“Dengan menandatangani pendirian Indonesian Locavore Society (ILS), kita bukan hanya membentuk sebuah lembaga, tetapi memulai gerakan perubahan besar, gerakan untuk kembali mencintai bumi sendiri melalui pangan lokal,” kata Syarif, di kepala saya. Kata-kata itu terkesan sederhana. Tetapi seperti benih, banyak hal besar dalam sejarah dimulai dari sesuatu yang kecil. Benih itu kini disemai: Indonesia diajak melihat kembali apa yang tumbuh di tanahnya, sebelum tergoda oleh apa yang datang dari pelabuhan-pelabuhan jauh nun di sana.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH– Bandung punya kebiasaan melahirkan gagasan yang diam-diam menyalakan api besar. Dulu, semangat Asia-Afrika berangkat dari kota ini, yang dalam bukunya disebut Malcolm X membuat air matanya meleleh.
Hari ini, Sabtu, 1 November 2025, barangkali sebuah revolusi berbeda sedang disulut — jauh dari panggung diplomasi, tanpa sorot lampu istana, tanpa gegap gempita konferensi pers. Di sebuah restoran kecil di bilangan Cisangkuy, sejumlah nama berkumpul untuk menandatangani sebuah ide: Indonesian Locavore Society (ILS). Dan jika sejarah punya selera humor, mungkin ia sedang tersenyum: perubahan besar selalu bermula dari tempat yang tak diduga — seperti gerakan NAZI yang dimulai dari sebuah warung bir, misalnya.
Syarif Bastaman, yang memimpin inisiatif ini, akan memberi pidato singkat namun padat makna. Saya membayangkannya begini: “Dengan menandatangani pendirian Indonesian Locavore Society (ILS), kita bukan hanya membentuk sebuah lembaga, tetapi memulai gerakan perubahan besar, gerakan untuk kembali mencintai bumi sendiri melalui pangan lokal,” kata Syarif, di kepala saya.
Kata-kata itu terkesan sederhana. Tetapi seperti benih, banyak hal besar dalam sejarah dimulai dari sesuatu yang kecil. Benih itu kini disemai: Indonesia diajak melihat kembali apa yang tumbuh di tanahnya, sebelum tergoda oleh apa yang datang dari pelabuhan-pelabuhan jauh nun di sana.
Gerakan locavore sendiri lahir di San Francisco pada 2005 — semacam perlawanan halus atas industri pangan global yang begitu panjang, begitu jauh, begitu melelahkan bumi, namun sering kali tak menyejahterakan petani. Dari sana, ia menjalar pelan ke kota-kota dunia, merasuk ke dapur restoran, menetes ke pasar pekan, lalu turun ke rumah-rumah warga yang bosan menjadi sekadar konsumen. Locavore mengajarkan hal yang paling tua tetapi paling sering kita lupakan: sebelum menjadi modern, manusia adalah makhluk setempat. Ia makan dari jarak kaki, bukan kontainer. Ia menanam apa yang dimakannya, dan mengenal tangan yang memanen makanannya.
Kini, semangat itu tiba di Bandung. Dibawa oleh sekelompok orang yang percaya bahwa masa depan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh pabrik nikel, kereta cepat, atau investasi baterai. Ada fondasi yang lebih dasar: kedaulatan yang dimulai dari piring nasi. Dalam prolog yang ditulis untuk ILS, Kang Eep Maqdir mengingatkan, “Gerakan ini bukan sekadar tentang makanan, tetapi tentang masa depan. Tentang bagaimana kita, sebagai bangsa, dapat menegakkan kemandirian dan keberlanjutan melalui pilihan yang kita buat setiap hari — dimulai dari apa yang kita makan.”
Di negeri yang dianugerahi ribuan varietas padi, ratusan jenis umbi, ragam rempah yang membuat bangsa-bangsa datang berebut, hingga laut yang kaya protein, kita justru menjadi salah satu pengimpor pangan terbesar dunia. Gandum, kedelai, gula, bawang putih, susu, jagung — sebagian besar datang dari luar negeri.
Ironi kita begitu telanjang: negeri subur yang dapurnya bergantung ke ladang bangsa lain. Devisa mengalir keluar bukan hanya karena pembangunan infrastruktur, tetapi juga karena sarapan roti, makan siang tahu tempe impor, dan minum susu dari peternakan ribuan kilometer jauhnya. Bila para ekonom sibuk memperdebatkan hilirisasi mineral, barangkali mereka lupa: perut 280 juta orang adalah industri yang jauh lebih besar dari tambang mana pun.
ILS lahir untuk menjawab paradoks itu. Bukan melalui retorika podium, melainkan dengan gerakan sehari-hari: makan dari bumi sendiri. Ini bukan sekadar nostalgia romantik atas “desa yang hilang.” Locavore adalah gerakan budaya sekaligus strategi ekonomi. Ia membuka rantai pasok pendek, menghidupkan pasar rakyat, memberi napas baru bagi petani kecil, mengembalikan marwah kuliner Nusantara, dan — yang kerap terlupakan — menghemat devisa. Negara sering mengukur pertumbuhan melalui pabrik dan rel kereta. Gerakan ini mengingatkan: ekonomi juga tumbuh dari sendok dan garpu.
Bandung cocok menjadi panggung pertama. Kota ini sudah lama menjadi laboratorium kuliner, tempat kreativitas menyelinap ke dapur, pasar komunitas bermunculan, pekarangan kembali ditanami, dan anak muda mulai mencari tahu siapa yang menanam sayuran di piring makan mereka. Di sinilah politik rasa bergerak. Dari warung kecil, dari gerobak kaki lima, dari dapur yang mempertahankan sambal terasi, sayur lalap, singkong rebus, tempe gembus, susu sapi kampung. Identitas bukan jargon politik; ia juga hidup dalam apa yang kita kunyah.
Pertanyaannya sederhana: mungkinkah perubahan bangsa dimulai dari pilihan lauk pauk? Kalau kolonialisme pernah berjalan lewat lada dan pala, mengapa kedaulatan tidak bisa bergerak melalui singkong dan kelor? Kalau revolusi pernah terjadi di taman Versailles, mengapa revolusi hari ini tidak bisa meletup di meja makan Cisangkuy?
Banyak gerakan besar dimulai dari ruang kecil: koperasi lahir dari obrolan sederhana, republik dari kamar kos aktivis, nasionalisme dari diskusi di kedai kopi. Hari ini, sebuah gagasan lahir dari piring. Sebagai bangsa, mungkin ini saatnya kita bertanya ulang: mengapa nasi kita harus impor, gula kita harus impor, kedelai kita harus impor, sementara dari Sabang sampai Merauke tanah masih bernafas, air masih mengalir, dan petani masih menunggu harga pantas?
Makan lokal bukan kampanye gaya hidup. Ia adalah sikap politik. Ia adalah cara paling sunyi melawan ketergantungan. Dan sebagaimana banyak hal sunyi yang kemudian menjadi pekik sejarah, langkah kecil ini tampaknya sudah mulai menyiapkan gema besarnya.
Selamat datang Indonesian Locavore Society. Negeri ini sudah terlalu lama lapar kedaulatan, terlalu lama percaya bahwa kemajuan datang dari lontaran kontainer, bukan dari tanah yang diinjak tiap hari. Mungkin benar apa yang orang bilang: revolusi besar tidak selalu berangkat dari senjata, tapi kadang dari sendok.
Di Bandung, hari ini, sendok itu baru saja diangkat. [dsy]
