Jernih.co

Joe Biden, Jokowi, Kuda dan Burung Gereja

Pemerintahan Joko Widodo tidak mengoreksi, melainkan justru melanjutkan secara lebih liberal kebijakan ekonomi pendahulunya. UU Ciptakerja (Omnibus Law), yang diluncurkan secara serampangan dan tidak demokratis, akan memicu ketimpangan yang lebih permanen.

Oleh    :  Farid Gaban

JERNIH– Jika kita memberi makan kuda cukup banyak, sebagian remah-remah makanan itu akan menghidupi pula burung-burung gereja. Dalam ilmu ekonomi, “teori kuda dan burung gereja” dikenal pula sebagai “teori menetes ke bawah” atau trickle-down economics.

Farid Gaban

Teori itu begitu populer dalam 40 tahun terakhir, baik di kalangan ekonom, presiden, maupun perdana menteri.  Dia hampir mendekati mantra ajaib. Resepnya seperti ini: permudah bisnis orang kaya lewat pengurangan pajak, subsidi dan deregulasi, maka ekonomi akan tumbuh, yang pada akhirnya akan meneteskan kemakmuran ke orang-orang miskin.

Teori ini juga nampak menonjol diterapkan dalam pembangunan infrastruktur dan tata ruang: bangun pusat-pusat pertumbuhan (kota baru, kawasan ekonomi khusus) maka kemakmuran akan meluber ke  pinggiran.

Popularitas teori itu tak terpisahkan dari kampanye “pasar bebas” Amerika Serikat dan disokong dua lembaga keuangan internasional: Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF).

Tapi, kini angin justru sedang berbalik di Amerika Serikat sendiri. Presiden Joe Biden secara terbuka kini mengatakan “Trickle down has never worked.” Teori “menetes ke bawah” cuma mitos. Biden membalik kebijakan: memajaki lebih banyak orang kaya; membantu serius warga termiskin. Dia menekankan pembangunan dari bawah (bottom-up), bukan top-down.

Trickle down ala Trump–ilustrasi karikatur

Bahwa “teori menetes ke bawah” cuma mitos bahkan ditunjukkan oleh studi lima ekonom IMF sendiri pada 2015. Mereka menerbitkan hasil studi berjudul “Causes and Consequences of Income Inequality: A Global Perspective”.

Menelisik data ekonomi lebih dari 150 negara untuk kurun 1980–2010, mereka berkesimpulan: “kekayaan tidak menetes”. Ketimpangan ekonomi dan pendapatan justru makin parah, baik antar-negara maupun dalam negara masing-masing.

Ketimpangan tidak hanya memperparah kemiskinan dan memicu keresahan sosial politik, tapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan upaya kemakmuran bersama.

Para peneliti menemukan, ketika pendapatan 20 persen penduduk terkaya naik, ekonomi justru melambat. Sebaliknya, ketika pendapatan 20 persen penduduk termiskin naik, ekonomi tumbuh membaik.

Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi membuat orang miskin harus berjuang keras untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan bermutu bagus. Akibatnya, produktivitas mereka menurun, menarik turun pula produktivitas nasional, serta melukai semua komponen masyarakat.

Studi mutakhir itu pada dasarnya juga menampar muka IMF dan Bank Dunia sendiri, yang berbagai resep ekonominya diilhami oleh fatamorgana “menetes ke bawah”. Mereka terobsesi pada pertumbuhan semata, privatisasi, pengurangan anggaran publik dan peran negara, serta deregulasi bisnis dan investasi.

Sejak 1980-an, resep beracun IMF dan Bank Dunia itu merasuk begitu luas ke seluruh dunia berkat kedigdayaan otot politik Amerika Serikat di bawah Ronald Reagan, dan Inggris di bawah Margaret Thatcher. “Reaganomics” dan “Thatcherism” menganjur-kan pengurangan pajak orang kaya, privatisasi, penyunatan anggaran publik, serta deregulasi. Inilah kebijakan yang oleh para pengecamnya disebut kebijakan “neoliberal”.

Ekonom klasik John Kenneth Galbraith mengingatkan bahwa “teori kuda dan burung gereja” yang diterapkan pada 1890-an terbukti gagal memenuhi janjinya di Amerika Serikat sendiri. Teori itu bahkan memicu depresi ekonomi besar. Tapi, Reagan tidak belajar.

Tiga puluh tahun kemudian Presiden Barack Obama menuai getahnya. “Melebarnya jurang pendapatan merupakan tantangan terbesar ekonomi masa kini,” kata Obama. Tak hanya di Amerika Serikat, ketimpangan memburuk secara global. Saat ini harta 85 orang terkaya dunia setara dengan harta 3,5 miliar penghuni bumi termiskin dikumpulkan menjadi satu.

Problem ketimpangan juga menjadi perbincangan makin hangat secara internasional setelah ekonom Prancis Thomas Piketty menerbitkan buku terkenal “Capital in the Twenty-First Century” pada 2013.

Studi mutakhir ekonom IMF dan buku Piketty itu relevan untuk Indonesia. Di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono negeri kita menyaksikan liberalisasi ekonomi masif. Hasilnya sudah dituai: memburuknya ketimpangan ekonomi dan pendapatan, yang terparah sepanjang sejarah republik ini.

Pemerintahan Joko Widodo tidak mengoreksi, melainkan justru melanjutkan secara lebih liberal kebijakan ekonomi pendahulunya. UU Ciptakerja (Omnibus Law), yang diluncurkan secara serampangan dan tidak demokratis, akan memicu ketimpangan yang lebih permanen. Dijamin akan lebih menguntungkan para kuda ketimbang burung-burung gereja. [ ]

CATATAN:

Tulisan di atas merupakan edisi update dari tulisan lama di Geotimes: “Kisah Kuda dan Burung Gereja” (2015).

Biden attempts to consign trickle-down economics to the dustbin of history

https://www.theguardian.com/business/2021/apr/29/biden-trickle-down-economics-us-president

Causes and Consequences of Income Inequality: A Global Perspective

https://www.imf.org/external/pubs/ft/sdn/2015/sdn1513.pdf
Exit mobile version