Jernih.co

Genose, Ivermectin, dan Sains Anak Tiri

Kita tidak perlu malu lagi untuk menyebut bahwa Menteri Kesehatan bukan nakhoda utama dalam ekspedisi penanganan pandemi ini. Gambarannya sudah begitu gamblang tanpa perlu diterangkan hingga berbusa-busa. Kita boleh saja diberi alasan bahwa penanganan pandemi adalah kerja kolaboratif, banyak tangan, dan banyak urusan. Tetapi, pada kenyataannya, setir dan kemudi dipegang sendiri-sendiri. Ada yang ke kanan, ada yang ke kiri. Yang satu bilang A, yang lain bilang Z.

Oleh  :  Ahmad Fuady

JERNIH–‘Man behind the gun‘ menjadi sangat kontekstual dalam kebijakan meng-atasi pandemi. Dan, sayangnya, para saintis tidak memiliki banyak kesempatan berada di belakang senjata yang ia poles sendiri. Diskusi mereka membising sendiri. Tidak ada kuasa untuk meluruskan penggunaan yang membengkok.

dr Ahmad Fuady, MSc, PhD

Di tengah jumlah kasus infeksi yang melonjak, Menteri Negara BUMN mengirimkan sinyal penting dalam konferensi persnya: produksi dan distribusi empat juta dosis ivermectin untuk melawan pandemi! Keputusan yang mencengangkan.

Ivermectin yang selama ini lebih banyak digunakan untuk pengobatan parasit pada hewan masih memicu kontroversi dalam penggunaannya untuk pengobatan COVID-19. Sebagian bukti ilmiah tidak menunjukkan superioritasnya untuk mengatasi COVID-19, tetapi sebagian lain memperlihatkan efek positif meskipun dengan beragam catatan. Belum ada yang konklusif sehingga otoritas kesehatan belum berani memberikan rekomendasi penggunaannya untuk pengobatan COVID-19.

Ivermectin menjadi topik yang makin seksi ketika—lagi-lagi—sains dibawa keluar demarkasi perdebatan ilmiahnya terlalu dini. Pernyataan Meneg BUMN yang keluar melintasi autoritas mengindikasikan hal tersebut secara jelas.

Tetapi, jika melihat rekam jejak penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia, keputusan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari keputusan-keputusan yang diambil sebelumnya. Salah satu yang menjadi catatan khusus adalah penggunaan GeNose sebagai syarat kelaikan naik transportasi publik antarkota. Di media sosial, banyak beredar berita tentang penumpang yang mengakali izin perjalanannya. Ketika pemeriksaan swab dan antigen PCR menunjukkan hasil positif, mereka mencari celah dengan beralih memeriksakan diri dengan GeNose. Hasilnya: negatif! Dengan begitu, mereka merasa berhak melenggang menaiki transportasi publik dan berpotensi menjadi agen penyebar infeksi bagi penumpang dan orang-orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan.

Dua fenomena ini bukan hal yang tak dapat kita prediksi jauh-jauh hari. Sejak pandemi bergulir, pemerintah memang tidak tampak berupaya memupuk kesabaran agar tumbuh dan menebal dalam mengatasi pandemi. Menteri Kesehatan boleh saja berganti, tetapi kemudi kebijakan dan strategi penanganan pandemi seperti tak ada yang berubah secara signifikan. Kita tidak perlu malu lagi untuk menyebut bahwa Menteri Kesehatan bukan nakhoda utama dalam ekspedisi penanganan pandemi ini. Gambarannya sudah begitu gamblang tanpa perlu diterangkan hingga berbusa-busa. Kita boleh saja diberi alasan bahwa penanganan pandemi adalah kerja kolaboratif, banyak tangan, dan banyak urusan. Tetapi, pada kenyataannya, setir dan kemudi dipegang sendiri-sendiri. Ada yang ke kanan, ada yang ke kiri. Yang satu bilang A, yang lain bilang Z.

Apakah ini tidak disadari? Nampaknya, bukan di sana persoalannya. Kita hanya pandai mengelabui diri sendiri. Kolaborasi yang didengungkan hanya fatamorgana di atas kertas. Masing-masing menyibukkan diri dengan kepentingannya tanpa ada intensi untuk berterus terang kepada publik tentang apa yang tengah terjadi dan akan kemana pandu layar dikembangkan. Dengan perilaku seperti itu, kesuksesan hanya angan belaka dan selalu saja menyisakan kegagapan-kegagapan baru yang tak semestinya berulang setelah setahun pembelajaran pandemi.

