Site icon Jernih.co

Insiden Minyakkita di Lampung dan Aji Mumpung Kita Semua

Ilustrasi

Mengambil sikap yakin bahwa aji mumpung adalah sikap manusia yang taken for granted, “udah dari sononya”. Sebagian orang misalnya berkata,”Aji mumpung itu tidak usah dipersoalkan sungguh-sungguh. Itu lazim, kok. Bukankah pejabat X, pejabat Y, Menteri Dadap, Gubernur Waru, Bupati Fulan, melakukannya?”   Orang yang berkata itu sudah terjebak pada satu mitos: overgeneralisasi. Para pakar logika menyebutnya fallacy of dramatic instance. Dia mengambil beberapa contoh, lalu langsung melakukan generalisasi.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Proses masuknya Abu Dzar Al-Ghiffari—sahabat yang disebut Nabi Muhammad sebagai pemilik lisan paling jujur–ke dalam Islam konon dimulai ketika Anis, saudaranya yang baru pulang dari Makkah, melapor: “Aku menemukan Nabi yang menganut agama seperti kamu.” Kepada Abu Dzar yang ditulis Abu Nu‘aim Al-Ishfahani dalam “Hilyat Al-Awliya” sebagai “khadimar Rasul, wata’allamal ushul, wa nabadzal fudhul—yang mengabdi kepada Rasul, yang belajar pokok-pokok agama, dan melemparkan kemegahan dunia”— itu Anis berkata, Nabi itu mewajibkan orang kaya untuk memberikan sebagian dari hartanya kepada orang miskin. Seperti Abu Dzar, Nabi itu pun mengecam penguasa yang sekaligus jadi pengusaha.

Darmawan Sepriyossa

Alhasil, sejak lama Islam menegaskan pagar api yang kuat di antara keduanya, penguasa-pengusaha. Ibarat asas firewall di dunia jurnalistik, yang menegaskan harus wujudnya batas tegas antara (bagian) redaksi dengan (bagian) usaha atau iklan. Penguasa, secara etis dipandang tidak elok manakala ia atau pun keluarga dan kroninya jadi pengusaha karena adanya perbedaan kepentingan dalam dua posisi tersebut.

Maka, ketika beredar kabar bahwa Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) disebut-sebut melakukan kampanye untuk putrinya, senyampang membagi-bagikan minyak sawit produksi Kemendag, MinyaKita, wajar manakala muncul reaksi yang menyudutkannya. Urusan seputar berita itu kemudian terasa tidak wajar ketika muncul pemberitaan dari media utama sekelas Republika, yang mengangkat sisi lain dari berita yang beredar: ada pelintiran yang disengaja atas fakta sesungguhnya.

Hal itu dikemukakan Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo. Menurut Drajad, fakta yang terjadi di lapangan itu kemudian “dipelintir” dan muncul dengan esensi berita: “Mendag memakai program pemerintah agar rakyat memilih putrinya.”

Dradjad berkukuh bahwa hal itu dipelintir karena bertentangan dengan beberapa fakta. Pertama, menurut Drajad, kegiatan tersebut adalah acara PAN, bukan acara Kemendag. “Bang Zul hadir sebagai ketua umum PAN, bukan sebagai Menteri perdagangan. Acara diadakan pada akhir pekan, bukan pada hari kerja. Mendag memang terbiasa bekerja di luar jam kerja. Namun, jika dia sesekali memakai akhir pekan untuk keluarga atau PAN, mosok tidak boleh?”ujar ekonom INDEF itu, retoris.

Kedua, bazzar yang disebut PANsar Murah tersebut dibiayai pengurus dan kader PAN sendiri, tidak gratisan menggunakan fasilitas negara. Minyakkita yang dibagikan pun sudah dibeli dari pemerintah. Kegiatan berbagi dengan rakyat seperti itu pun, kata Drajad, sering dilakukan PAN. Contohnya, pada April 2022,  Eko Patrio, anggota DPR dari PAN, mengadakan PANsar Murah di enam tempat di DKI Jakarta. Sembako dengan harga Rp 150 ribu dijual hanya Rp 30 ribu, disubsidi Eko dkk sebesar Rp 120 ribu.

