Jernih.co

Fakta Buruk Penindasan Cina Terhadap Suku Uighur, Warganya Sendiri

Baru-baru ini, seorang dokter Turki memeriksa sekitar tiga ratus pengungsi wanita Uighur, dan menemukan bahwa 80 orang di antaranya telah disterilkan.

Oleh  : Sumantra Maitra

JERNIH– Teka-teki aneh dalam ilmu hubungan internasional, yang mungkin suatu hari nanti akan menelurkan seribu PhD, adalah mengapa dunia Islam secara buruk berdiam diri terhadap kebrutalan orang-orang Cina kepada warga Uighur, dan umumnya terhadap hegemoni Cina.  

Tentu saja ada protes individu yang sporadis. Tetapi tidak hanya Turki–pemimpin dunia Islam mendeklarasikan diri dan secara etnis paling dekat dengan Uighur– tetapi juga Arab Saudi, Iran dan Pakistan, dan seluruh negara-negara Asia Tengah belum ada yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Cina. Tidak ada pembakaran ban di depan kedutaan besar, tidak ada protes massa, dan tidak ada serangan jihadis terhadap aneka kepentingan Cina di seluruh dunia. Apalagi ada ancaman perang.

Mengapa demikian? Apakah kepatuhan terbuka ini berasal dari keinginan untuk mendapatkan lebih banyak iming-iming keuangan Cina, atau ketakutan logis godam yang Cina miliki? Atau khawatir akan pembalasan Cina yang jauh lebih kejam daripada aturan keterlibatan Barat yang diwarnai imaji bunga lily, yang masih secara luas bercita-cita untuk menghormati hak asasi manusia dan meminimalkan korban sipil? Cina, dianggap negara kolot yang masih mengikuti aturan sebelum Perang Dunia Kedua.

Sumantra Maitra

Pada catatan itu, analisis terbaru yang ditulis Michael Doran dan Peter Rough dari Hudson Institute berpendapat bahwa hegemoni kekaisaran Cina di Timur Tengah, seharusnya menjadi perhatian besar-besaran di Barat. Kedua ahli tersebut berpendapat bahwa Cina dengan kejam bertekad untuk “mengusir” Amerika Serikat dari Timur Tengah. Itulah maksud Cina dengan membuka pangkalan Angkatan Laut di Djibouti.

Apa bukti dari hegemoni ini? Rupanya, Cina telah bertekad untuk menjadi hegemon di Timur Tengah di antara orang Arab dan Persia, sehingga melakukan genosida di Xinjiang, yang menewaskan orang Uighur (yang beretnis Turki).

Genosida pasca-modern ini juga merupakan ekspansi pemukim karena penjajah beretnis Han segera membanjiri wilayah tradisional Uighur. Semua itu terhubung kepada proyek koridor ekonomi Cina-Pakistan yang menjadi tumpuan Cina, yang melintas wilayah ini. Hal itu, pada gilirannya, akan memberi Cina pintu gerbang untuk memproyeksikan kekuatan mereka di Timur Tengah.

“Dari sudut pandang Beijing, persaingan kekuatan secara keras dengan Amerika Serikat di Timur Tengah adalah perpanjangan langsung dari pertarungan militer di Pasifik barat.” Analisis tersebut kemudian mengarah ke arah lain, seperti menghitung kapal perang Cina berdasarkan tonase dan potensi ancaman Israel dari ekspansi Cina, sebelum menyebutkan dua poin pertentangan yang signifikan.

Pertama, Cina sangat membutuhkan minyak, dan karena itu keterlibatan Cina di Timur Tengah menjadi penting. Dan kedua, Cina memberi isyarat kepada sekutu Amerika, dengan harapan beberapa akan melakukan lindung nilai. “Pesan Cina ke Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan (belum lagi Arab Saudi dan Israel) begitu jelas: Amerika sedang mengalami penurunan; Cina berkuasa, kebangkitannya menuju kekuasaan dunia tak terelakkan.” Pakar Institut Hudson mengakhiri analisis mereka dengan tidak menyenangkan: “Jika Cina menggantikan Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah, akan terjadi pergeseran besar dalam keseimbangan kekuatan global, yang secara signifikan mengurangi pengaruh Amerika Serikat, bahkan sampai ke titik mengikis kendali yang dilakukan orang Amerika, sebagai orang bebas atas takdir mereka sendiri. “

Tampaknya Doran dan Rough menarik “inilah saatnya untuk some game theories”. Tak satu pun dari topik yang mereka diskusikan secara individu salah. Cina memiliki kebutuhan minyak yang meningkat. Cina menggunakan Pakistan dan Djibouti sebagai pintu gerbang ke laut barat. Cina–pada akhirnya, akan memiliki kekuatan angkatan laut yang lebih terkonsentrasi daripada Amerika Serikat.

