Persoalan mendasarnya, dengan tetap memegang istilah ‘petugas partai’ di saat kader PDIP telah ‘diserahkan’ kepada publik, itu bisa memunculkan makna tidak diakuinya peran rakyat yang telah memberikan mandat mereka kepada kader PDIP. Bukankah sudah menjadi common sense yang sepatutnya, bahkan pangkal pikir paling mendasar bahwa loyalitas kepada partai itu berhenti ketika loyalitas kepada negara dimulai? “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins,”kata Presiden kedua Filipina dan satu tokoh besar negeri tetangga itu, Manuel L. Quezon, juga kata Presiden AS, John F. Kennedy
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH–“What is in a name?” kata pujangga Inggris, William Shakespeare. “Apa(lah) arti sebuah nama?” Namun kutipan dari naskah drama “Romeo and Juliet” ini tentu tak bisa dipaksakan untuk disitir di setiap keperluan perdebatan tentang asma.
Termasuk dalam sawala yang telah jadi perbantahan berulang tentang istilah “petugas partai”, yang diberikan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kepada Ganjar Pranowo, bakal calon presiden yang digadang-gadang partai tersebut untuk Pilpres 2024. Berulang, karena kita ingat wacana publik ini telah dimulai pada 2014, manakala PDIP menunjuk Jokowi sebagai calon presiden pilihan mereka saat itu.
Mengapa argumen mudah—apalagi karena hanya menyitir—dari Shakespeare tersebut tidak pas untuk polemik soal ‘petugas partai’ yang kini kembali mengemuka, dan mungkin akan lagi datang di 2029 kalau PDIP masih keukeuh peuteukeuh alias berkeras hati menggunakan istilah tersebut? Karena persoalannya tidak semata soal penamaan dan sekadar pengucapan. Penyebutan tersebut, selain datang dari paradigma berpikir tertentu, juga meniscayakan konsekuensi logis yang pasti dari penggunaannya dalam medan politik bangsa.
Dengan senantiasa mengedepankan istilah ‘petugas partai’, PDIP jelas mengajak publik mengingkari fakta terang benderang bahwa dalam sistem yang tengah berlaku di Indonesia saat ini, presiden tidak dipilih oleh partai politik tapi oleh setiap coblosan per individu rakyat di saat mereka menentukan pilihan pada Pilpres.Alhasil, dengan begitu sumber kekuasaan presiden jelas dari rakyat, bukan dari partai. Itu berbeda laiknya hitam dengan putih dengan—katakan saja—sistem yang berlaku di negara yang masih–-saja—menyatakan diri ‘komunis seperti Republik Rakyat Cina (RRC).
Kita bisa tidak habis pikir mengapa PDIP berkeras memakai istilah itu untuk kader yang jelas-jelas siap mereka ‘wakafkan’ demi kebaikan bersama dalambingkai Indonesia. Jika PDIP, karena istilah tersebut disebut tersurat dalam Anggaran Dasar partai, tepatnya pasal 20 ayat (2), menggunakan hal itu di dan untuk internal partai, tentu masih sah dan masuk akal. Ayat itu memang menyebutkan bahwa setiap anggota partai yang terpilih dan duduk dalam jabatan politik dan jabatan publik ialah petugas partai yang harus tunduk dan patuh terhadap aturan dan perintah partai sesuai tingkatannya.
Tetapi manakala istilah itu dibawa-bawa ke ranah publik, disuarakan kepada rakyat seolah mereka semua merupakan anggota partai, saya kira hal itu jelas off-side dan layak disemprit. Perkara kita melihat wasitnya seolah referee dari jenis yang sering dikata-katai buruk oleh supporter bola kita di arena liga dalam negeri, itu jelas soal lain.
Dalam sistem politik Indonesia saat ini presiden tak bisa dibilang petugas partai. Presiden merupakan pemegang mandat tertinggi pemberian rakyat untuk memimpin negeri. Alhasil, benar kata Dewan Redaksi Media Indonesia manakala mereka bilang dalam editorialnya bahwa,”..ketika ada partai yang merasa kedudukannya melampaui pemegang mandat rakyat, jelas itu sebuah bentuk pengingkaran terhadap prinsip demokrasi itu sendiri. Dalam demokrasi langsung, presiden lebih tepat disematkan dengan atribusi petugas rakyat.”
