Pekerja politik dan penyelenggara negara perlu memahami hakikat politik sebagai seni mengelola kebaikan dan kemaslahatan hidup bersama lewat jalan deliberatif (permusyawaratan) yang damai; bukan seni memperjuangkan kepentingan pribadi lewat jalan kekerasan dan manipulasi.
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, dalam menjalankan kehidupan politik dan kenegaraan berbasis etika demi kebahagiaan hidup bersama, para pemimpin politik dan penyelenggara negara perlu memahami dan menghayati beberapa kaidah penuntun.
Pertama, pekerja politik dan penyelenggara negara perlu memahami hakikat politik sebagai seni mengelola kebaikan dan kemaslahatan hidup bersama lewat jalan deliberatif (permusyawaratan) yang damai; bukan seni memperjuangkan kepentingan pribadi lewat jalan kekerasan dan manipulasi.
Kedua, pekerja politik dan penyelenggara negara harus memiliki “Moral Capital”. Moral di sini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kapital di sini bukan hanya potensi kebajikan seseorang, melainkan potensi yang secara aktual menggerakkan roda politik.
Alhasil, bukan sekadar kualitas moral individual, tapi juga kemampuan politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ke dalam mekanisme politik dan kelembagaan yang bisa memengaruhi perilaku masyarakat (Kane, 2001).
Ada empat sumber utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi ”moral capital” secara politik.
Basis moralitas: nilai, tujuan serta orientasi politik yang menjadi komitmen dan dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya.
Tindakan politik: kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai moralitasnya ke dalam ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan politiknya.
Keteladanan: contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang menularkan kesan otentik dan kepercayaan kepada komunitas politik.
Komunikasi politik: kemampuan pemimpin untuk mengomunikasikan gagasan serta nilai moralitas dalam bentuk bahasa politik efektif, yang mampu memperkuat solidaritas dan moralitas masyarakat.
Ketiga, pekerja politik dan penyelenggara negara harus memiliki komitmen pelayanan, meliputi empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan, keadilan-perdamaian, seperti terkandung pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.
Keempat, pembuatan kebijakan publik harus memenuhi prinsip rasionalitas, efisiensi, partisipasi, keadilan, dan kebebasan. Itulah pokok-pokok landasan etis politik kebahagiaan. [ ]