Vibrasi jiwa beresonansi menjadi vibrasi semesta. Kehidupan itu ibarat dawai yang bergetar, dimana setiap jiwa adalah partikel yang hanyut dalam gelombang nada. Dan setiap partikel jiwa yang bergetar bisa menggerakan jiwa lain dalam menciptakan harmoni simfoni bersama.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Krisis bukanlah rintangan, melainkan momen pembuktian. Di masa gelap, mata fisik memicing, mata batin melotot. Itulah masa terbaik mengenali kebenaran dan kesejatian, memperjuangkannya secara gigih, sebagai bintang penuntun menuju jalan cahaya.
Untuk menuju jalan cahaya diperlukan penyingkapan kabut penghalang. Kita tak bisa menerobos kabut dengan galib penglihatan berbekal mengunduh kebiasaan pengalaman. Kita memerlukan mata spiritualitas yang dapat menembus tabir gelap.
Inti daya spiritualitas adalah kemampuan mengenali diri dan menyatukan diri dgn semesta, yang membersitkan intensi pemenuhan panggilan hidup untuk mewujudkan moral purpose.
Untuk itu perlu penguatan kapasitas teknologi rohani, melalui olah rasa: mengenali rasa sendiri, rasa orang lain, rasa bersama, rasa semesta, yang memuncak pada tepa selira dan penyatuan diri dengan segala hayat dan gerak semesta. Di tilik dari sudut ini, para seniman sejati yang terbiasa dengan olah rasa bisa berperan sebagai mata spiritual.
Puisi adalah jiwa kata. Seni rupa adalah pancaran vibrasi jiwa. Senyawa puisi dan seni rupa memancarkan keindahan jiwa-raga.
Seperti kata Wassily Kandinsky, “Warna seketika mempengaruhi jiwa. Warna jadi keyboard, mata jadi hentakan, jiwa jadi piano dgn banyak string. Seniman adalah tangan yang bermain, menyentuh satu kunci atau yang lain secara sengaja, untuk menyebabkan vibrasi dalam jiwa.”
Vibrasi jiwa beresonansi menjadi vibrasi semesta. Kehidupan itu ibarat dawai yang bergetar, dimana setiap jiwa adalah partikel yang hanyut dalam gelombang nada. Dan setiap partikel jiwa yang bergetar bisa menggerakan jiwa lain dalam menciptakan harmoni simfoni bersama.
Kemarin, saya diberi kehormatan membuka pameran “Rupa Kata”. Perpaduan antara karya puisi Acep Iwan Saidi yang kemudian dituangkan ke dalam karya rupa (poster) oleh para perupa/desainer dari 18 negara.
Sungguh bahagia, di sana saya bisa berjumpa dengan sahabat seniman-budayawan seperti Tisna Sanjaya, Yasraf Amir Piliang, Martha Topeng, dan tentu saja Acep Iwan Saidi sendiri. [ ]