Persoalan mendasarnya, dengan tetap memegang istilah ‘petugas partai’ di saat kader PDIP telah ‘diserahkan’ kepada publik, bisa memunculkan makna tidak diakuinya peran rakyat yang telah memberikan mandat mereka kepada kader PDIP. Jokowi dalam dua Pilpres terakhir, misalnya. Bukankah sudah menjadi common sense yang sepatutnya, bahkan pangkal pikir paling mendasar bahwa loyalitas kepada partai itu berhenti ketika loyalitas kepada negara dimulai? “My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins,”kata Presiden kedua Filipina dan satu tokoh besar negeri tetangga itu, Manuel L. Quezon. Konon pernyataan yang sama pernah pula dikatakan Presiden AS, John F. Kennedy, di awal-awal jabatannya.
Berdasarkan riset terbatas melalui mesin pencari, di Indonesia istilah ‘petugas partai’ hanya digunakan PDIP. Namun sebagaimana partai politik lain, PDIP pun masih pula menggunakan istilah pengurus, anggota, dan kader, bagi anggota partainya.
Tentu saja, penggunaan istilah tersebut bukan tanpa alasan, atau setidaknya apologi. Pada saat dipersoalkan publik di awal popularitasnya sebagai istilah, tak lama setelah terpilihnya Jokowi dalam Pilpres 2014, kader PDIP yang saat itu menjadi menteri dalam negeri, mendiang Tjahjo Kumolo mengatakan, inti frasa ‘petugas partai’ tidak dalam arti merendahkan seorang kader partai. Namun–saat itu dengan mencontohkan Jokowi sebagai presiden terpilih–dipilih oleh rakyat yang pada awalnya atas dasar penugasan partai. Sebagai anggota atau kader partai, menurut Tjahjo, mereka harus ingat akan asal usul dari mana setelah dapat jabatan baru.
Hal senada diulangi politisi PDIP, Adian Napitupulu, untuk kasus pencalonan Ganjar Pranowo. “Dia jadi calon presiden dan kelak menjadi presiden, itu karena mandat yang harus dibawa dan diperjuangkan oleh dia sebagai kader partai,” kata Adian Napitupulu, pada program Primetime News yang ditayangkan Metro TV, Jumat (21/4) akhir bulan lalu. Lebih jauh, Adian menyebut semua kader partai di PDIP merupakan petugas partai. “Saya juga petugas partai,” kata dia.
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, bahkan punya alasan sejarah. Menurut dia, istilah ‘petugas partai’ yang dipakai PDIP, muncul dalam sejarah pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Saat itu elit Partai Nasional Indonesia (PNI) merasa berkewajiban mendidik, menyadarkan, dan memimpin massa rakyat. Mereka yang terbukti mampu mengorganisasi rakyat, kemudian ditugaskan partai untuk terjun ke masyarakat.
Menurut Syafril Nazirudin dalam tesisnya untuk meraih gelar magister politik dan pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), “Petugas Partai: Dilema Antara Menjadi Representasi Rakyat Atau Representasi Partai (Studi Kasus Tipologi Representasi Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan)”, 2021 lalu, istilah yang bahkan sampai dipatenkan PDIP itu dibuat untuk mengatur dan mendisiplinkan kader yang diberi penugasan agar dapat menjalankan nilai-nilai partai.
Budayaan komunis?
Sejak mulai bergaung pada perhelatan Pilpres 2014, nyaris satu dekade lalu, urusan ‘petugas partai’ ini memang telah memantik perdebatan sengit. Salah satunya karena dianggap bermuatan budaya komunis.
“Monoloyalitas, petugas partai, itu semua kosa kata dalam negara komunis,”kata Fahri Fahri Hamzah, saat ini petinggi Partai Gelora. “Itu tradisi komunis sebenarnya, kalau dalam tradisi demokrasi, partai politik hanya mencalonkan, dia kaya event organizer saja.”
Rekan duet Fahri saat keduanya sama-sama berkiprah di DPR, Fadli Zon, menyatakan dalam sistem presidensial, istilah itu tidak ada. Yang ada, sebagaimana kata Fahri, ya di dalam sistem komunis tadi. “Petinggi partai komunis bisa menentukan presiden. Di situ dia bisa menjadi petugas partai,”kata Fadli, pada 2015 lalu.
Dari sisi bahasa, terutama Bahasa Inggris, istilah ‘petugas partai’ tampak memiliki kedekatan dengan dua kata, yakni “Party Official” atau “Party Apparatus” (apparatchik). Kami kutip verbatim, “Party official means any person who holds an elective or appointive post in a political party in the United States or this state, by virtue of which the person directs, conducts, or participates in directing or conducting party affairs at any level of responsibility. Sementara kata “Apparatchik” bermakna “a very loyal member of an organization (such as a company or political party) who always obeys orders.”
