Apa yang ada dan terjadi ketika Indonesia memasuki usia kedua abadnya nanti? Kita tidak tahu. Itu jawaban paling pas dengan uraian cukup lebar di atas. Internal kita hampir tidak peduli, karena sempitnya ruang imajinasi kita, pendeknya visi, dan fatalisme spiritual terurai di atas tadi.
Oleh : Radhar Panca Dahana**
JERNIH– Ramalan profetik, sains yang futuristik atau futurologi dalam ilmu sosial, hingga fiksi tentang masa depan Indonesia –baik dalam bentuk prosa, puisi, komik, film, dan lainnya—masih langka di negeri ini. Sementara di bagian dunia lain, hal dan tema-tema seperti itu hampir menjadi bagian dari keseharian masyarakat sebuah negeri.
Katakanlah di Amerika Serikat, sebagian besar Eropa Barat, Jepang, bahkan India dan Cina. Berbagai karya, mulai dari sekadar komik atau novel hingga film dengan teknologi tercanggih saat ini tentang masalah itu sudah dihasilkan, misalnya film Wandering Earth, karya sineas Cina, Frant Gwo, produksi 2018, yang dari segi fantasi hingga teknologinya tidak kalah sama sekali dengan Hollywood.
Semua kecenderungan itu tidak lain akibat dari fenomena atau peristiwa-peristiwa mutakhir yang terjadi di bumi ini, di hampir seluruh permukaannya. Peristiwa dan fenomena yang umumnya disebabkan oleh tiga hal: pertama, perubahan radikal pada kondisi alam dan lingkungan hidup kita akibta, dua perubahan yang juga drastis dari perilaku sosial-politik terutama ekonomi manusia sebagai penghuni utama bumi, yang antara lain distimulasi oleh tiga perkembangan revolusioner teknologi terapan di berbagai bidang.
Seluruh perubahan di tiga matra utama itu, diakui atau tidak (karena ada pemimpin dari sebuah negara besar menyebutnya sebagai hoax), menciptakan prediksi atau perkiraan yang sudah teruji secara akademik tentang masa depan manusia dan bumi yang katastropik. Situasi yang infernal atau armageddon di masa depan bukan lagi menjadi fantasi atau imajinasi, bukan hanya secara kultural atau keilmuan, bahkan juga secata religius. “Kiamat nyata semakin dekat!” demikian sebagian kalangan menyeruhkan. Termasuk kaum evangelis apokalipstik dan para “nabi” dari agama-agama baru yang berusaha menyelamatkan (hidup) dunia-manusia, termasuk menggeser kekuatan ilahiah ke kekuatan satanik.
Kecemasan pun melanda dunia, sebagian bahkan mulai frustrasi, apatis, atau menjadi fatalis. Pelbagai gerakan muncul sebagai reaksi dari itu. Selain munculnya gerakan agama-agama apokaliptik di atas, terdapat juga upaya-upaya –yang sebagian seperti mengada-ada atau over speculation—di antara lain mencari cara dan tempat untuk menyelamatkan nasib homo sapiens ini di masa depan. Ada yang melihatnya jauh ke angkasa, membangun stasiun penyelamat manusia di luar angkasa, peluang hidup di planet Mars dan lainnya, atau melihatnya justru ke bawah bumi, menciptakan bunker-bunker yang begitu besar yang dapat menampung seluruh kekayaan hayati penunjang hidup manusia, seperti yang dilakukan beberapa kelompok ilmuwan di negara-negara Nordik, termasuk Amerika Serikat.
Sekelompok lain menggerakkan secara massif-global semacam perlawanan, Extinct Rebellion, yang terdiri bukan hanya para aktivis lingkungan tapi juga ratusan ilmuwan termasuk puluhan peraih Nobel yang coba melawan banyak pemerintah negara maju dunia yang kebijakannya dianggap mendorong atau mempercepat kehancuran bumi.
Yang lebih menarik dari itu adalah sebuah pemikiran –yang kian meluas saat ini—tentang kian rapuhnya bumi sehingga daya dukungnya pada kehidupan pun kian merosot, secara drastis.
Dalam logika pemikiran terakhir di atas, kondisi mutakhir dunia yang dijejali lebih dari delapan miliar manusia (belum hewan dll) sudah tidak lagi dapat dipenuhi kebutuhan hidupnya oleh sumberdaya natural yang kian tipis bahkan rusak di banyak bagian karena ulah manusia sendiri. Dalam perhitungan kaum ahli, jumlah ideal manusia bagi bumi –dengan prakondisi alam yang masih sehat—tidak lebih dari 3,5 miliar manusia. Angka lima miliar masih cukup logis untuk bisa survive dan berkembang. Tapi delapan miliar, atau 10 miliar dalam waktu tidak sampai 10 tahun lagi, 20 miliar dalam jangka setengah abad kemudian? Earth’s inferno atau kiamat bumi sudah akan terjadi dengan sendirinya, tanpa bencana, tanpa perang, atau kejadian hebat lainnya.
