Site icon Jernih.co

Capres dan Tanah Untuk Rakyat

Ilustrasi, Menteri Luhut Panjaitan

Bukannya negara merampas kembali miliknya, menghukum perampas tanah dan menegakkan kedaulatan rakyat di atas tanah tersebut, malah pemerintah mengatakan bahwa pemutihan itu adalah kondisi terpaksa. Juga, katanya, akan lebih baik buat kepastian usaha dan pembayaran pajak. Sambil merujuk pasal-pasal dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Oleh     :    Syahganda Nainggolan*

JERNIH–Ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia sudah menjadi perbincangan lama. Hal ini bersifat struktural, maksudnya hanya segelintir orang menguasai puluhan juta hektare lahan. Di perkotaan dan di luar perkotaan nasibnya sama. Segelintir orang ini berkonspirasi dengan kekuasaan lokal maupun nasional mengatur kepemilikan tersebut.

Namun, menariknya, beberapa hari ini kita terguncang dengan isu pemerintah akan memutihkan penguasaan ilegal 3,3 juta ha lahan di tengah hutan. (lihat detik.com, 23/6/23). Bukannya negara merampas kembali miliknya, menghukum perampas tanah dan menegakkan kedaulatan rakyat di atas tanah tersebut, malah pemerintah mengatakan bahwa pemutihan itu adalah kondisi terpaksa. Juga, katanya, akan lebih baik buat kepastian usaha dan pembayaran pajak. Sambil merujuk pasal-pasal dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Syahganda Nainggolan

Asa rakyat telah hilang dalam era Jokowi ini. Nawacita dan revolusi mental plus istilah Gotong Royong sekedar jargon untuk memuliakan visi misi kampanye. Namun, setelah sembilan tahun, harapan tinggal harapan.

Karenanya kita harus serius melihat visi dan janji calon presiden ke depan. Apakah mereka punya komitmen tinggi dalam memberikan kemakmuran bagi semua rakyat. Bisakan mereka kelak mengikuti jejak pendiri bangsa, melaksanakan land reform?

Prabowo Subianto

Kita mulai dengan Prabowo.  Prabowo Subianto, Antaranews, 29/9/10, dalam “Prabowo: Tanah dan Laut Hanya Untuk Rakyat”, mengatakan “Jadi, kalau kekayaan keduanya itu (tanah dan laut) kini terbalik kemudian dinikmati oleh segelintir pihak tanpa memberi peluang mensejahterakan rakyat, hal itu sama artinya mengkhianati UUD 1945, sekaligus memberangus berbagai peraturan yang kita buat lainnya, termasuk merusak harapan dan moral rakyat untuk dapat hidup lebih baik”. Itu dari mulut Prabowo sendiri.

Sembilan tahun kemudian dalam debat kampanye 2019, Prabowo mengatakan pada Jokowi bahwa dia siap menyerahkan semua tanahnya asal untuk kepentingan negara. Tanah Prabowo saat itu tercatat 340.000 Ha, di Kaltim dan Aceh. Prabowo menyatakan ini setelah disindir Jokowi sebagai Landlord (tuan tanah) dalam debat, sebagai balasan kritik Prabowo mempersoalkan ketimpangan kepemilikan lahan di era Jokowi jilid satu.

Kini Prabowo telah menjadi penguasa. Soal mimpinya dahulu tentang mengambil tanah-tanah terlantar dan membagi untuk rakyat, kelak jika berkuasa, akhirnya hanya mimpi di siang bolong. Partainya pun tidak berdengung lagi soal tanah untuk rakyat. Partai ini bahkan pendukung UU Omnibus Law yang memberi power bagi oligarki menguasai berbagai kekayaan alam kita. Siapa pun orang baik, ketika masuk dalam rezim Jokowi, kelihatannya akan berubah.

Ganjar Pranowo

Ganjar Pranowo tidak membantah dirinya terlibat dalam pembuatan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Hal itu berbeda dengan Anies Baswedan. Ketika pemerintah pusat mengklaim seluruh gubernur dilibatkan dalam proses penyusunan UU itu, Anies membantah terlibat.

Seperti dalam kasus rencana pemutihan 3,3 juta ha lahan sawit ilegal yang kita singgung di atas, omnibus law cipta kerja yang jadi rujukan LBP, memberi kepastian pada kita bahwa UU ini memang dirancang untuk melemahkan negara dan memperkuat oligarki. Kehadiran UU itu adalah untuk membangun negara  korporatokrasi. Negara di mana korporasi besar berkuasa. Dalam istilah Marxian, itu disebutkan negara sebagai proxy kapitalis.

Ganjar dan partainya adalah pendukung UU Omnibus Law.

Dalam wilayah kegubernurannya, Ganjar tercatat tidak memihak rakyat dalam kasus tanah Wadas, dan Kendeng. (Lihat: pinterpolitik.com/in-depth/wadas-kendeng-mampu-jegal-ganjar/?amp=1). Ganjar bahkan tidak memihak rakyat ketika aparat menangkapi dan membantai rakyat Wadas ketika dipaksa digusur.