Dalam hal ini, penggunaan kata “party official” biasanya digunakan di negara demokrasi seperti Amerika Serikat. Jika dilihat dari definisi makna kata, “party official” lebih dekat dengan arti pengurus partai dalam bahasa Indonesia.
Sementara, penggunaan kata “apparatchik” lebih dekat dengan istilah petugas partai yang menuntut loyalitas dan mengikuti arahan serta nilai-nilai yang ada dalam partai. Dalam pencarian di Google menggunakan keywords tersebut, hasilnya menunjukkan banyak penelitian dan tulisan di media massa yang mengarahkan kepada Uni Soviet dan Cina sebagai negara penganut ideologi komunisme.
Sebagai negara bersistem satu partai di bawah Partai Komunis Cina (PKC), partai itu mengontrol negara dan mempengaruhi masyarakat luas. Setiap warga negara—apalagi kader partai–harus setia kepada PKC. Kader—“gànbù” dalam istilah mereka–tidak hanya dilatih untuk menjadi pengurus yang kompeten, tetapi juga harus setia secara ideologis kepada partai dan mengejar cita-cita masyarakat sosialisme ala Cina.
Dihubungkan dengan Leninisme yang menginspirasi Komunisme ala Mao Tse Tung, berdasarkan konsep vanguardisme Leninis, kader adalah revolusioner profesional penuh waktu yang berdedikasi pada tujuan partai komunis, yang bekerja atas kebijaksanaan kepemimpinannya. Itu yang membedakan mereka dengan anggota biasa yang tidak terlibat dalam menjalankan partai sehari-hari.
Istilah kader (ganbu) sendiri, menurut Wikipedia, pertama kali digunakan Partai Komunis Cina pada Kongres Nasional ke-2 PKC pada Juli 1922. Vanguardisme, dalam konteks perjuangan revolusioner Leninis, berkaitan dengan strategi di mana bagian proletariat atau kelas pekerja yang paling sadar kelas dan secara politis “maju”, yang digambarkan sebagai pelopor revolusioner, membentuk organisasi untuk mewujudkan masyarakat sosialis.
Prof. John P. Burns, guru besar University of Hong Kong, dalam bukunya “The Chinese Communist Party’s Nomenklatura System: A Documentary Study of Party Control of Leadership Selection, 1979-1984”, yang terbit 1989, mendefinisikan ‘kader’ dalam visi PKC sebagai “…manajer, administrator, dan profesional yang ditemukan di semua sektor ekonomi termasuk perusahaan, di badan administratif termasuk pemerintah, dan di unit layanan publik.” Definisi istilah tersebut telah meluas secara signifikan sejak dekade pertama Republik Rakyat Cina, mulai dari kepemimpinan tertinggi hingga posisi yang relatif rendah. Menurut Burns, sejak itu loyalitas kepada partai lebih diutamakan daripada latar belakang pendidikan untuk promosi kader ke posisi administrasi tingkat tinggi. “Pendidikan perguruan tinggi tidak diperlukan untuk mencapai posisi (tinggi) seperti itu sampai setelah kematian Mao,” kata Burns.
Dalam visi Mao sendiri, sebagaimana ditulisnya pada 1937 yang kemudian menjadi bagian dari “Little Red Book”, kader adalah personel berkualitas yang mampu menghubungkan PKC dengan massa di tempat mereka bekerja. “ Organisasi Partai kita harus diperluas ke seluruh negeri dan kita harus dengan sengaja melatih puluhan ribu kader dan ratusan pemimpin massa kelas satu…. “
“Mereka harus menjadi kader dan pemimpin yang paham Marxisme-Leninisme, berwawasan politik jauh ke depan, cakap dalam bekerja, penuh semangat rela berkorban, mampu mengatasi masalah sendiri, tabah di tengah kesulitan dan setia serta berbakti dalam melayani bangsa, golongan dan partai. Pada kader-kader dan pemimpin-pemimpin inilah Partai mengandalkan hubungan-hubungannya dengan anggota dan massa, dan dengan mengandalkan kepemimpinan massa yang teguh, Partai dapat berhasil mengalahkan musuh,“tulis Mao. Sebagaimana visi, personifikasi kader seperti itu memang sangat ideal. [ ]