Tokoh-tokoh politik yang dulu melawan fasisme, kini lunglai di zaman demokrasi politik pilihan langsung. Mereka seperti zombie di lumbung demokrasi, yang dulu diperjuangkan eksistensinya. Setelah indonesia menjadi negara demokrasi, mereka justru surut perannya. Mereka tidak lagi menjadi pemain politik sentral, mereka justru menempati posisi periferal. Di pinggiran sejarah mereka diletakkan oleh sistem demokrasi yang telah dibajak oleh uang.
Oleh : Bambang Isti Nugroho*
JERNIH– Tertunduk sedih sembari memegangi foto-foto kawannya yang hilang, Dinsamsu meneteskan air mata tanda tiadanya harapan. Sudah berganti beberapa kali kepemimpinan, semuanya tidak ada yang memenuhi janjinya alias bohong. Kawan-kawan yang bekerja di istana, yang sedang berkuasa tak mampu menjawab pertanyaan.
Kapan kasus orang hilang ini dituntaskan penanganannya.
Mereka menghibur hati Dinsamsu, untuk sabar bahwa kasusnya sedang dalam proses penanganan, tapi Din malah tambah sedih.
Din yang ikut mendukung kepemimpinan Jokowi untuk periode kedua jabatannya sebagai presiden, kecewa berat karena janji Jokowi untuk menuntaskan pelanggaran HAM berlalu bagai angin. Kurang dekat apa Din dengan orang-orang istana, tapi pertanyaannya membentur tembok bisu.
Kesabarannya habis, jiwanya sudah putus asa. Tidak akan percaya lagi, Din dengan janji politik pemerintah. Semua omong kosong. Bahkan Prabowo, Wiranto dan pelaku kejahatan HAM masa lalu dirangkul oleh Jokowi, seolah mereka tidak ada masalah di masa lalu.
Yang lebih menyedihkan lagi, kawan seiringnya yang satu sel dengannya, bangga memasang foto dirinya dengan mereka yang dulu dia kecam sebagai aparat dengan tangan berlumuran darah. Kekuasaan yang sejimpit itu membutakan mata hatinya. Peringainya berubah, karakternya sebagai aktivis jalanan hilang tanpa bekas.
Din sudah menyerah, dia memutus hubungan dengan realitas politik. Mimpinya gugur. Dulu perjuangannya sebagai aktivis melawan fasisme orde baru, dicanangkan. Kalau rezim Suharto tumbang, karakter kepemimpinan nasional dan sistem politik orde baru Suharto tumbang, masalah akan beres semua. Indonesia akan menjadi negara yang adil paramarto. Tidak ada masalah yang tidak bisa dikomunikasikan.
Teringat dia dengan nama-nama besar, seperti Soe Hok Gie dan kakaknya Arif Budiman yang sudah almarhum. Hariman Siregar, Sri Bintang Pamungkas dan para aktivis politik lainnya yang dulu berjuang melawan fasisme Suharto. Mereka tidak kedengaran lagi kiprahnya.
Tokoh-tokoh politik yang dulu melawan fasisme, kini lunglai di zaman demokrasi politik pilihan langsung. Mereka seperti zombie di lumbung demokrasi, yang dulu diperjuangkan eksistensinya. Setelah indonesia menjadi negara demokrasi, mereka justru surut perannya. Mereka tidak lagi menjadi pemain politik sentral, mereka justru menempati posisi periferal. Di pinggiran sejarah mereka diletakkan oleh sistem demokrasi yang telah dibajak oleh uang.
Demokrasi yang substasial yang diimpikan mampu menghilangkan penyakit demokrasi prosedural ternyata justru tertekan oleh keberadaan uang. Mereka bukan tokoh berduit. Mereka bukan elit fungsional dan bukan bagian Oligarki. Makanya mereka tidak punya posisi penting dalam masyarakat. Yang berpartai, yang mempunyai blokking politik yang jelas yang bisa berada di tengah gelanggang. Mereka tidak diburu wartawan lagi. Sudah tidak menjadi media darling.
Revolusi memang sebuah keniscayaan sejarah. Tetapi untuk kasus Indonesia meru-pakan mimpi di siang bolong. Pasalnya tidak ada organisasi rakyat yang kuat dan partai politik yang berideologi. Adanya cuma loket-loket untuk mengantre mereka yang mau ikut kuasa. Partai politik bukan tempat rakyat dididik dan digembleng mental politiknya memihak rakyat, tapi partai politik hanya segerombolan orang untuk merebut kekuasaan.
Mimpi politik demokrasi rakyat, tinggal kentut. Tidak ada kepahlawanan, tidak ada heroisme. Bangsa ini sepertinya merelakan generasi penerusnya menjadi jongos dinegaranya sendiri. Seperti kata Leo Kristi, “Semua bukan kami punya”. Kita punya sedikit, untuk bekal hidup menjadi sekrup. [ ]
*Pernah menjalani delapan tahun tahanan politik Orde Baru