Site icon Jernih.co

Bolehkah Presiden Jokowi Absen dalam Pelantikan Prabowo Sebagai Presiden?

Presiden Jokowi dan Presiden terpilih Prabowo Subianto bertemu makan malam bersama, Selasa (8/10/2024) malam. (Foto: Instagram @Jokowi)

Jika Jokowi tidak hadir dalam pelantikan Prabowo, situasi ini akan mencatat preseden baru dalam sejarah modern Indonesia. Meski tidak ada ketegangan politik yang terlihat setajam era peralihan Soekarno-Soeharto, ketidakhadiran Jokowi tetap akan memicu berbagai interpretasi politik, mulai dari bentuk protes hingga alasan yang lebih bersifat pribadi.

Oleh    : Darmawan Sepriyossa

Publik Indonesia sempat terkejut manakala pada Selasa (8/10/2024) Presiden Jokowi seolah membuka peluang dirinya tidak hadir pada prosesi pelantikan Prabowo sebagai presiden, 20 Oktober mendatang. “Ya mungkin ndak,” kata Jokowi kepada wartawan di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta. Saat itu Presiden menyampaikan dirinya akan segera pulang ke Solo, sesegera setelah lepas jabatan. “Tanggal 20 Oktober sore saya pulang ke Solo,” kata Jokowi.

Namun, hanya berbilang jam, pernyataan Presiden itu diralat Menteri Sekretaris Negara Pratikno. Ia menegaskan Presiden Jokowi bakal hadir pada hari pelantikan Prabowo. “Insya Allah dateng. So pasti lah, so pasti Pak Presiden hadir di pelantikan nanti 20 Oktober. Pak Presiden memang sejak awal sudah mengatakan akan datang di pelantikan,” kata Pratikno di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, di hari yang sama.

Tentu saja kita semua bersyukur bahwa apa yang sempat kita khawatirkan, yakni absennya Jokowi di hari pelantikan presiden yang menggantikannya, tidak terjadi. Namun demikian, wacana yang sempat mengemuka tersebut tak ayal meletikkan pertanyaan=pertanyaan kritis tentang bagaimana sejatinya persoalan tersebut dari sisi etika, hukum dan mungkin tradisi politik? Apakah seandainya presiden demisioner tidak hadir, bisakah hal itu diterima dalam tradisi politik Indonesia? Bagaimana dengan preseden di negara lain? Apakah ada aturan yang mewajibkan atau setidaknya mengatur kehadiran seorang presiden petahana dalam momen penting tersebut?

Preseden sejarah dari Soekarno hingga Jokowi

Dalam sejarah politik Indonesia, transisi kekuasaan yang turut dihadiri presiden petahana merupakan suatu simbol penting dari penghormatan terhadap proses demokrasi dan hasil pemilu. Sebagai contoh, pada 2014, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hadir dalam pelantikan Joko Widodo sebagai presiden. Kehadiran itu memberikan pesan kuat bahwa proses transisi berjalan damai, tanpa ketegangan politik yang berarti.

Namun, ada juga kasus yang berbeda. Saat Soekarno digantikan Soeharto, presiden pertama Indonesia itu tidak hadir dalam pelantikan Soeharto sebagai presiden pada 1968. Soekarno tidak hanya tidak diundang, tetapi juga sedang dalam kondisi tahanan rumah akibat peralihan kekuasaan yang penuh gejolak politik sejak dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 1966. Kesehatan Soekarno juga memburuk saat itu, sehingga kehadirannya dalam pelantikan sangat tidak mungkin. Soekarno, yang tidak lagi memiliki peran politik aktif, akhirnya meninggal pada 21 Juni 1970.

Jika Jokowi tidak hadir dalam pelantikan Prabowo, situasi ini akan mencatat preseden baru dalam sejarah modern Indonesia. Meski tidak ada ketegangan politik yang terlihat setajam era peralihan Soekarno-Soeharto, ketidakhadiran Jokowi tetap akan memicu berbagai interpretasi politik, mulai dari bentuk protes hingga alasan yang lebih bersifat pribadi.

Di negara-negara lain pun, presiden petahana umumnya hadir dalam pelantikan penggantinya sebagai bagian dari tradisi demokrasi yang mapan. Namun, terdapat beberapa pengecualian.

Contoh yang paling menonjol adalah Presiden Donald Trump, yang memilih untuk tidak menghadiri pelantikan Joe Biden pada Januari 2021. Trump, yang berulang kali mengklaim tanpa bukti adanya kecurangan dalam Pemilu, memutuskan untuk absen. Itu menjadi sebuah langkah yang menandai pertama kalinya dalam lebih dari 150 tahun seorang presiden AS tidak hadir dalam pelantikan penggantinya. Ketidakhadiran Trump, yang dianggap melanggar tradisi politik Amerika Serikat, menjadi sorotan besar di dunia internasional, terutama karena ini dianggap sebagai simbol ketidakpuasan yang mendalam atas hasil Pemilu.