Kebangkitan Cina akan menyebabkan beberapa “sekutu” Amerika melakukan lindung nilai dan mengambil jarak yang sama antara Washington dan Beijing. Tetapi upaya untuk mengikat isapan jempol yang berbeda ini ke sebuah encomium strategis raksasa,  gagal pada intinya. Esai ini tidak menjawab beberapa pertanyaan kunci, yang seharusnya menjadi titik awal dari setiap diskusi strategis di saat krisis. Mengapa penting bagi Barat untuk memastikan aliran minyak dari Timur Tengah, ketika produksi minyak berada pada titik tertinggi sepanjang masa dan Barat hampir menuju ke arah yang tidak bergantung pada energi? Apa pentingnya sisi strategis Timur Tengah? Mengapa menyeimbangkan kebangkitan Cina dengan berpihak pada Pakistan atau Iran menjadi beban Barat semata-mata, dan bukan–katakanlah, India atau kekuatan Teluk Persia? Apa keprihatinan di balik dukungan Cina untuk Iran, yang mungkin membuat Arab Saudi dan Israel tidak nyaman tetapi tidak berdampak pada Inggris, Eropa, atau Amerika Serikat?

Jika kekuatan militer dan angkatan laut Cina mengerdilkan Barat dan tidak mungkin ada keseimbangan bertumpu, bukankah strategi untuk memastikan bahwa Cina memperluas, meregangkan, dan membenamkan diri dalam rawa yang lebih masuk akal? Bukankah beban sosial politik untuk menentang genosida Cina secara vokal seharusnya pertama kali disuarakan kekuatan besar Islam? Dan jika mereka tidak vokal tentang hal itu, lalu apa alasan di balik kebisuan mereka?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukannya tidak berarti. Ini penting untuk memahami dan merumuskan strategi masa depan. Persaingan kekuatan besar kembali, dan persaingan Sino-Amerika akan membentuk masa depan. Tapi persaingan Cina-Amerika ini bukanlah perang dingin ala nenek moyang, dan untuk mendefinisikannya dalam istilah Manichean, perang salib global yang mencakup semua antara demokrasi dan otoritarianisme adalah tidak masuk akal.

Cina bukan Uni Soviet. Dalam beberapa hal, mereka jauh lebih kuat dan maju, tetapi juga terhambat oleh masalahnya sendiri seperti halnya USSR. Ia tidak memiliki sekutu. Dikelilingi oleh negara-negara kuat, seperti India, Jepang, dan Australia. Sementara Inggris dan Eropa pun semakin memusuhi kepentingan keuangan Cina. Rakyat Amerika sangat menentang Cina, satu-satunya naluri bipartisan dalam hegemon yang rusak dan terpecah-pecah, mirip dengan sentimen anti-Jerman di masa Raja Edward di Inggris yang begitu melelahkan.

Satu-satunya alasan Cina bangkit tanpa biaya material untuk kenaikan itu adalah karena tidak pernah harus mengambil beban keamanan atau stabilisasi, dan pada gilirannya tidak menghadapi serangan balasan dari pemberontak.

Cina secara terbuka berani bertindak brutal terhadap penduduk Muslimnya, tetapi itu seolah tidak pernah dicatat kekuatan Islam, karena mereka tidak hadir di negara-negara Muslim. Pasukan Cina tidak berpatroli di Basrah atau Helmand. Kapal dan marinir Cina tidak membanjiri Suriah dan Libya. Untuk terlihat sebagai kekaisaran, Anda perlu mengatur seperti kerajaan yang kasat mata. Dengan demikian, Cina tidak menghadapi reaksi keras dari dunia Islam karena sorotan global terus-menerus tertuju pada Barat yang mencoba mengatur bentangan tanah yang tidak dapat diatur itu selama lebih dari dua ratus tahun.

Para ahli dalam topik khusus sering kali berfokus pada mengapa bidang penelitian mereka lebih penting daripada yang lain. Tapi semuanya dimulai dengan grand-strategy dalam bisnis ini. Para realis kebijakan luar negeri harus khawatir tentang semua orang yang menggunakan kembalinya persaingan kekuatan besar untuk melemahkan kasus-kasus penindasan yang dilakukan terus-menerus dan berkelanjutan di teater-teater yang secara tak terelakkan semakin menurun kepentingannya dalam permainan strategi besar secara keseluruhan.

Eropa Barat dan kawasan Asia-Pasifik tetap penting bagi Amerika Serikat dan bagi kelangsungan hidup Amerika Serikat sebagai kekuatan besar. Afrika dan Timur Tengah, meski penting, tidak eksistensial. Itu tidak berarti Amerika Serikat dan Barat tidak siap untuk menantang kekuatan besar saingan yang mengancam kepentingan langsung mereka.

Tetapi hanya karena ada persaingan kekuatan yang besar, tidak berarti seseorang harus bersaing di setiap domain dan setiap teater. Prioritas itu penting. Dan strategi yang cerdas adalah membiarkan Cina melampaui batas. Jika Cina benar-benar terlibat di Timur Tengah, maka itu adalah ‘uang’ yang harus dengan senang hati diteruskan kembali kepada Cina. Prancis, Inggris, Uni Soviet, dan Amerika Serikat telah menderita untuk mengatur wilayah itu. Biarkan Cina bergabung ke dalam permainan dan mengeringkan dirinya sendiri. [The National Interest]

Sumantra Maitra (@MrMaitra) adalah seorang sarjana doktoral neorealisme dan strategi kekuatan besar di University of Nottingham, Inggris, menunggu penyerahan akhir tesis. Ia kontributor senior untuk The Federalist.

Exit mobile version