Kedewasaan seseorang itu tampak dari kesediannya mengatakan “ya” terhadap kehadiran keburukan dan kengerian, bukan dalam arti menyetujuinya, melainkan menerimanya sebagai bagian dari kehidupan. Segala sesuatu hadir bukan tanpa alasan, termasuk alasan untuk melawannya.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–Saudaraku, dalam keriuhan kontes kekuasaan yang kian memanas, ada baiknya menoleh buku “Bhagawad-Gita (Simfoni Ketuhanan)”–bagian paling pendek, tapi paling disukai, dari epik Hindu Mahabharata.
Kisah sentralnya berpusat pada pendekar muda, Arjuna, yang diliputi keraguan dan keengganan untuk memasuki perang Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa, karena yang akan diperangi (pihak Kurawa) masih sepupunya sendiri.
Pada momen kalut itulah Arjuna bertanya pada dewa yang menjelma dalam diri Kresna yang menjadi sais kereta kuda. Jawaban Kresna tak persis seperti diharapkan Arjuna, berisi ajaran tentang bagaimana kehidupan semesta berjalan dan pendekatan terbaik terhadap hidup.
Kisah ini harus dimaknai secara alegoris tentang kepatutan tindakan, dengan memperkenalkan konsep karma dan dharma. Bahwa kedewasaan seseorang itu tampak dari kesediannya mengatakan “ya” terhadap kehadiran keburukan dan kengerian, bukan dalam arti menyetujuinya, melainkan menerimanya sebagai bagian dari kehidupan. Segala sesuatu hadir bukan tanpa alasan, termasuk alasan untuk melawannya.
Karena kita hidup, kita tak bisa menghindar dari bertindak dengan segala efeknya–sebagai “karma”. Dalam bertindak, ada pedoman. Ada tindakan yang didorong keinginan (desire), ada pula tindakan atas dasar kesadaran bertujuan mulia (purpose)–sebagai dharma.
Jika bersandar pada keinginan, Arjuna bisa mundur dari medan perang. Tapi Kresna menganjurkan untuk “berperang dengan perang yang baik”: “Tunaikan kewajibanmu, jangan hitung-hitung konsekuensinya”. Karena inilah kewajiban, tujuan moral, dan jalan dharma Arjuna. Bagaimana pun lawan akan datang, dan Arjuna hanyalah instrumen ketuhanan bagi karma.
Dalam bertindak ada motivasi rohaniah yang menentukan eksistensi kehidupan: Tama (kegelapan), Raja (api), Sattva (cahaya). Tama merefleksikan tindakan yang didasari ketidaksadaran dan kelembaman yang mempertahankan kehidupan secara tak berkeadaban. Raja merefleksikan kepentingan dan ambisi kalangan medioker yang bertindak untuk mengakumulasi dan meningkatkan pencapaian pribadi. Sattva mereflesikan kesadaran dan kemurnian, yang bertindak penuh ketenangan sebagai wujud dharma pelayanan, tanpa dibebani ambisi hasil, pengharapan, dan penghargaan.
Dharma mulia bertindak dengan dorongan Sattva. [ ]