Bagi Drajad, bila yang dibagikan setelah dibeli kader PAN itu Minyakita, bukankah sejatinya itu membantu sosialisasi Minyakita di masyarakat? Dalam logika Drajad, dengan kian banyaknya masyarakat mengenal dan membeli Minyakita, akan muncul tekanan pasar terhadap swasta untuk menurunkan harga minyak goreng. Artinya,”Acara tersebut bukan memanfatkan, melainkan justru membantu prog-ram pemerintah,”kata dia.  

Bila yang dipersoalkan adalah waktu, ucapan Zulhas sebagai ketum PAN–karena ia melakukannya di hari libur sebagai pejabat negara—menurut Drajad pun masih wajar.  “Jika dikomentari terkait pelanggaran pemilu, masa kampanye kan belum dimulai? Apakah politisi tidak boleh bersilaturahmi dengan konstituen?”tanya politikus senior PAN itu. Ia menunjuk beberapa menteri dan pejabat negara lain yang juga lebih dulu melakukannya.

Drajad lalu menghubungkan munculnya “pelintiran” yang berujung kegaduhan di media itu dengan pasar minyak goreng dalam negeri. “Yang saya tahu, Mendag Zulhas sedang menertibkan impor dan bidang tugas Kemendag lainnya. Sebagian pemain impor dan oknum backing-nya mulai gerah,”kata dia.

                                                ***

Mungkin saya harus mulai menggunakan kata ‘lazim’ untuk mengganti kata ‘wajar’ yang kadang memiliki arti mendua. Barangkali saya salah manakala menggunakan kata ‘wajar’ untuk aksi aji mumpung yang kerap kita lihat dalam realitas keseharian di Tanah Air. ‘Wajar’ sedikit mengandung pemakluman atas hal yang mungkin kurang elok secara etika. Sementara ‘lazim’ tampaknya cenderung berarti ‘sudah biasa’, ‘sudah menjadi kebiasaan’, atau ‘sudah umum’.

Sukar dinafikan bahwa di sini hampir semua pejabat lazim memakai jurus “aji mumpung” dalam kehidupan mereka.  Setidaknya, patut diduga menggunakan ajian tersebut manakala mereka menjabat. Kornas-Jokowi bahkan sempat menuding adanya para pembantu Presiden yang ‘tebar pesona dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Corporate Social Resposibility (CSR)’. “Kami menduga ada beberapa menteri yang menggunakan uang negara untuk tebar pesona demi kepentingan pribadi dan kelompoknya,” kata Sekjen Kornas-Jokowi, Akhrom Saleh, pertengahan November 2021.

Beberapa kegiatan para pejabat memang sempat menuai respons negative di media massa. Misalnya, manakala Ketua DPR RI Puan Maharani gencar melakukan pengenalan diri via baliho—saya memilih istilah itu dibanding ‘kampanye’– serta bagi-bagi sembako, saat foto dan video Menteri BUMN Erick Thohir muncul di mesin-mesin ATM bank-bank pelat merah, di kala muncul tudingan bahwa beliau dan Pak Luhut Binsar Panjaitan (LBP) ikut terlibat bisnis PCR, di waktu timbul tuduhan bahwa putera Menteri Pertanian Syahrul Yassin Limpo, Kemal Redindo Syahrul Putra, mengincar jabatan strategis sebagai kepala Balai Besar Karantina Pertanian Makasar sebagaimana ditulis Sinar Pagi Baru, bahkan manakala putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai calon walikota Solo, 2019 lalu. Itu hanya mengambil sedikit hasil pencarian pada laman Google.

“Kapasitas dinomorduakan. Jadi, lebih pada aji mumpung,” kata pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin, seperti dimuat TEMPO.CO, 12 Desember 2019. Menurut Ujang saat itu, dalam soal kapasitas, Gibran baru anak kemarin sore di dunia politik. “Soal kapasitas, publik masih bertanya-tanya,” kata dia.

Umumnya pihak-pihak yang dituding di atas memberikan jawaban. Erick Thohir, misalnya, tidak merasa tudingan anggota DPR RI dariPartai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Yulian Gunhar, bahwa dirinya melakukan penyalahgunaan jabat-an dengan pemajangan foto (dan video), itu benar. Yulian sendiri menyatakan itu dengan alasan, jika layanan iklan itu bisa dikomersialkan, akan menjadi pemasukan negara.

