Bagi saya, pantun Zulhas yang ditafsirkan hampir semua orang di media massa seolah sebagai “penetapan Capres-Cawapres PAN”–—saya belum menjumpai tafsir lian selain itu—tak lebih dari gimmick yang dibuat PAN, dengan Zulhas sebagai pembawa pesannya. Dan sebagaimana gimik (bahasa Inggris: gimmick) lazimnya, bisa jadi hal itu sekadar kemasan, tampilan, alat tiruan, atau serangkaian adegan untuk mengelabui, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain.
JERNIH–Gampang diduga, reaksi atas pernyataan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan, dalam pembukaan Rakornas Pemenangan Pemilu PAN di Semarang, Ahad (27/2) lalu, umumnya adalah sikap negasi. Dua hal yang paling mengemuka sebagai respons atas pernyataan Zulhas itu, pertama adalah pandangan yang mencemooh sikap Zulhas sebagai laku oportunis. Lainnya adalah tudingan bahwa Zulhas atau PAN tidak etis alias kurang ber-fatsoen. Yang terakhir itu datang dari elit Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai politik yang menaungi namun bersikap setengah hati terhadap Ganjar Pranowo, kadernya sendiri.
Saya sendiri melihat kedua tudingan itu sangat mungkin datang dari alur pikiran yang sama: kaku, rigid, terlalu serius di tengah ‘kocaknya’ perpolitikan nasional, serta reaktif. Dalam terma anak muda generasi Z, keduanya hanya mungkin datang dari benak yang lelah, kurang healing, dan tidak woles karena kurang piknik.
Marilah kita mencoba masuk ke dalam cara berpikir Zulhas, paling tidak untuk bisa lebih mengerti dan mendudukkan urusan ini lebih adil dan proporsional.
Bagi saya, pantun Zulhas yang ditafsirkan hampir semua orang di media massa seolah sebagai “penetapan Capres-Cawapres PAN”–—saya belum menjumpai tafsir lian selain itu—tak lebih dari gimmick yang dibuat PAN, dengan Zulhas sebagai pembawa pesannya. Dan sebagaimana gimik (bahasa Inggris: gimmick) lazimnya, bisa jadi hal itu sekadar kemasan, tampilan, alat tiruan, atau serangkaian adegan untuk mengelabui, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain.
Sangat boleh jadi, keterlaluan kita untuk memandang politik nasional ini sebagai serius—sementara buktinya lebih sering hanya permainan penuh tipu daya yang kadang terkesan keji—yang membuat cara kita meng-eksegesis alias menafsirkannya pun menjadi selalu serius. Padahal, bukankah kita lihat betapa Pemilu 2014 yang memecah belah bangsa pun, di tingkat elit hanya urusan biasa saja? Bahkan di negara mana kontestan Pilpres bisa bergabung dan menjadi anggota kabinet pemenang, selain di sini? Tapi barangkali, memang harus begitu. Bayangkan kalau bangsa ini terus terpecah ke dalam kubu-kubu yang berseberangan diametral tanpa mengenal batas waktu.
Coba kita perhatikan lebih seksama pantun Zulhas yang ia sampaikan pada momen tersebut.
“Jalan-jalan ke Simpang Lima. Jangan lupa beli lumpia. Kalau Pak Ganjar dan Pak Erick sudah bersama. Insya Allah Indonesia tambah jaya.” Okelah, meski secara kaidah baris pertama bagian “isi” menyalahi aturan (lebih dari lima kata), puisi itu bisalah kita sebut pantun karena berima A-B-A-B.
Namun, adakah itu “penetapan sikap PAN untuk mencalonkan keduanya sebagai pasangan Capres-Cawapres” pada Pilpes 2024 mendatang? Jujurlah akui, tidak. Apakah pantun itu memberikan dukungan bagi keduanya untuk maju pada Pilpres nanti? Sangat boleh jadi!
Saya percaya bahwa pantun itu tak lebih dari gimmick dari beberapa alasan di bawah ini.
