Sayang apa yang kita saksikan justru sekali lagi seolah menjadi justifikasi bahwa ada sebagian dari bangsa ini yang perlu lebih dewasa. Dewasa dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada. Sehingga perbedaan tidak dijadikan jembatan perpecahan. Justru dibalik menjadi jembatan “keberkahan” untuk kebaikan bersama seluruh anak-anak bangsa.
Oleh : Shamsi Ali*
JERNIH– Dalam sebuah postingan saya di media sosial, dan sempat viral, bahkan dikutip oleh sebagian media mainstream, saya menyampaikan kekecewaan atas “treatment” (perlakuan) yang berbeda dari pihak-pihak berwewenang terhadap dua perhelatan akbar negeri. Terhadap MotoGP Mandalika di NTB dan Formula E di DKI.
Pernyataan saya tidak sama sekali ada relasi dengan teman, Anies Baswedan. Karena Gubernur NTB juga saya anggap teman dekat. Bukan juga karena urusan politik dan dukung mendukung. Karena sejujurnya “I am not interested” dan “least interests” dalam dukung mendukung ini. Saya di Amerika, dan cukup kenyang dengan tantangan tugas pada bidang saya saat ini.
Hanya saja walau saya sudah hampir seperempat abad hidup di negeri Paman Sam, bahkan telah meninggalkan Indonesia sejak tamat pesantren (SMU) hingga detik ini masih punya ghirah dan cinta negeri Indonesia. Karenanya selalu ingin melihat yang terbaik untuk Indonesia dan ingin melihat Indonesia menjadi maju, sejajar dengan negara-negara besar lainnya.
Itulah sebabnya segala hal yang menurut saya menjadi jalan kebangkitan dan kemajuan negeri saya berikan dukungan. Tentu dengan cara dan kapasitas yang ada pada saya. Sebaliknya segala hal yang menurut saya dapat mengecilkan wajah negeri tercinta, termasuk menghambat pintu-pintu kebesarannya, saya suarakan resistensi itu.
Kali ini saya bersuara tentang perlakuan yang berbeda oleh pihak-pihak yang seharusnya “berbuat” bagi kesuksesannya. Saya melihat ada perbedaan treatment kepada perhelatan MotoGP Mandalika dan Formula E di DKI.
Kegiatan MotoGP Mandalika bahkan jauh sebelum diadakan semua potensi diarahkan untuk men-support. Hampir semua kementerian, tidak saja menyatakan mendukung. Tapi berkali-kali menterinya ikut turun ke lapangan memastikan semua baik/siap untuk acara besar itu.
Saya tentunya ikut gembira dan mendukung. Karena pada akhirnya yang tersuarakan adalah kebesaran Merah Putih. Suksesnya perhelatan itu membawa nama bangsa ini menjadi besar dan harum. Bukan hanya NTB. Tapi semua di negeri ini ikut menjadi harum. Saya mengistilahkan “mendukung sepenuh hati”.
Tapi ketika sampai kepada Formula E ternyata dukungan itu ditiadakan. Kalaupun ada saya mengistilahkannya “mendukung setengah hati”. Tidak all out seperti ketika semua memberikan dukungan kepada MotoGP.
Satu di antara beberapa hal yang saya perhatikan adalah konten-konten media sosial mereka yang getol “ngonten” akhir-akhir ini. Termasuk ngonten dengan “WC umum”. Saya mencoba mencari promosi Formula E ini tapi semuanya hampir nihil.
Padahal sejujurnya momen seperti ini sangat penting bagi negeri dan bangsa Indonesia untuk banyak hal. Beberapa manfaat penting dari dukungan semua pihak terhadap perhelatan Formula E ini, antara lain sebagai berikut:
Satu, menjadi ajang mengenalkan Indonesia di dunia internasional. Bahwa Indonesia memang sebagaj negara besar mampu melakukan hal besar, salah satunya event bergengsi seperti Formula E (dan MotoGP Mandalika) ini.
Dua, Formula E sekaligus menjadi peristiwa untuk menyatakan kepada dunia bahwa Indonesia telah mampu melewati krisis Pandemi COVID-19 yang melumpuhkan banyak sendi-sendi kehidupan. Dan karenanya Indonesia siap menyambut era baru dan dunia internasional.
Tiga, sebagaimana MotoGP Mandalika, Formula E akan menguatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional. Minimal akan jadi pendorong semangat bagi pelaku usaha untuk bangkit dari keterpurukan akibat Pandemi COVID-19.
Empat, kesempatan yang baik untuk mengenalkan potensi lokal, termasuk kuliner Nusantara, yang relatif kurang dikenal di luar negeri (termasuk Amerika). Demikian pula berbagai lokasi turisme yang kaya di luar Pulau Dewata. Sayang kecantikan negeri seringkali hanya identik dengan Bali.
Lima, ajang Formula E ini menjadi momen untuk mengenalkan kapasitas anak-anak bangsa yang “yes we can” (kita mampu). Dengan perhelatan besar ini kita mampu tunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia bukan hanya mampu menjadi penonton. Tapi justeru mampu menjadi pelaku sebuah perhelatan besar. Tidak kalah dari mereka yang terlanjur bernama besar.
Enam, sesungguhnya poin ini menjadi kontra dengan apa yang terjadi ketika perhelatan ini tidak mendapatkan dukungan maksimal. Kebersamaan dalam dukungan menjadi momen yang akan membuka mata anak-anak bangsa bahwa di negeri ini setajam apapun perbedaan, termasuk perbedaan politik, ketika telah sampai kepada kepentingan Merah Putih, semua mampu bergandengan tangan dan bersatu.
Sayang apa yang kita saksikan justru sekali lagi seolah menjadi justifikasi bahwa ada sebagian dari bangsa ini yang perlu lebih dewasa. Dewasa dalam menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada. Sehingga perbedaan tidak dijadikan jembatan perpecahan. Justru dibalik menjadi jembatan “keberkahan” untuk kebaikan bersama seluruh anak-anak bangsa.
Saya akhiri dengan menekankan sekali lagi bahwa bagi saya bukan karena ada kepentingan politik. Saya cukup kenyang makan burger halal di Amerika. Bukan juga karena kedekatan sebagai teman dengan Gubernur DKI (Anies Baswedan). Kenyataannya saya juga sangat dekat dengan banyak orang lain.
Semua ini tidak lain untuk tujuan yang satu; Indonesia Raya. Karena percayalah, ketika Anda membelah dada ini, niscaya Anda akan temukan Merah Putih berkibar. He..he! [ ]
* Diaspora Indonesia di Amerika Serikat