Jalan keluar? Ini bagian terpenting dan paling menarik. Dari logika di atas, solusi terbaik tidak lain adalah memusnahkan setidaknya lima puluh persen dari penduduk dunia! Main-main? Tidak. Logika seperti ini bermunculkan di banyak medium, dimulai dari karya-karya seni. Mulai dari roman atau novel, komik, kartun, hingga atau terutama film-film masa kini yang didominasi oleh produk Hollywood. Sebutlah judul-judul macam (serial) Avengers (dan banyak sekali produk Marvel juga DC lainnya), hingga Mission Impossible bahkan Fast and Furious di seri terakhirnya, menyuarakan solusi semacam itu.
Lalu bagaimana kita membayangkan diri kita sendiri, juga sebagai sebuah bangsa atau negeri (Indonesia) dalam kemungkinan-kemungkinan apokaliptik di atas?
Saya mendapatkan, secara umum, di berbagai kelas atau pilahan demografis yang ada, pemikiran bahkan bayangan semacam itu sangat minim adanya. Maknanya? Cukup banyak, dan dalam. Pertama, secara “positif” katakanlah, orang Indonesia kebanyakan masih (selalu) memandang secara positif kehidupan yang dijalaninya, apa pun yang dialami bahkan dideritanya. Aforisme orang Jawa, semacam: “Untung yang putus cuma jempol kaki saja, bukan kakinya,” sudah hampir menjadi pemahaman bahkan keyakinan umum.
Kepercayaan pada Tuhan atau spiritualitas yang tinggi (sebagaimana dasar negara menempatkannya di sila pertama), memang terbukti, dalam artian “semua ini sudah diatur oleh Yang Kuasa semata demi kemaslahatan (keselamatan) manusia”.
Pikiran sekular bahwa kemaslahatan atau keselamatan itu bisa berakhir bahkan berganti menjadi kemudharatan atau kehancuran yang diakibatkan manusia, kalaupun ada, dimaklumi hanya sebagai bagian dari romantika kehidupan. “Pada akhirnya Gusti Pangeran yang akan bicara lewat takdirNya, untuk kebaikan manusia.” Karena? Karena Tuhan Maha Pengasih.
Tentu saja pernyataan di atas bukan dengan maksud menjudge secara negatif keyakinan umum kita. Mungkin sebaliknya, dengan sikap itu, orang Indonesia selalu memiliki (atau giat memproduksi) harapan, di situasi seburuk apapun. Satu sikap yang bagi sisa dunia tentu mendapat tanggapan positif. Tapi ada implikasi logis lainnya. Sikap yang sebagian fatalistik atau taqlid itu membuat (sebagian) kita tidak mau juga tak mampu melihat dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk dan destruktif yang terjadi di masa depan. Apalagi karena itu perbuatan kita (manusia) sendiri.
Sementara banyak data valid dan teruji, yang juga dipahami orang-orang cerdas berkeyakinan agama kuat atau fatal di atas, menunjukkan bagaimana ancaman bencana dahsyat bahkan situasi infernal, setidak khaotik, di masa depan makin nyata. Katakanlah situasi di kawasan Arktik (kutub Utara) saat ini yang terus mengalami pelelehan (gunung es) akibat pemanasan bumi yang jangankan menurun tapi justru meningkat, karena nafsu ekonomis manusia yang kian tak terbendung.
Pelelehan yang kian ekstrem itu meningkatkan permukaaan air laut di seantero dunia, yang saat ini sudah mencapai sekurangnya 30 Cm. Peningkatan satu meter akan menciptakan musibah luar biasa di banyak belahan dunia, termasuk di negara-negara Asia Tenggara. Sebagian ibukota yang kebanyakan berbatas pantai akan tenggelam, seperti Istana Negara, juga beberapa negara kepulauan kecil di Hindia dan Pasifik akan hilang sehingga menimbulkan masalah migrasi besar yang memunculkan berbagai masalah sosial, ekonomi, politik, hankam hingga kultural.
Rusaknya lingkungan dan ekosistem akibat eksploatasi bisnis dan ekonomi yang keterlaluan, akibat syahwat material dari kapitalisme modern, membuat alam mengalami kemerosotan drastis dalam perannya menunjang kehidupan. Dari segi pangan hingga kebutuhan energi, fosil terutama, yang hingga 50 tahun ke depan masih mendominasi konsumsi dunia. Akan terjadi krisis dunia, konflik dan perang di banyak kawasan, hanya untuk memperebutkan sumber-sumber dari dua SDA itu saja.
