Jernih.co

Ketika Budi Pekerti Bangsa Dipertaruhkan Pada Selembar Ijazah

Kontroversi ijazah Presiden Joko Widodo adalah salah satu luka besar itu. Pada mulanya terlihat sebagai perkara administratif sederhana yang dapat dijelaskan dengan mudah. Namun, perjalanan kasusnya berubah menjadi drama politik berkepanjangan, memantik perdebatan ilmiah, perpecahan sosial, hingga kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang ingin menguji keasliannya secara metodologis. Keengganan menghadirkan ijazah asli di ruang public–sesuatu yang di banyak negara merupakan standar minimum transparansi pemimpin, kini telah menimbulkan kecurigaan yang makin menebal, seolah ada ruang gelap yang sengaja tidak ingin diterangi.

Oleh     :  Sri Radjasa*

JERNIH– Dalam kebudayaan Indonesia, budi pekerti bukan sekadar konsep moral, melainkan akar yang menopang keberadaan bangsa. Ia adalah simpul etika yang memadukan pikiran, akal sehat, rasa, dan tindakan. Dari sanalah tumbuh watak bangsa dengan kesantunan, kejujuran, tanggung jawab, empati, dan gotong royong, yang selama berabad-abad menjadi landasan kehidupan sosial Nusantara. Nilai-nilai itu tidak hanya membentuk manusia Indonesia, tetapi juga menopang bangunan republik. Maka, ketika nilai itu runtuh, kedalaman luka yang tercipta bukan sekadar politis, melainkan eksistensial.

Kontroversi ijazah Presiden Joko Widodo adalah salah satu luka besar itu. Pada mulanya terlihat sebagai perkara administratif sederhana yang dapat dijelaskan dengan mudah. Namun, perjalanan kasusnya berubah menjadi drama politik berkepanjangan, memantik perdebatan ilmiah, perpecahan sosial, hingga kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang ingin menguji keasliannya secara metodologis. Keengganan menghadirkan ijazah asli di ruang public–sesuatu yang di banyak negara merupakan standar minimum transparansi pemimpin, kini telah menimbulkan kecurigaan yang makin menebal, seolah ada ruang gelap yang sengaja tidak ingin diterangi.

Dalam negara demokratis, integritas pejabat publik selalu diuji oleh keterbukaan. Di Amerika Serikat, universitas atau arsip nasional dapat secara terbuka mempublikasikan dokumen pendidikan seorang presiden. Di Korea Selatan, rekam jejak akademik presiden pernah menjadi isu politik yang memicu penyelidikan parlemen. Indonesia, sayangnya, memilih jalan berliku. Alih-alih menjawab kegelisahan publik dengan sikap kesatria, negara justru merangkul pendekatan koersif. Instrumen hukum berpihak pada kekuasaan, bukan pada pencarian kebenaran.

Dalam sendirinya, itu sudah cukup menjadi alarm bahwa nilai budi pekerti yang diwariskan para leluhur sebagai nilai yang menuntun pemimpin untuk bersikap jujur, rendah hati, dan bertanggung jawab, kini sedang mengalami erosi.

Efek domino dari kasus ini sangat luas. Polarisasi sosial mengeras. Pemilu berubah menjadi medan permusuhan terbuka di mana perbedaan politik dianggap sebagai permintaan perang. Relawan politik tumbuh sebagai simbol kesetiaan yang membutakan, menawarkan kultus figur yang ironisnya justru menggeser identitas keindonesiaan yang seharusnya inklusif. Institusi hukum dan keamanan tidak lagi bergerak sebagai penjaga keadilan, tetapi sebagai arena benturan kepentingan. Dalam situasi seperti ini, kita seolah kembali pada peringatan para pendiri bangsa, bahwa ketika kekuasaan kehilangan etika, negara terancam kehilangan arah.

Warisan kepemimpinan selama satu dekade terakhir memperumit keadaan. Indonesia tidak hanya menghadapi persoalan administratif, tetapi persoalan moral yang jauh lebih mendalam berupa kerusakan yang menjalar dari struktur kekuasaan hingga budaya berpikir masyarakat. Di titik ini, harapan dialihkan kepada pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.

Namun publik melihat bahwa arah kebijakan masih dibangun di atas kompromi terhadap kerusakan masa lalu. Bahasa politik yang disampaikan dalam berbagai pidato belum disertai tindakan tegas untuk memutus mata rantai persoalan. Padahal, kepemimpinan moral tidak lahir dari retorika, tetapi dari keberanian menghadapi kenyataan, betapapun pahitnya.

Kompromi terhadap penyimpangan bukanlah strategi kenegaraan, melainkan bentuk pembiaran. Ketika kekuasaan memilih untuk mengabaikan pelanggaran yang berdampak pada integritas publik, maka pengkhianatan terjadi, bukan hanya terhadap konstitusi, tetapi terhadap harapan rakyat.

Indonesia tidak kekurangan pemimpin cerdas, tetapi selalu kekurangan pemimpin yang berani memikul risiko moral. Sejarah kemerdekaan kita pun berdiri di atas pengorbanan, bukan kenyamanan.

Namun bangsa ini tidak pernah kehilangan harapan. Dalam perjalanan sejarah global, banyak negara bangkit setelah mengalami keruntuhan moral dan politik. Kebangkitan itu selalu dimulai dari satu titik sederhana, yakni keberanian menghadapi kebenaran. Indonesia memiliki modal itu. Kita memiliki tradisi luhur, kekuatan spiritual, dan kecerdasan kolektif yang berakar dalam. Dalam tradisi Islam yang menjadi denyut nadi sebagian besar rakyat Indonesia, Tuhan berjanji bahwa “sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”. Bukan janji kosong, tetapi pesan bahwa bangsa tidak pernah dibiarkan tenggelam oleh krisis yang menimpanya.

Tantangan terbesar kita hari ini adalah memulihkan budi pekerti yang terkoyak. Mengembalikan integritas sebagai syarat minimum kepemimpinan. Menghidupkan kembali budaya malu ketika kebenaran diingkari. Memperkuat keberanian untuk mengatakan yang benar, sekalipun itu membuat gelisah mereka yang sedang memegang kekuasaan. Hanya dengan cara itu bangsa ini dapat berdiri kembali dengan martabat.

Akan tiba saatnya, ketika transparansi bukan dianggap ancaman, tetapi kewajiban moral. Ketika pemimpin tidak berlindung di balik kekuasaan, melainkan datang dengan kejujuran yang paling telanjang. Ketika selembar ijazah yang dinilai simbol kecil dari integritas pribadi, tidak lagi menimbulkan luka bangsa yang panjang.

Dan pada hari itu, Indonesia akan kembali menemukan dirinya sebagai negeri yang kuat bukan karena kekuasaan politiknya, melainkan karena keluhuran budi pekerti yang menjadi jiwa sejatinya. [ ]

*Pemerhati intelijen dan sosial-masyarakat

Exit mobile version