Ditemani minat baca yang rendah, budaya instan, dan media sosial yang semakin meluas, merupakan kombinasi sempurna munculnya nilai-nilai baru, yang menyimpang dan tanpa dasar ilmu; dan sangat berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan bernegara dan berdemokrasi. Contoh-contoh yang dikemukakan di atas hanya sedikit dari banyak kasus yang bisa dikemukakan.
Oleh : Medrial Alamsyah*
JERNIH– Belakangan ini kita disajikan viral dua video dan berita yang intinya memperlihatkan bagaimana persepsi, sikap dan perilaku aparat terhadap rakyat, serta logika dasar bernegara dan hukum yang aneh.
Pertama video dialog aparat kepolisian yang mengatakan punya kewenangan meme-riksa isi ponsel seorang warga. Dalihnya untuk mencegah kejahatan dengan memeriksa apakah ada niatan kejahatan yang akan dilakukan warga tersebut. Polisi terus memaksa walaupun warga tersebut mencoba menolak karena itu melanggar privasi warga negara.
Video kedua seorang tentara memaksa meminta KTP seorang warga yang tidak mau melakukan vaksinasi. Pada video itu tentara tersebut mengucapkan beberapa kata-kata yang merendahkan dan menuduh: “Anda ini warga negara nggak jelas. FPI atau HTI, kamu ya?”
Video pertama jelas merupakan pelanggaran hak privasi warga negara yang seharusnya dilindungi oleh negara. Tidak ada seorang pun di dunia (bukan hanya di Indonesia) yang berhak memasuki wilayah pribadi seseorang (tanpa perintah peradilan) karena hal tersebut merupakan hak dasar yang muncul secara alamiah pada setiap manusia. Aparat pemerintah seharusnya melindungi, bukan sebaliknya mengintervensi. Kenyataannya banyak warga negara, karena faktor pendidikan (politik) yang minim, tidak menyadari hak tersebut.
Dalam posisi seperti itu sejatinya aparat pemerintah berkewajiban mengedukasi warga negara tersebut sehingga memahami hak-haknya sebagai warga negara. Bukan sebaliknya, justru memanfaatkan untuk kepentingannya.
Menuduh sembarangan dan merendahkan juga sikap dan perilaku aparat yang tidak dapat kita terima. Setiap aparat seyogianya memahami bahwa inti dari eksistensi satu negara adalah rakyat atau warga negara itu sendiri. Negara itu ada karena ada rakyat di satu wilayah, baru kemudian dibentuk pemerintahan sehingga diakui sebagai negara. Satu pemerintah dalam satu negara bisa bekerja ketika ada pemasukan/pendapatan, yaitu utamanya dari pajak dari rakyat. Aparat itu digaji dari pajak yang bersumber dari hasil kerja rakyat. Oleh karena itu seyogianya aparat memperlakukan setiap warga negara secara hormat.
Sayangnya kesadaran tentang hak-hak dasar rakyat tersebut di Indonesia sangat rendah. Tidak hanya dari aparat tetapi dari warga negara itu sendiri. Itu mungkin disebabkan kultur feodal yang masih bersemayam dalam kebanyakan masyarakat kita. Artinya, masih banyak yang merasa memiliki hak-hak istimewa, baik karena status sosial maupun pangkat dan jabatan struktural, yang harus diterima oleh pihak lain; sebaliknya ada yang merasa harus — bahkan dengan penuh kebanggaan–menerima status mereka sebagai pelayan pemegang hak istimewa tersebut, sehingga rela dan tak kuasa membela kepentingan-kepentingan dasar mereka sendiri.
Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika, Australia, Jepang, dll. Pemerintahan mereka tidak hanya melindungi hak-hak dasar warga negara mereka sendiri, melainkan juga hak-hak dasar manusia yang ada di negara mereka. Orang-orang yang pernah menetap dan menjadi penduduk di negara-negara tersebut pasti merasakan mendapatkan perlakukan dan hak layanan dasar yang sama dengan warga negara setempat.
Jika Anda masuk kategori rakyat miskin dan ada program tunjangan untuk penduduk miskin, Anda — yang bukan warga negara — juga akan mendapatkannya. Di Jepang, keluarga saya pernah merasakan layanan tersebut saat berstatus sebagai mahasiswa. Saya juga pernah menyaksikan kawan yang berani berkata kasar pada aparat kepolisian dan tetap ditanggapi dengan sopan, karena mereka tidak akan berani balik bersikap kasar karena bila diadukan bisa langsung dipecat.
