Keyakinan (faith) dan agama harus dijadikan jalan bagi memperkuat kembali kekeluargaan universal itu. Agama datang untuk mengingatkan kita tentang “commonalitas” yang universal. Satu Tuhan, satu ayah/ibu, dan satu asal penciptaan (tanah liat).
Oleh : Imam Shamsi Ali*
JERNIH–Melanjutkan oleh-oleh dari konferensi antarkomunitas agama di Florida Minggu lalu. Surah Al-Hujurat ayat ketiga belas ternyata tidak saja menyampaikan esensi kemanusiaan (humanity, fitrah, spiritualitas), tapi sekaligus mengafirmasi kekeluargaan manusia secara universal.
Bahwa manusia itu sejatinya tanpa kecuali semua ada dalam satu keluarga kemanusiaan yang universal. Sehingga wajar saja jika ayat-ayat Al-Quran berkali-kali menekankan tentang asal usul penciptaan manusia itu.
Manusia misalnya dalam beberapa kali disebutkan sebagai ciptaan dari tanah (turab, thiin, hama’ masnuun). Atau beberapa kali juga disebutkan penciptaannya dari air yang hina atau air mani (maa mahiin).
Di awal Surah An-Nisa Allah menegaskan penciptaan manusia dari jiwa yang satu (Adam). Sebagian ulama menafsirkan kata “nafs wahidah” sebagai sumber penciptaan yang sama. Artinya baik lelaki maupun wanita diciptakan dari “sumber” yang satu (sama).
Pada ayat ketiga belas Surah Al-Hujurat ini Allah seolah menekankan sekaligus merincikan asal usul manusia. Bahwa orang tua manusia itu, siapapun dan apapun rupanya saat ini, sama. Semua manusia diciptakan dari satu pria (dzakar: Adam) dan satu wanita (untsa: Hawa).
Penekanan ini sesungguhnya menyampaikan beberapa pesan penting. Satu di antaranya adalah pentingnya membangun rasa kedekatan (kekeluargaan) di antara sesama manusia. Sadar akan orang tua (ayah dan ibu) yang sama seharusnya membangun rasa kedekatan yang intim di antara manusia itu.
Kesadaran akan persaudaraan universal ini dengan sendirinya akan mengurangi kecenderungan friksi (perpecahan) manusia karena alasan-alasan partikularnya, termasuk karena ras, etnis, warna kulit, budaya bahkan agama. Manusia akan mampu melampaui perbedaan-perbedaan itu untuk merangkul koneksi universalnya dalam rasa kekeluargaan kemanusiaan itu.
Perpecahan manusia karena ras (racial divisions) bahkan keangkuhan ras oleh sabagian (rasisme) salah satunya disebabkan oleh kegagalan memahami konsep kekeluargaan universal ini. Adanya perasaan lebih karena ras atau warna kulit merupakan bentuk “stupidity” (kebodohan) yang buruk pada sebagian manusia.
Bahkan dalam hal beragama sejatinya tidak dipahami sebagai pintu perpecahan dari kekeluargaan universal itu. Keyakinan (faith) dan agama harus dijadikan jalan bagi memperkuat kembali kekeluargaan universal itu. Agama datang untuk mengingatkan kita tentang “commonalitas” yang universal. Satu Tuhan, satu ayah/ibu, dan satu asal penciptaan (tanah liat).
Dan karenanya agama selalu menjadi lentera bagi manusia untuk mewujudkan moral strength (kekuatan moral) dalam merajut kebersaman demi membangun dunia yang lebih baik. Bukan sabaliknya justeru agama dijadikan dasar bagi perpecahan, permusuhan, bahkan peperangan.
“Agama menyatukan. Egoisme memisahkan”. Salah satu poin yang saya sampaikan pada ceramah kunci di pertemuan itu. Semoga manfaat! [ ]
* Presiden Nusantara Foundation