Ada fakta yang sengaja disembunyikan: di negara dengan tata kelola yang sehat, cost overrun diantisipasi sejak awal melalui mekanisme transparansi, risk management, dan rencana kontinjensi. Di Indonesia, mekanisme ini tidak hanya absen, tetapi justru dimatikan secara sadar demi ambisi politik jangka pendek. Tidak ada yang salah dengan visi besar. Tidak ada yang salah dengan membangun HSR (High Speed Rail). Yang salah adalah memanipulasi tata kelola demi ambisi politik, lalu membiarkan rakyat menanggung akibatnya.
Oleh : Radhar Tribaskoro
JERNIH– Ketika Direktur PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengatakan bahwa Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) mengalami kerugian besar, publik diarahkan untuk percaya bahwa ini adalah “hal yang normal terjadi di seluruh dunia.”
Pernyataan itu benar — tetapi hanya separuhnya. Separuh lain yang sengaja disembunyikan adalah fakta ini: di negara dengan tata kelola yang sehat, cost overrun diantisipasi sejak awal melalui mekanisme transparansi, risk management, dan rencana kontinjensi. Di Indonesia, mekanisme ini tidak hanya absen, tetapi justru dimatikan secara sadar demi ambisi politik jangka pendek.
Masalah utama KCJB bukan pada teknologinya, bukan pada geologi, bukan pada manajemen proyek di lapangan. Akar masalahnya ada pada desain skema yang sejak awal politis, anti-kritik, dan menyingkirkan prinsip dasar governance. Ledakan biaya adalah konsekuensi, bukan kejutan. Ia adalah logika yang lahir dari keputusan politik yang cacat — dan karena itulah publik berhak marah.
Warisan yang Mendesak, Rasionalitas yang Ditunda
Proyek KCJB lahir bukan dari kalkulasi matang, melainkan dari politik pencitraan dan logika legacy. Pemerintahan Jokowi ingin meninggalkan monumen pembangunan yang cepat terlihat. Waktu menjadi obsesi. Kecepatan dipaksa. Analisis risiko dipersempit. Dan ketika risiko diabaikan, cost overrun bukan lagi risiko — ia adalah keniscayaan.
Saat itu, pemerintah mengklaim proyek ini tanpa uang negara. Klaim itu kini runtuh oleh fakta. APBN masuk. Konsorsium BUMN dipaksa menanggung beban di luar kemampuan neracanya. Retorika “tanpa APBN” hanyalah tipuan kebijakan yang disusun agar proyek ini lolos penolakan publik. Governance runtuh tepat pada momen ketika kebenaran dikalahkan oleh narasi.
Kegagalan Governance #1: Studi Kelayakan yang Dipolitisasi
Pada proyek raksasa, studi kelayakan harus menjadi rem, bukan stempel. Tetapi pada KCJB, studi itu justru dipaksa menjadi penebal legitimasi. Angka penumpang dibuat optimistis. Risiko lahan diremehkan. Faktor geologi direduksi. Tidak ada transparansi penuh, tidak ada peer review independen, tidak ada ruang kritik. Keputusan politik sudah lebih dulu dibuat — studi hanya menyesuaikan.
Ini bukan kegagalan teknis. Ini kegagalan etika governance.
Kegagalan Governance #2: Skema Pembiayaan yang Menjebak Negara
Skema KCJB sejak awal menyembunyikan bom waktu. Pemerintah memilih formula yang membuat negara secara formal tidak terlihat menanggung risiko, tetapi secara substantif menjadi penanggung terakhir dari semua risiko.
BUMN dipakai sebagai perisai politik, bukan sebagai institusi ekonomi yang rasional. Mereka dipaksa masuk meskipun risk-reward tidak seimbang. Kita menyaksikan tragedi tata kelola klasik: keuntungan dimonopoli oleh sedikit aktor, sementara risikonya disosialisasikan ke publik.
Kegagalan Governance #3: Ketiadaan Kontinjensi, Karena Kebenaran tak Boleh Mengganggu Narasi
Dalam standar internasional, proyek dengan kompleksitas seperti KCJB harus memiliki:
– risk register,
– scenario planning,
– contingency cost yang jelas,
– audit risiko independen.
Tetapi apa yang terjadi? Tidak ada satu pun pilar itu berjalan secara memadai. Mengapa? Karena kontinjensi membuat biaya tampak lebih besar di awal — dan itu akan merusak narasi politik. Dengan kata lain, negara sengaja menolak realisme, demi memelihara ilusi.
Kegagalan Governance #4: Negara Jadi “Funder of Last Resort”
Ketika biaya jebol, investor mundur, skema terhenti, proyek terkunci (lock-in). Titik ini selalu terjadi dalam megaproject dunia. Bedanya, negara-negara dengan governance sehat sudah menyiapkan trigger rule dan mekanisme risk-sharing yang adil. Indonesia tidak. Akibatnya, negara akhirnya turun tangan membayar — persis kebalikan dari janji awal.
Di titik ini, governance mati total. Negara berubah menjadi mesin bailout untuk keputusan yang sejak awal prematur dan politis.
Pelajaran Pahit untuk Negara
KCJB menjadi studi kasus berbahaya tentang bagaimana kekuasaan yang terlalu besar, tanpa perimbangan, akan selalu menghasilkan kebijakan yang buruk. Tidak ada parlemen yang efektif sebagai penyeimbang. Tidak ada transparansi. Tidak ada mekanisme evaluasi independen. Dan kritik dianggap ancaman, bukan instrumen koreksi.
Pada akhirnya, proyek ini bukan hanya tentang kereta. Ia adalah potret bagaimana demokrasi yang pincang menghasilkan proyek yang cacat.
Jika Indonesia ingin membangun proyek besar lainnya — HSR Surabaya, Bandara baru, pelabuhan raksasa, apa pun — maka satu hal harus ditegakkan: “Kita tidak boleh lagi membiarkan governance tunduk pada obsesi politik.” Negara harus kembali kepada prinsip dasar: “rasionalitas teknokratik di atas ego kekuasaan.”
Tagihan Moral untuk Pemerintah
Tidak ada yang salah dengan visi besar. Tidak ada yang salah dengan membangun HSR (High Speed Rail). Yang salah adalah memanipulasi tata kelola demi ambisi politik, lalu membiarkan publik menanggung akibatnya.
Proyek KCJB harus menjadi batas terakhir. Jika pola seperti ini dibiarkan, kita akan membayar lebih mahal di masa depan — dengan uang yang lebih besar, dengan kepercayaan publik yang lebih hancur, dan dengan demokrasi yang makin lumpuh.
Ketika biaya meledak dan nalar padam, bangsa ini kehilangan sesuatu yang lebih berharga daripada triliunan rupiah: kemampuan untuk mengatakan kebenaran di hadapan kekuasaan. [ ]