Erick menepis tudingan kemunculan dirinya di ribuan ATM bank BUMN sejalan tujuannya menjadi capres pada 2024.  “Bayangkan nggak, kalau saya taruh di BCA? Nah, itu baru propaganda. Kalau bicara AKHLAK, AKHLAK itu bukan hanya BUMN sekarang. Pak Tjahjo dan Bapak Presiden juga (kampanye AKHLAK) menjadi bagian dari ASN,” kata Erick dalam acara Kick Andy Show.

Erick bilang, tak ada yang salah saat dirinya memanfaatkan aset BUMN untuk memperkenalkan nilai dasar dari kementerian yang dinakhodainya.  Ia menganalogikan, banyak menteri juga menggunakan fasilitas instansi yang mereka pimpin untuk mempromosikan sesuatu yang dianggap baik. “Sekarang contoh banyak kementerian yang memasang baliho di depan kantornya, berarti dia menggunakan fasilitas publik untuk mempromosikan dirinya? Untuk sesuatu? Kan nggak,”ujar Erick.

Bagi Erick, menjadi pejabat memang memiliki risiko untuk difitnah berbagai pihak. Meski demikian, ia menekankan, tudingan itu harus dibuktikan dengan data yang jelas. “Pejabat publik punya risiko bahwa dia harus menerima fitnah. Tetapi, tentu fitnah itu harus dibuktikan, tidak bisa menuduh sembarangan tanpa data.”

Puan pun punya pembenaran untuk kegiatan yang menurut pengakuan pemilik Gage Design, Bambang Nugroho, di seputaran Solo Raya dengan 45 titik saja, sebulan bisa menghabiskan dana Rp 450 juta. “Ada sekitar 201 baliho, di seluruh Sumatra, Jawa Tengah dan Jogja,” ujar Bambang.

“Tekanan narasi dalam billboard, dan lain-lain itu bukan kampanye politik, tetapi kampanye kebersamaan, persatuan dan kemanusiaan,” kata politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno, menjawabkan Puan.  Hendrawan menegaskan bahwa pemasangan baliho Puan Maharani dalam kapasitas ketua DPR RI, sementara biayanya, kata dia, dari hasil gotong royong anggota DPR Fraksi PDIP.

Adapun soal pendirian PT GSI yang berbisnis utama menyediakan tes PCR dan swab antigen, langsung dijawab sendiri Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut menegaskan, pendirian PT GSI itu lebih dibuat sebagai ladang amal. Ia menyatakan, dirinya tak pernah sedikit pun mengambil keuntungan dari bisnis tersebut. Bahkan menurut dia, PT GSI banyak berperan dalam menyediakan tes PCR gratis untuk membantu masyarakat. 

“Saya ingin menegaskan beberapa hal lewat tulisan ini. Pertama, saya tidak pernah sedikit pun mengambil keuntungan pribadi dari bisnis yang dijalankan PT Genomik Solidaritas Indonesia,” kata Luhut melalui keterangan yang diunggah pada akun Facebook dan Instagram-nya, yang dikutip Kompas.com Jumat, 5 November 2021.

“Hingga saat ini tidak ada pembagian keuntungan baik dalam bentuk dividen maupun dalam bentuk lain kepada pemegang sahamnya,” kata dia lagi. Luhut bilang, keuntungan dari PT GSI banyak digunakan untuk memberikan tes swab gratis kepada masyarakat yang kurang mampu serta tenaga kesehatan, termasuk di Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet.

“Sesuai namanya, Genomik Solidaritas Indonesia, memang ini adalah kewirausahaan sosial sehingga tidak sepenuhnya bisa diberikan secara gratis,” ujar Luhut.

Negeri para bedebah?

Mungkinkah negeri ini telah terperosok dalam, sehingga menjadi laiknya ‘Negeri Para Bedebah’ sebagaimana judul novel Tere Liye? Mungkinkah kita sebagai warga negeri indah permai ini tak lebih dari jiwa-jiwa kerdil alias timid soulsseperti yang ditulis Prof Herbert fensterheim, dalam bukunya yang mengulas warga AS, ”Don’t Say ‘Yes’, When You Want to Say ’No’”?  Entahlah, barangkali itu bisa menjadi salah satu tema tafakur kita, dan pasti berpahala. “Hidup yang tak ditafakuri, tak layak dijalani,”kata Aristoteles. Nabi Muhammad SAW memberikan panduan tegas, “Merenung (tafakur) sesaat lebih baik daripada ibadah setahun.”