Mentor Ganjar, Megawati Sukarnoputri sendiri tidak mempunyai pemihakan pada isu tanah rakyat. Ketika Mega pidato dalam acara Bulan Besar Bung Karno, 24/6/23 lalu, Megawati tidak sedikit pun mengkritik rencana pemerintah memberikan 3,3 juta lahan kepada segelintir orang kaya. Padahal pada pidatonya, dia menyinggung bahwa negara kita kaya raya tapi tidak terjadi pemerataan. Harusnya Mega seperti bapaknya, meminta tanah 3,3 juta itu untuk Land reform. Diberikan pada petani-petani sawit.

Dengan membahas isu tanah untuk rakyat adalah satu contoh untuk faham, bahwa rezim ini tidak pro rakyat. Janji Nawacita lebih banyak menghasilkan sertifikasi lahan. Memang ada juga membagikan lahan hutan  dalam konteks “TORA”, alias Hutan Sosial. Namun, itu jauh dari pengertian Land reform, di mana lahan-lahan terlantar dan lahan yang dikuasai secara ilegal dalam jutaan hektare seyogyanya langsung diambil negara. Negara harus kuat berhadapan dengan mafia-mafia tanah yang sok jagoan berkuasa secara ilegal.

Berharap pada capres Anies

Capres Anies Baswedan dalam visinya tentang negara dan rakyat jelas, yakni untuk apa ada negara kalau rakyat tidak bisa memiliki tanah. Hal ini menjadi tagline dalam wawancara eksklusif Anies Baswedan oleh Karni Ilyas dalam ILC dua bulan lalu. Dalam wawancara itu Anies memperkuat posisinya dengan kasus “Tanah Merah, Tanah Bukit Duri dan Tanah Aquarium” serta lainnya di mana Anies berpihak pada rakyat. Dalam hal reklamasi Jakarta juga, Anies menunjukkan bahwa negara harus mengatur swasta alias konglomerat pemilik konsesi reklamasi, bukan sebaliknya.

Memang, dalam berbagai dilema pembangunan, antara “Growth oriented” versus “share prosperity” tidak gampang menyelesaikannya, baik secara teknokrasi maupun dominasi. Jika negara dominan terhadap pengusaha, perlu ketajaman strategi dan aksi untuk membuat pembangunan berjalan untuk mempertahankan pertumbuhan (growth). Sialnya, seringkali penguasa beralibi bahwa pertumbuhan adalah segala-galanya, sehingga mengorbankan nasib rakyat dan lingkungan hidup.

Lebih kacau lagi, dalam kasus-kasus yang terjadi di era Jokowi, seperti baru-baru ini, kekayaan alam nikel kita diekspor secara ilegal ke Cina dalam jumlah 5 juta ton, yang diungkapkan KPK. Begitu juga soal lahan 3,3 juta ha ilegal yang sudah kita bahas. Tentu ini karena kekuasaannya Jokowi didominasi pengusaha. Khususnya karena pengusaha tersebut merangkap sebagai penguasa. Seperti pengakuan Jokowi di hadapan calon investor Singapura beberapa hari lalu, “You know, I am also bussinessman“, kata Jokowi di hadapan mereka.

Berharap pada Anies Baswedan tentunya berharap mengembalikan negara pada fungsi fundamentalnya, yakni memihak rakyat yang belum sejahtera. Dalam hal kekayaan alam, bagaimana memberikan akses sebesar-besarnya pada UMKM dan koperasi, agar penyebaran aset negara terjadi, sehingga produktifitas rakyat merata.

Penutup

Tanah untuk rakyat adalah sebuah isu besar bangsa ini. Memang tanah bukan satu-satunya aset strategis dalam dunia modern sekarang ini. Namun, sementara ini kekayaan negara masih terletak pada tanah dan isinya tersebut. Jadi kita harus fokus pada isu tanah untuk cita-cita keadilan sosial.

Dari tiga capres yang ada saat ini, hanya Anies Baswedan yang mempunyai visi tanah untuk rakyat. Bahkan Anies sering berseberangan dengan cukong cukong dan pengusaha dalam membela rakyat yang digusur.

Kita tentu berharap pertentangan Anies untuk menghadirkan negara dominan terhadap cukong maupun pengusaha dapat terwujud. Hal ini tentu berat, sebab, misalnya, Indonesia membutuhkan waktu 350 tahun mengusir oligarki VOC dari Indonesia. Namun, kita tidak boleh lelah berjuang. Bersama Anies Baswedan kita tetap melangkah, memenangkan hak-hak rakyat di tanah airnya sendiri. Itu kewajiban historis kita menjaga arah bangsa ini. [  ]

*Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

**Solilokui adalah ruang opini pribadi para penulis, tak selalu sejalan dengan kebijakan redaksi.

Exit mobile version