Dalam momen yang menguji daya sintas bangsa, para pemimpin politik dihadapkan pada pertanyaan gugatan Mencius. “Adakah perbedaan antara membunuh manusia dengan belati dan membunuhnya dengan salah urus?” “Tidak,” jawab sang raja. Jika demikian, ujar Mencius, pastikan rumah tangga kerajaan tidak menggelar pesta-seremonial dan mengoleksi kuda gemuk-gemuk, sementara rakyat sekarat kelaparan.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH–“Harapan itu sesuatu bersayap yang hinggap di jiwa, menyanyikan nada tanpa kata, dan tak pernah henti sama sekali,” tulis Emily Dickinson.
Harapan itu melantunkan nyanyian kehidupan dalam dua jenis nada. Nada mayor membangkitkan “harapan positif”, yang merangsang gairah orang untuk berbuat kebajikan. Nada minor membangkitkan “harapan negatif”, yang menyentuh lara keinsyafan orang agar terhindar dari keburukan.
Harapan positif itu bergema dari jiwa-jiwa altruis, seperti “semut-semut” komunitas yang bergotong-royong meringankan derita sesama dalam alunan nada mayor yang sepi ing pamrih, rame ing gawe.
Meski nada mayor masih terdengar di tengah masyarakat, arus deras pengharapan bangsa masih menggemakan tembang bernada minor. “Harapan negatif” menjadi koor sehari-sehari, mengharapkan penyelenggara negara tak salah urus dan salah tingkah, dengan tendensi cuma ramai dalam klaim-pamrih (rame ing pamrih), tetapi sepi dalam kerja-kinerja (sepi ing gawe).
Dalam momen yang menguji daya sintas bangsa, para pemimpin politik dihadapkan pada pertanyaan gugatan Mencius. “Adakah perbedaan antara membunuh manusia dengan belati dan membunuhnya dengan salah urus?” “Tidak,” jawab sang raja. Jika demikian, ujar Mencius, pastikan rumah tangga kerajaan tidak menggelar pesta-seremonial dan mengoleksi kuda gemuk-gemuk, sementara rakyat sekarat kelaparan.
Manakala pemimpin negara lebih memperhatikan rakyatnya ketimbang diri mereka sendiri, rakyat akan mengetahuinya dan membuat mereka setia pada pemimpinnya yang menjadikan negara kuat.
Dengan meluasnya tendensi “timokrasi” (kekuasaan gila popularitas), tata kelola negara, bahkan di tengah ancaman wabah, cenderung mengedepankan proyek mercusuar dan kehebatan permukaan ketimbang meringankan derita rakyat karena aneka impitan; mulai dari kelangkaan minyak goreng, kedelai mahal, BPJS jadi beban berbagai urusan, hingga JHT yang direkayasa jadi 56 tahun baru bisa cair.
Akhirnya, harus dikatakan bahwa tindakan politik memang dibentuk oleh berbagai aktor dan kepentingan. Namun, tetap saja memerlukan kapasitas pemimpin untuk memilih jalan yang tepat. Luruskan niat, berharap Tuhan menunjuki jalan lurus. [ ]