Hanya, tanpa harus menemukan lebih dulu benar atau tidaknya kita telah berubah jadi bedebah, secepatnya kita semua harus berupaya mengubah kondisi yang ada. Berubah untuk tidak lagi gampang mengambil jurus aji mumpung tersebut, apalagi jatuh kepada sikap seorang fatalis.

Misalnya, mengambil sikap yakin bahwa aji mumpung adalah sikap manusia yang taken for granted, “udah dari sononya”. Sebagian orang misalnya berkata,”Aji mumpung itu tidak usah dipersoalkan sungguh-sungguh. Itu lazim, kok. Bukankah pejabat X, pejabat Y, Menteri Dadap, Gubernur Waru, Bupati Fulan, melakukannya?”   Orang yang berkata itu sudah terjebak pada satu mitos: overgeneralisasi. Para pakar logika menyebutnya fallacy of dramatic instance. Dia mengambil beberapa contoh, lalu langsung melakukan generalisasi.

Determinisme-retrospektif memandang aji mumpung sebagai tragedi yang tak terhindarkan. Mitos seperti itu jugalah yang tampak dipegang oleh seseorang manakala ia berkata, “Pelacuran tidak perlu dibrantas, karena sudah ada sepanjang sejarah.” Dengan menuding sejarah sebagai penyebab malapetaka, orang dengan mudah menjadi fatalis.

Amanah-nashahah

Aji mumpung bisa dihindari manakala seseorang benar-benar amanah. Lihatlah perilaku Umar bin Abdul Aziz alias Umar II, sebagai contoh ekstrem, misalnya. Umar yang terkenal, antara lain, karena mematikan lilin manakala anaknya datang ke kamar kerja untuk urusan keluarga, bukan umat. Kita tahu, Umar hanya memerintah sebagai khalifah selama kurang dari dua tahun. Tetapi namanya harum hingga ribuan tahun sesudah jasadnya hancur didekap bumi. Beliau juga disebut sebagai khalifah paling terkemuka dari Bani Umayyah.   

Kata amanah mempunyai akar kata yang sama dengan kata “iman” dan “aman”, sehingga mukmin yang berarti yang beriman, juga berarti yang mendatangkan keamanan; juga yang memberi dan yang menerima Amanah. Salah satu nama Allah adalah Al-Mu’min, sebab Ialah yang memberikan rasa aman, iman dan amanah. Orang yang beriman disebut juga al-mu’min karena ia menerima rasa aman, iman, dan Amanah. Bila orang tidak menjalankan amanahnya, ia dianggap tidak beriman dan tidak akan memberikan rasa aman, baik untuk dirinya maupun untuk masyafakat sekitarnya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “La imana li man la amanatalah.” Tidak beriman orang yang tidak ada amanahnya.” (Al-Bihar 72:198).

Orang yang setia kepada amanahnya — atau mukmin yang melaksanakan amanahnya dengan baik — disebut nashahah. Kesetiaan memenuhi amanah disebut nashihah (yang sering salah diterjemahkan menjadi nasihat). Orang yang berkhianat terha-dap amanah yang dipikulnya disebut ghasyasyah. Lain dengan Carolus Linaeus—maaf–Nabi Muhammad SAW hanya membagi manusia itu menjadi dua kelompok saja, nashahah dan ghasyasyah.

”Orang-orang yang beriman itu satu sama lainnya menjadi nashahah dan saling mencintai, walaupun badan-badan dan tempat tinggal mereka saling berjauhan. Orang-orang durhaka itu satu sama lain ghasyasyah dan saling berkhianat; walaupun badan-badan dan tempat tinggal mereka saling berdekatan.” (Al-Targhib wa Al-Tarhib, 2:575).

Dalam pandangan Islam, agama tidak lain daripada kesetiaan melaksanakan amanah yang dipikul masing-masing. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya agama itu al-nashihah (kesetiaan, bukan diterjemahkan sebagai ‘nasihat’ seperti sering dilakukan orang).

Para sahabat bertanya, ”Kepada siapa kesetiaan itu harus diberikan, ya Rasul Allah?” Nabi menjawab,”Kepada Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin Islam, dan keseluruhan umat Islam.” (HR Muslim Al-Nasa’l Al-Tirmidzi, dan Abu Dawud). [dsy]

Exit mobile version