AH tidak bisa dibilang terlambat untuk menjadi salah satu karang. Ia membentuk Koalisi Indonesia Baru (KIB), dan pernah memimpinnya. Peluangnya sebagai capres terbuka saat itu. Tapi mengelola “bola capres”-nya, ia gagal. AH tidak hanya kehilangan “bola” melainkan juga bisa kehilangan “lapangan” saat kubu oposisi internal Golkar menggoyangnya melalu isu Munaslub. Bahkan melalui Dewan Etik Partai Golkar saat ini.
Oleh : Robi Nurhadi*
JERNIH—Partai Golkar adalah mantan partai penguasa. Taste-nya Golkar adalah penguasa. Maka, siapa pun ketuanya, posisi menjadi penguasa adalah target. Airlangga Hartarto (AH) didampuk menjadi ketua umum menggantikan Setya Novanto, tentu targetnya sama.
Masalah muncul saat penguasanya terbelah menjelang Pilpres 2024. AH terjepit di antara tiga karang: kubu Ganjar, Anies, Prabowo. Munas Partai Golkar memintanya menjadi calon presiden, tiga karang tersebut hanya menyisakan posisi cawapres.
Dari segi strategi, AH tidak bisa dibilang terlambat untuk menjadi salah satu karang. Ia membentuk Koalisi Indonesia Baru (KIB), dan pernah memimpinnya. Peluangnya sebagai capres terbuka saat itu. Tapi mengelola “bola capres”-nya, ia gagal. AH tidak hanya kehilangan “bola” melainkan juga bisa kehilangan “lapangan” saat kubu oposisi internal Golkar menggoyangnya melalu isu Munaslub. Bahkan melalui Dewan Etik Partai Golkar saat ini.
Sebenarnya, gocekan AH di tengah tiga karang sekarang adalah hal yang paling realistis dan menguntungkan. Asal, posisi cawapres di tangan. Atau, pengusung cawapres adalah Partai Golkar! Masalahnya, bisakah menghadapi Cak Imin yang ngebet, dan Erick Tohir yang digendol PAN dengan amunisi segondol? Kebayang puyengnya AH saat ini. Baginya, menyelamatkan muka di mata internal Golkar adalah jauh lebih penting!
AH sepertinya sadar. Kata orang Sunda: teu bisa ngarawu ku siku (tidak bisa mengambil banyak, saat terbatas). Maka, AH memilih menyelamatkan masa depan Golkar untuk tetap aman, dan potensi tetap berkuasa. Pilihan mendukung Prabowo adalah jawabannya. Kuasa dan bisnis saat ini aman karena Jokowi seperti di belakang Prabowo. Golkar tidak terbawa konflik politik diametral antara kubu Ganjar dan Anies.
Kalau Prabowo kalah, Golkar masih bisa ambil peluang di putaran kedua. Kalau pun tetap juga kalah, Golkar bisa tawarkan kekuatannya di parlemen. Ini yang sebenarnya ingin diselamatkan Golkar. Pilpres kalah, nggak masalah! Tapi mempertahankan posisi papan atas di parlemen adalah mutlak! Itu bargain terakhir Golkar untuk tetap menjadi bagian dari penguasa.
Jadi, itulah Golkar! [ ]
*Pengajar FISIP UNAS, Jakarta