Kita sudah lebaran kedua, tetapi pemerintah tidak juga berani mengambil sikap preventif jauh-jauh hari. Perilaku mudik masyarakat semestinya sudah dapat diprediksi sejak dini. Semacam perhitungan astronomikal tanpa perlu ru’yatul hilal; tanpa harus menunggu detik-detik terakhir untuk melarang buka puasa bersama dan mudik. Tetapi, keberanian itu tak pernah nampak di muka publik. Yang tersisa hanyalah ketakutan-ketakutan mengenai kolapsnya ekonomi negara sambil menyodorkan rilis publik tentang upaya pemerintah mencari jalan tikus pelariannya.

Berulang

GeNose dan ivermectin tidak lain adalah ulangan skenario ketika menjelang akhir tahun 2020 pemerintah mengumumkan telah menemukan Obat COVID-19. Pengumuman itu disiarkan langsung, mencatut para pakar dengan dus obat jadi-jadian. Tanpa bukti ilmiah yang kredibel, pemerintah telah menjadi pemasok hoax yang brutal bagi penduduknya sendiri. Hingga kini, obat itu tak pernah diproduksi massal, tidak pernah dipublikasikan hasilnya di jurnal ilmiah, dan tidak lagi beredar sebagai berita kesuksesan. Para pengusung klaimnya pun hilang tanpa suara dan pertanggungjawaban. Sebuah tragedi akademik yang semestinya dicatat sebagai tinta hitam sejarah namun dianggap biasa-biasa saja di tengah keputusasaan pemerintah mencari jalan keluar terhadap ambruknya ekonomi.

GeNose kemudian datang dengan pembuktian ilmiah yang lebih solid. Setidaknya, itu yang diklaim para penemunya yang tengah menyiapkan materi publikasi ilmiahnya. GeNose memang bukan produk ilmiah kacangan. Ia ditelaah, dianalisis, dan diproduksi melalui tahapan yang laik dipercaya.

Namun, persoalannya bukan pada tahapan ilmiahnya; bukan pre-proses dan prosesnya, tetapi pascaproses-nya. Ia dipamerkan dan diakuisisi secara politis terlalu cepat. Sebelum didedahkan, dikaji, dan dikomentari sesama mitra bestari, ia lebih lekas dipopulerkan secara primordial di ruang publik oleh mereka yang merasa perlu untuk menangguk keuntungan darinya.

GeNose yang murah, cepat, dan mudah digunakan adalah kombinasi yang tepat dengan label ‘buatan anak negeri’. Sangat mudah untuk memopulerkan dan menarik simpati publik. Apalagi, pemerintah memang sedang membutuhkan alasan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Maka, GeNose muncul di saat yang tepat demi mendorong mobilitas penduduk dan pergerakan uang. Di situlah pertumbuhan, growth, diharapkan membiak.

Ivermectin yang murah pun demikian. Indopharma, sebagai anak perusahaan BUMN, dapat memproduksinya dalam jumlah besar. Empat juta dosis, klaim Meneg BUMN. Itu tentu saja kayuhan dayung yang efisien: dua pulau terlampaui.

Pertama, ia mendorong produktivitas dan pergerakan uang di area badan usaha yang diurusnya. Kedua, klaim ini memfabrikasi kabar baik bahwa ‘kita sedang baik-baik saja’ karena kita memiliki senjata ampuh bernama ivermectin. Masyarakat—dan tentu saja maksudnya perputaran roda ekonomi—dapat tetap langsung berjalan seperti sedia kala karena kita di-back up oleh produksi obat yang ‘efektif’. Tidak peduli bahwa ivermectin masih memicu perdebatan saintifik, ia dianggap pas secara tempo untuk dijadikan tumpuan balik menggeret pergerakan ekonomi.

Tanda-tanda ini yang seringkali luput dari perhatian para saintis. Produk dan perdebatan ilmiah memang baik dan seringkali mencerahkan. Tetapi, setajam-tajamnya pisau untuk menyembelih hewan, dia dapat melukai manusia jika jatuh di tangan yang keliru. “Man behind the gun“ menjadi sangat kontekstual dalam kebijakan mengatasi pandemi. Dan, sayangnya, para saintis tidak memiliki banyak kesempatan untuk berada di belakang senjata yang ia poles sendiri. Diskusi mereka membising sendiri. Tidak ada kuasa untuk meluruskan penggunaan yang membengkok.

Jika ada yang skeptis dan mengkritisi, beat-beat bernada tuduhan segera melayang. Masyarakat kerap digiring pada perpecahan opini yang dangkal. Sikap kritis dengan cepat disanggah dengan tuduhan tidak menghargai produk anak bangsa dan dalam negeri sendiri. Perdebatan yang semestinya konstruktif hanya diakhiri dengan celaan ‘antek asing‘. Kita sebenarnya dapat dengan mudah mengidentifikasi dari mana tuduhan-tuduhan itu bermula dan berkeliaran. Mereka menemukan mangsanya yang paling ringkih: masyarakat yang lelah akibat pandemi berkepanjangan tanpa jeda. Di titik inilah kita terdikotomi seolah-olah memang hanya ada dua kelompok yang tengah dan terus bersitegang.