Di Brazil, Jair Bolsonaro juga memilih untuk tidak menghadiri pelantikan penggantinya, Luiz Inácio Lula da Silva, pada 2023. Keputusan Bolsonaro itu dipicu ketegangan politik setelah kekalahannya dalam Pemilu. Kasus Bolsonaro dan Trump menunjukkan bahwa ketidakhadiran presiden petahana, meskipun tidak lazim, bisa terjadi, terutama dalam konteks ketidakpuasan politik atau persaingan sengit.

Etika politik: sisi fatsoen dan kepatutan

Kehadiran presiden petahana dalam pelantikan penggantinya tidak hanya mencerminkan pengakuan atas hasil Pemilu, tetapi juga dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap proses demokrasi. Dalam budaya politik yang menghargai fatsoen (etika politik), ketidakhadiran seorang presiden petahana bisa dipandang sebagai bentuk ketidaksopanan atau ketidakpatutan.

Secara tradisi, kehadiran presiden petahana menunjukkan bahwa persaingan politik yang terjadi selama pemilu telah berakhir, dan semua pihak bersatu kembali untuk menjaga stabilitas negara. Ketidakhadiran, meski mungkin disebabkan oleh alasan pribadi atau kesehatan, tetap bisa menimbulkan spekulasi dan interpretasi negatif. Jika presiden petahana memilih untuk tidak hadir tanpa memberikan alasan yang jelas, publik dapat menafsirkannya sebagai bentuk ketidakpuasan atau bahkan protes politik.

Namun, terdapat pengecualian yang bisa dimaklumi. Jika seorang presiden petahana memiliki alasan kesehatan yang serius atau urusan keluarga yang sangat mendesak, ketidakhadiran bisa diterima oleh publik. Meski demikian, komunikasi yang baik tetap penting agar alasan ketidakhadiran tidak disalahartikan oleh publik dan pihak-pihak terkait.

Persoalannya, bila presiden demisioner itu tak hadir, apakah ada aturan yang dilanggar?  Dari sudut pandang hukum, tidak ada kewajiban konstitusional yang mengharuskan seorang presiden petahana untuk hadir dalam pelantikan penggantinya di Indonesia. Pelantikan presiden diatur Undang-Undang Dasar 1945, di mana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berperan sebagai lembaga yang melantik presiden dan wakil presiden terpilih. Proses ini tidak melibatkan keharusan hadirnya presiden petahana.

Namun, di beberapa negara, sudah ada aturan tentang transisi kekuasaan secara lebih rinci. Di Amerika Serikat, misalnya, Presidential Transition Act mengatur tentang kerja sama antara presiden yang akan meninggalkan jabatannya dengan presiden terpilih. Tetapi memang, tidak juga mewajibkan presiden petahana untuk hadir dalam acara pelantikan. Tradisi kehadiran ini lebih merupakan norma politik yang sudah lama terbentuk.

Di Inggris, meskipun sebagai monarki kepala negara mereka adalah raja, pergantian perdana menteri dihadiri oleh raja atau ratu sebagai simbol transisi kekuasaan. Meski tidak ada hukum yang mewajibkan kehadiran mereka dalam upacara pelantikan, kehadiran tersebut sudah menjadi bagian dari tradisi konstitusional yang dihormati semua pihak.

Refleksi dan solusi

Jika Jokowi tidak hadir dalam pelantikan Prabowo, hal itu akan menciptakan preseden baru dalam sejarah Indonesia. Meski ketidakhadiran presiden petahana tidak melanggar hukum, absennya seorang pemimpin dalam transisi kekuasaan dapat menimbulkan interpretasi politis yang beragam. Stabilitas dan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi harus menjadi pertimbangan utama.

Dalam konteks etika politik, kehadiran presiden petahana tetap diharapkan sebagai simbol pengakuan terhadap hasil pemilu dan dukungan terhadap proses transisi yang damai. Absennya presiden petahana bisa diterima jika ada alasan yang sah, tetapi tanpa alasan yang jelas, hal ini dapat memperkeruh suasana politik.

Pada akhirnya, keputusan untuk hadir atau tidak hadir akan dinilai tidak hanya dari aspek legalitas, tetapi juga dari bagaimana publik dan sejarah melihat sikap tersebut dalam konteks politik dan etika. [ ]

Exit mobile version