh pemimpin kharismatik, tapi di balik itu penuh dengan kepalsuan. Sebab apa pun pergantian kekuasaan yang hanya dilandasi oleh kebencian, percayalah, tidak akan mengubah apa pun selain aktor, aktris, penari latar, kostum dan backdrop.
Oleh : Marlin Dinamokanto
JERNIH–Populisme menjadi brutal saat bicara tentang “Kami” (tertindas) dan “Mereka” (Penindas). Kalau sangkaan itu terlihat nyata, kami tidak memiliki akses dan sumber daya, sedangkan mereka memiliki segala-galanya: uang dan kekuasaan, maka populisme yang brutal itu menemukan momentumnya untuk berkuasa. Itulah sebabnya mengapa Polpot didukung petani-petani miskin, Hitler didukung unskiled labour dan Mussolini didukung para burtok (buruh toko).
Tapi karena Populisme hanya dilahirkan dari prasangka dan kebencian, niscaya tidak akan pernah mengubah apa pun. Bahkan mungkin mereka tidak mengenal filosofi kekuasaan “Roti”dan “Sirkus” karena sepanjang hidupnya hanya memainkan satu peran, yaitu orang-orang yang teraniaya. Maka pemimpinnya gagap saat berkuasa, sedangkan pengikutnya masih suka memainkan lagu lama. Lagu -lagu yang dinyanyikan dengan nada dan irama kebencian.
Apakah keteraniayaan itu menjadi energi positif bagi kekuasaan “kami”? Sayangnya, Hitler, Mussolini, Polpot, justru memberikan contoh dari sisi yang sebaliknya. Para “kami” ini menaruh dendam kesumat kepada “mereka” dan mengirimnya ke lobang pembantaian. Adat dan pikiran tua sudah terkubur oleh keseketikaan rasa dendam dan telunjuk orang-orang yang merasa dizolimi di sepanjang hidupnya. Persekusi, pemerasan dan pembantaian datang menggantikan adat dan pikiran tua yang penuh penghisapan.
Penindasan manusia yang satu ke manusia lainnya akan terus terjadi. Ibarat sebuah konser, nada dan irama yang dimainkan tetap sama -hilangnya rasa welas asih. Tapi aktor dan aktrisnya berubah. Begitu juga dengan penari latar, kostum dan backdrop. Perubahan hanya terjadi pada hal-hal permukaan, bukan pada hal-hal substansial, karena memang para “kami”itu tidak berangkat dari kemanusiaan. Melainkan didorong oleh kebencian yang membuat sepanjang hidupnya terperangkap suasana bathin “keteraniayaan”.
Jadi, saya yang sampai sekarang pun masih belajar sejarah peradaban akan sangat hati-hati dengan tawaran populisme yang biasanya dipimpin oleh pemimpin kharismatik, tapi di balik itu penuh dengan kepalsuan. Sebab apa pun pergantian kekuasaan yang hanya dilandasi oleh kebencian, percayalah, tidak akan mengubah apa pun selain aktor, aktris, penari latar, kostum dan backdrop.
Tentang bagaimana mewujudkan dunia yang lebih baik, memang tidak sepenuhnya terbebas dari penindasan tapi ada semangat untuk memperbaiki tata kelola kekuasaan yang berpijak kepada kepentingan orang banyak, itulah yang selalu menjadi obsesi dan cita-cita saya. Dan saya optimistis, dengan kesabaran seorang Khrisna itu akan terwujud.
Bukan dengan cara menggila seperti Prabu Destarastra sehingga dia mati tertimbun puing-puing bangunan akibat kegilaannya sendiri. Tidak. Melainkan dengan tetap memuliakan (atau tetap berpijak kepada rasa) kemanusiaan, karena tujuan perjuangan itu sendiri bukan dominasi oleh ideologi maupaun agama, melainkan pemuliaan manusia.
Saya tidak pernah melihat perjuangan yang dibutakan oleh kebencian akan berguna untuk kemanusiaan. Nelson Mandela bisa dijadikan contoh yang bagus tentang hal ini. Bagaimana dia memimpin sendiri gerakan melawan kebencian sebagian besar rakyatnya yang kulit hitam terhadap warga kulit putih melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR). Bukan justru memperpanjang persangkaan-persangkaan ras dan memulung kembali politik “pemurnian agama” yang sudah ada sejak Abad Pertengahan, untuk dijadikan bolduser yang diharapkan mampu menjebol tembok kekuasaan yang tidak diinginkannya.
Karenanya, segeram-geramnya terhadap kondisi yang ada sekarang ini, saya tidak akan pernah mau diajak menggila seperti Prabu Destarastra. Melainkan harus– mengutip istilah Bung Karno dalam “Di Bawah Bendera Revolusi”–menyusun kekuatan atau MACHTSVORMING seperti Prabu Khrisna yang penuh perhitungan taktik, strategi dan kebijaksanaan.
Penggunaan kekuatan atas penyusunan kekuatan yang riil sebagaimana pernah dilakukan Nelson Mandela di Afrika Selatan, akan lebih membangun dialektika peradaban ke arah yang lebih baik–meskipun tidak pernah akan sempurna karena kita hidup dalam habitat manusia, Yang dan Ying ada di sana Namun sayang, penyusunan kekuatan (baca: konsolidasi kekuatan perubahan) di Indonesia tidak pernah dilakukan sehingga upaya-upaya rekonsiliasi yang sudah dimulai sejak awal 2000 senantiasa gagal dilaksanakan.
Akhirnya Indonesia terombang-ambing dalam kondisi status quo – secara de facto tidak pernah break dengan masa lalu– dan siapa pun pemerintahan hasil pemilu demokratis yang berkuasa tidak mampu melangkah ke depan (progresif) karena selalu direcoki oleh persoalan masa lalu yang mengganggu sirkulasi darah dan pernapasannya. [ ]
*Marlin Dinamikanto, aktivis dan seniman penuh dinamika