Mendekati “Kebenaran” diperlukan sikap rendah hati untuk terus belajar dengan memperkuat daya literasi dan meneliti. Disertai kesiapan mental untuk mendengar perkataan dan hikmah dari mana pun sumbernya, lalu mengambil yang terbaik. Tak seorang pun dapat mendaku diri sebagai satu-satunya penguasa kebenaran hukum Tuhan.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, Hukum Tuhan itu bukan hanya ayat-ayat (tanda) yang tertulis dalam “kitab aksara” (Kitab Suci), melainkan juga ayat-ayat yang terkandung dalam “kitab tanpa aksara” (semesta raya).
Kekayaan ilmu Tuhan yang tak bertepi tak mungkin bisa dituliskan semua dalam Kitab Suci. Dalam Al-Quran sendiri (Luqman: 27) disebutkan: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Hukum Tuhan dalam ayat-ayat semesta raya (kauniyyah) itu bisa dipahami seperti lewat rumusan hukum gaya gravitasi, nuklir kuat, nuklir lemah dan elektromagnetik; hukum-hukum biologi, seperti biologi molekuler dan ketetapan yang terpatri dalam DNA; hukum senyawa kimiawi dan metabolisme dalam tubuh; hukum (ayat-ayat) sejarah yang memberi iktibar bagi mereka yang mau berfikir; juga ayat-ayat nafsiyyah (kejiwaan) yg berkaitan dengan mental, spirit, emosi, kepribadian dan karakter manusia.
Hukum-hukum Tuhan di semesta raya itu sebagian telah terungkap, sebagian lagi masih misteri.
Hukum Tuhan yang tertulis dan tak tertulis itu mestinya terpancar dari sumber cahaya kebenaran yang sama. Untuk mendekati kebenaran, penafsiran atas hukum Tuhan dalam Kitab Suci perlu diperkaya dengan pemahaman atas hukum Tuhan dalam semesta raya. Betapa sedikit pengetahuan kita untuk mengetahui hukum Tuhan secara paripurna. Setiap temuan baru menimbulkan misteri baru. Makin banyak tahu, seseorang makin sadar ketidaktahuan.
Mendekati “Kebenaran” diperlukan sikap rendah hati untuk terus belajar dengan memperkuat daya literasi dan meneliti. Disertai kesiapan mental untuk mendengar perkataan dan hikmah dari mana pun sumbernya, lalu mengambil yang terbaik. Tak seorang pun dapat mendaku diri sebagai satu-satunya penguasa kebenaran hukum Tuhan. [ ]