Politik sains

Apakah para saintis perlu berpolitik, menggelanggang ke arena yang penuh intrik itu? Demi mengembalikan tujuan sains untuk kepentingan publik, sejauh mana para saintis harus menyingsingkan lengan bajunya dan bertarung?

Johan Mackenbach (2010) pernah menulis catatan tahun baru yang menarik dengan memunculkan istilah baru: ladder of political activism, tangga aktivisme politik para saintis. Tidak semua isu kesehatan harus direspons dengan revolusi ala Che Guevara di Kuba atau Johan Frederick Struenssee di masa kepemimpinan Raja Christian VII di Denmark. Mackenbach setidaknya secara bijak menggambarkan empat anak tangga yang perlu dikenali sebagai langkah politik para saintis.

Pertama, selemah-lemahnya aktivitas politik para dokter: pasivisme politik. Mereka akan menyambut permintaan para penyusun kebijakan jika dimintai pendapatnya tentang isu kesehatan. Kedua, mereka yang secara aktif menyebarkan informasi yang relevan terkait isu penting kesehatan kepada para politisi, membuat laporan, menulis rekomendasi, dan menyampaikan kritik di media cetak dan televisi. Dua langkah ini nampaknya semakin mudah kita temukan selama masa pandemi. Para saintis menjadi aktif di media sosial, menjadi penyuluh kabar yang benar dan menyingkirkan segala hoax yang beredar. Tetapi, itu saja belum cukup.

Ketiga, mereka yang memilih langsung secara aktif melobi dan memengaruhi keputusan politik. Dan keempat, yang paling tinggi, adalah mereka yang benar-benar terjun ke dunia politik untuk sungguh-sungguh memperjuangkan kesehatan dan keadilan di tengah masyarakat –bukan sekadar pemanis dan vote getter partai karena cantik dan berbudi mulia. Dua anak tangga ini yang belum banyak kita temukan.

Jika keputusan politik tidak berkesesuaian dengan landasan ilmiah, apakah para saintis laik dipersalahkan atas semua ini karena ketidakmampuan mereka mengoreksi kebijakan dan memengaruhi keputusan?

Rasanya, tidak. Setidaknya, para saintis tidak sepenuhnya bersalah. Ketidakmampuan mereka menggiring opini dan membentuk kebijakan yang tepat tidak terjadi begitu saja—dalam satu tahun terakhir. Ini adalah imbas jangka panjang dari pola pengaturan negara yang memarjinalkan sains dari ruang kebijakan publik. Sains adalah sampiran, suplemen. Dibutuhkan sebagai penulis naskah ilmiah undang-undang, materi presentasi di depan dewan, atau konsultan jangka pendek yang menghabiskan anggaran.

Para saintis terpaksa terpenjara oleh sistem yang buruk rupa. Sains kita dibentuk oleh anggaran, bukan anggaran yang memadu-madankan diri kepada kebutuhan sains dan publik. Anggaran harus diserap dengan cepat—dan karenanya, interval antara pengumuman pendaftaran hibah penelitian dan tenggat waktu pengumpulan proposal hanya berselang beberapa hari. Anggaran harus dihabiskan sesuai dengan tata formal dan rutinitas pengeluaran sehingga sulit untuk mengakomodasi kebutuhan kebijakan yang sesungguhnya.

Apa yang kita harapkan dari praktik demikian yang selalu saja diulang-ulang tanpa koreksi? Revolusi mental yang sempat kita harapkan nyatanya tak berbekas apa-apa. Hilang begitu saja. Uang negara kembali habis hanya untuk rapat di hotel-hotel mewah yang disewa kementerian. Kita hanya mendekam diri dalam kegilaan, dan menumpuk kegilaan itu dengan membatasi upah para peneliti di bawah standar kelaikan. Mereka yang bertahan adalah orang-orang yang menyabarkan diri dalam derita. Jika tak lagi bersisa pasokan kesabaran, sains hanya disampirkan sebagai label untuk mendapat curahan jatah konsultan.

Jadi, tidak pantas kita mempersalahkan saintis yang tak berdaya. Kita tak laik mengkritik mereka yang tak punya kuasa. Kritik harus dihujamkan kepada mereka yang adidaya. Mereka yang menganaktirikan sains—dan hanya kembali kepada sains ketika mereka membutuhkannya di depan kamera. [  ]

* dr Ahmad Fuady, MSc, PhD, adalah seorang penulis, dokter dan peneliti

Exit mobile version