Karena persoalan etos kerja erat kaitannya dengan situasi kerohanian, tentu menimbulkan pertanyaan besar, apa yang terjadi dengan jiwa keagamaan kita. Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat yang dilukiskan bercorak religius, produktivitas rendah, etika sosial lembek, sedang korupsi merajalela?
Oleh : Yudi Latif
”Berangkatlah, niscaya engkau akan mendapatkan ganti untuk semua yang engkau tinggalkan. Bersusah payahlah, sebab kenikmatan hidup direngkuh dalam kerja keras. Ketika air mengalir, ia akan menjadi jernih, dan ketika berhenti ia akan menjadi keruh. Sebagaimana anak panah, jika tak meninggalkan busurnya tak akan mengenai sasaran. Biji emas yang belum diolah sama dengan debu di tempatnya. Maka ketika orang berangkat dan bekerja, dia akan mulia seperti bernilainya emas.”
Demikian Imam Syafi’i memberi petuah.
Etos adalah karakter dan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya. Ia merupakan aspek evaluatif yang memberi penilaian atas berharga tidaknya sesuatu. Sejauh dihubungkan dengan persoalan ”kerja”, ia memberi landasan motivasi dan arti apakah kerja dilihat sebagai beban, sekadar menyambung hidup, atau bermakna secara eksistensial sebagai imperatif kemanusiaan dan jangkar jati diri.
Karena persoalan etos kerja erat kaitannya dengan situasi kerohanian, tentu menimbulkan pertanyaan besar, apa yang terjadi dengan jiwa keagamaan kita. Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat yang dilukiskan bercorak religius, produktivitas rendah, etika sosial lembek, sedang korupsi merajalela?
Lemahnya etos kerja, sebagai cerminan suasana rohaniah keagamaan, tidaklah berdiri sendiri. Ia saling bertautan dengan persoalan dukungan struktural. Clifford Geertz telah lama mengindikasikan bahwa sekali pun etos ”Kapitalisme” seperti tecermin dalam sikap tekun, hemat dan berperhitungan juga dimiliki oleh kaum santri, kekuatan ekonomi santri sulit menjadi besar karena tidak didukung oleh kemampuan organisasi yang baik. Kelemahan organisasi dan ketiadaan apa yang disebut ”corporateness”, solidaritas kekaryaan dalam kaum santri secara umum juga dilihat oleh James Siegel di Aceh.
Kelemahan itu diperparah oleh faktor birokrasi pemerintahan yang bersifat eksploitatif, yang melemahkan daya korporasi masyarakat ekonomi menengah-kecil. Wertheim mengatakan bahwa kebijakan pemerintah, bukan saja memberi contoh terhadap kehidupan ekonomi, tetapi juga menentukan tingkat kemajuan ekonomi. Kebijakan pemerintah yang buruk, bukan saja menghambat kemajuan, tapi juga melumpuhkan bibit kewirausahaan dan etos kerja yang tumbuh dalam masyarakat. [ ]