***
Tempat tumbuh suburnya feodalisme — yang berujung pada pengabaian hak-hak dasar warga negara — adalah di mana pendidikan warga negara rendah. Anehnya di Indonesia, ketika tingkat pendidikan warga negara meningkat, feodalisme itu bukannya menurun, malah meningkat.
Dulu aparat birokrasi kita dipenuhi oleh orang berpendidikan menengah, sekarang didominasi oleh para sarjana, bahkan bertaburan doktor dan profesor; namun pemahaman terhadap hak-hak dasar warga negara itu malah semakin parah. Dulu pelanggaran hak dasar itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi sekarang ditampilkan di televisi.
Ngabalin adalah contoh nyata. Dia seorang berpendidikan S-3 dan memiliki jabatan tinggi di seputar istana. Dia pernah mengatakan para pengkritik pemerintah sebagai warga negara kelas kambing. Pada kesempatan lain dia mengatakan kepada Rocky Gerung (RG) bahwa RG tidak punya urusan dengan kebijakan pemerintah membayar para influencer. Dia juga dengan tegas mengatakan bahwa tidak dibayar oleh pajak rakyat sehingga tidak ada yang bisa membantah selama anggaran untuk itu ada.
Ngabalin tidak sendiri. Ada petinggi partai penguasa yang juga pernah jadi anggota DPR, dengan meyakinkan mengatakan bahwa Fadli Zon–seorang anggota DPR–tidak punya hak mengomentari kebijakan internal sebuah BUMN. “Itu urusan internal mereka,” katanya.
Beberapa tahun terakhir kita disajikan tontonan debat tidak bermutu karena — tiba-tiba dalam debat–narasumber pro-pemerintah mengancam mempidanakan narasumber lain yang kritis terhadap pemerintah. Mereka tidak paham hak dasar warga negara untuk dihormati, hak mendapatkan informasi penyelenggaraan negara, hak kebebasan berpendapat, fungsi pengawasan DPR dan media sebagai watch dogs bagi pemerintah, dst. Semuanya hal dasar dalam suatu negara demokrasi.
***
Ketidakpahaman para penyelenggara negara dan politisi tentang hal-hal mendasar ini menurut saya tidak sederhana. Apalagi manakala ditampilkan secara terbuka dan berulang di berbagai media secara terbuka, tanpa koreksi. Bagaimanapun kritik kita terhadap kualitas media dan jurnalisme, mereka masih dianggap sumber kebenaran informasi bagi kebanyakan orang (awam).
Ditemani minat baca yang rendah, budaya instan, dan media sosial yang semakin meluas, merupakan kombinasi sempurna munculnya nilai-nilai baru, yang menyimpang dan tanpa dasar ilmu; dan sangat berpotensi merusak sendi-sendi kehidupan bernegara dan berdemokrasi. Contoh-contoh yang dikemukakan di atas hanya sedikit dari banyak kasus yang bisa dikemukakan.
Berbicara tentang hal-hal mendasar ini penulis jadi ingat pelatih Manchester City, Pep Guardiola. Seorang pelatih profesional yang sangat sukses, juara tiga liga top Eropa (Spanyol, Jerman, dan Inggris), juara Liga Champion Eropa, Kejuaraan Dunia Antar Klub, dll. Total 31 trofi yang sudah diraihnya sebagai pelatih.
Suatu hari dia bertingkah aneh. Dia mengamuk di pinggir lapangan dengan membanting dan menendang botol minuman saat klub asuhannya, Manchester City, menang telak. Sampai akhir laga dia tampak tidak bahagia, tidak sebagaimana pelatih pada umumnya, yang riang saat timnya menang. Tentu saja perilaku aneh itu ditanyakan wartawan pada saat jumpa pers.
Jawaban Pep: filosofi sepak bola saya adalah bermain secara sederhana, yaitu menjalankan hal-hal dasar. Pemain harus mengoper ketika harus mengoper, men-drible ketika situasi mengharuskan demikian, menendang ke gawang begitu ada peluang, dst. Tadi saya marah karena pemain banyak melanggar hal-hal dasar itu.
Lain Pep Guardiola, lain Jokowi. Ketika Pep marah saat anak asuhnya melakukan kesalahan mendasar, Jokowi bukan saja tidak marah, malah memberi hadiah. Ngabalin umpamanya, justru diberi jabatan tambahan sebagai komisaris BUMN kelas satu.
Tetapi ini sesungguhnya tidak aneh, karena untuk menjadi pelatih profesional seseorang harus punya sertifikat FIFA. Sementara untuk jadi politisi dan presiden tidak perlu sertifikat profesional apa pun sebagai syarat. [ ]
*Pengamat kebijakan publik