Belum lagi konstelasi dunia, geopolitik, geoekonomi hingga geokultural dunia yang kian tak menentu belakangan ini dengan munculnya diktator-diktator baru, ironisnya dilahirkan justru oleh sistem pilihan terbaik dunia: demokrasi. Kaum populis yang notabene ekstrim-kanan (far-right) di Amerika Serikat, Amerika Latin, Eropa Kontinental hingga Asia Barat dan Afrika Utara, seperti bergerak secara kolektif untuk meruntuhkan tatanan dunia yang sudah berkeringat-berdarah dibangun oleh bangsa-bangsa (yang tergabung dalam PBB maupun organisasi mundial lainna) selepas PD II.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di esok hari. Perang dagang yang tajam dan meluas antar Cina dan Amerika, Amerika dan Eropa serta sisa dunia lainnya, sekarang bertambah dengan ketegangan dagang Jepang dan Korea Selatan, Inggris dan Iran, dst., sudah terbukti menciptakan volatilitas yang tinggi pada perekonomian dan akhir politik dunia. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi.
Tapi kita tahu pasti, kemungkinan buruk itu memiliki probabilitas tinggi untuk terjadi.
Apa yang ada dan terjadi ketika Indonesia memasuki usia kedua abadnya nanti? Kita tidak tahu. Itu jawaban paling pas dengan uraian cukup lebar di atas. Internal kita hampir tidak peduli, karena sempitnya ruang imajinasi kita, pendeknya visi, dan fatalisme spiritual terurai di atas tadi. Eksternal, ketidakmenentuan dunia kian membuat kita malas memikirkannya. Kita sudah capek dengan persoalan personal di keseharian dan isi medsos yang mengharu biru bahkan di waktu makan atau ibadah kita. Biarlah orang yang berwenang memikirkannya, dan Tuhan memutuskannya.
Tidak terbayang sama sekali, misalnya, apakah spesies manusia modern ini dapat bertahan tiga puluh atau lima puluh tahun lagi? Tidak usah satu abad kemudian. Dan bukannya tersingkir atau mulai punah karena bencana alam atau evolusi dari beberapa makhluk yang kembali monstrousi. Namun tersingkir atau kalah subspesies manusia yang sebagian dari tubuhnya merupakan implantasi atau transplantasi produk teknologi mutakhir, semacam chip berisi artificial intelligence. Semacam manusia android, cyborg, mutan atau bionic.
Sub spesis human yang baru ini memiliki kapasitas atau kemampuan yang jauh melampaui manusia normal, karena kapabilitasnya –paling kurang—jauh lebih tinggi dalam mencerap dan mencerna Maha Data dan operasi komputasi berbasis internet of things. Mereka bisa jadi akan meraih bahkan merebut kekuasaan yang selama ini digenggam oleh manusia alamiah. Konflik di antara kedua sub spesies akan terjadi sengit, dan mendapat lawan lain yang jauh lebih menarik dan lebih mumpuni, sub spesies yang murni hasil teknologi: robot.
Kumpulan atau komunitas manusia-robot ini bukan hanya sudah diwujudkan dalam pelbagai film tapi juga direalisasikan secara nyata, katakanlah, di beberapa negara seperti: Jepang, Amerika Serikat juga Cina. Produk teknologi yang berusaha memiliki semua kemampuan manusiawi ini, pada satu saat, akan juga memiliki kapabilitas untuk menciptakan keputusan sendiri, mengeksekusinya, termasuk dalam menghadapi kompetitornya (manusia dan cyborg), bahkan menciptakan masyarakatnya sendiri.
Bagaimana kemudian dunia yang dihuni oleh –dan persaingan tinggi antara—tiga human sub specieses di atas? Anda bisa membuat spekulasinya masing-masing. Yang jelas ketiganya akan menghadapi dan merespon situasi dunia atau bumi sebagaimana terprediksi di atas, dengan caranya masing-masing.
Dan Indonesia pada masa itu, dalam perhitungan yang paling logis (juga teoritis), dalam hemat penulis, masih belum jauh beranjak dari realitas tradisional dan primordial yang sudah ribuan tahun mereka jalani itu. Jika benar semua prediksi dan munculnya persaingan keras dan sub spesies di atas, bangsa Nusantara ini, banga yang Bahari ini, akan tinggal menjadi sukubangsa tertinggal, primitif. Semacam Baduy, Suku Naga, atau bahkan Asmat atau Anak Dalam seperti sekarang ini.
Apa yang menarik dari spekulasi imajinatif itu adalah: orang atau bangsa Indonesia menjadi satu dari sedikit bangsa yang masih memelihara kebudayaan asli sebagai dasar identitasnya. Dalam logika umum saat itu, kebudayaan adalah omong kosong. Dalam kesadaran yang faithfully, spiritualistik sejak zaman pagan, justru kata itu (kebudayaan dan agama) yang –konon– akan menyelamatkan manusia, juga bumi dan seisinya.
Siapa yang tahu? Kita secara umum sudah menjawabnya: hanya Allah yang tahu. Anda? [ ]
*Pernah dimuat pada “KASYAF” Jurnal Populer Pemikiran Ekonomi Islam—Pusat Studi Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, volume 1 tahun 1/2019
**Penulis pada 22 April 2021 malam, sekitar pukul 20.00 meninggal dunia. Semoga semua karya almarhum, termasuk artikel ini, menjadi amal jariyah almarhum.