Pertama, PAN menyampaikan pantun tersebut pada momen Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas), bukan Rapat Kerja Nasional (Rakernas). Seorang elit PAN yang meminta anonimitas mengatakan, biasanya di partainya, hal-hal penting dan krusial diambil pada momen Rakernas. Alhasil, berdasarkan penjelasan singkat tersebut saya mengambil kesimpulan, dengan masih panjangnya waktu menuju Pileg-Pilpres, Februari 2024, peluang PAN untuk bermanuver masih banyak.
Toh, seperti secara eksplisit diungkap dalam pantun pun, tak ada kalimat yang secara tersurat dan tegas mencalonkan Ganjar dan Erick Thohir sebagai pasangan Capres-Cawapres. Artinya, tidak harus ada tuduhan bahwa PAN tidak komit manakala pada saat adanya perubahan kondisi lingkungan, PAN pun berubah pilihan.
Perhatikan pernyataan Wakil Sekretaris Jenderal PAN, Fikri Yasin, Selasa (28/2) lalu. Fikri mengatakan, PAN hanya mendorong Ganjar, memberikan dukungan, bukan untuk ‘merebut’ Ganjar dari PDI-Perjuangan. “Kita baru tahap potensi untuk mendorong sebagai capres, kalau untuk menarik (Ganjar ke PAN), belumlah,” kata dia.
Apalagi pada momen Rakornas itu pun Zulhas sendiri secara implisit menyatakan bahwa ‘dukungan’ tersebut belum final. “Sepertinya kita akan memutuskan melalui Mukernas yang menurut jadwal digelar sekitar Maret atau April. Tentu sambil menunggu aspirasi atau usulan dari wilayah,”kata dia, saat itu.
Kedua, tentu saja pantun itu dilakukan Zulhas untuk menyenangkan Jokowi, selain kedua nama yang secara langsung disebut: Ganjar dan Erick. Bagaimanapun, kedatangan Presiden ‘hanya’ untuk menghadiri Rakornas sebuah partai adalah hal besar dan satu kehormatan buat partai tersebut. Sudah sepatutnya partai yang diapresiasi Presiden itu mengapresiasi balik.
Tampaknya Zulhas melihat, cara itulah yang paling bisa menyenangkan Jokowi sebagai apresiasi balik atas kehadirannya. Apakah itu sebuah sikap Asal Babe Senang (ABS)? Menurut saya, tidak. Sikap PAN dan Zulhas itu tentu tidak asal-asalan, meskipun hasilnya membuat ‘’babe’’ jadi senang. Lihat saja pengamatan pemerhati politik Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, yang mengatakan Jokowi saat itu terlihat begitu gembira. “Menurut saya, PAN pandai dalam membaca suasana hati Jokowi. Presiden Jokowi terlihat begitu happy. Jika PAN mengusung figur di luar inner circle Presiden Jokowi, tentu Presiden tidak akan sesemringah itu,” kata Adi.
Ketiga, karena Rakornas itu diselenggarakan di Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah yang saat ini Ganjarlah gubernurnya. Benar kata Jokowi dalam kelakarnya bahwa Rakornas PAN Semarang itu tak lain dari strategi PAN untuk lebih mendekati Ganjar.
“Tadi malam saya bertanya-tanya, ini kenapa ya, Rakornas pemenangan PAN kok di Jawa Tengah? Jawabannya saya sudah punya sekarang: ini strategi untuk mendekati Pak Ganjar,”ujar Jokowi pada pidato di acara tersebut.
Mengapa perlu mendekati dan mungkin saja meminta bantuan Ganjar? Itu yang menjadi alasan keempat; perlunya bantuan Ganjar (dan Jokowi?) untuk menguatkan posisi PAN di Jawa Tengah. Saat ini tak ada seorang pun kader PAN, wakil dari daerah pemilihan Jawa Tengah, menjadi anggota DPR RI. Dari 77 anggota DPRI RI di 10 Dapil provinsi itu, seorang pun tak ada yang merupakan kader PAN. Artinya, benar yang secara tersirat diungkapkan peneliti Indikator Politik Indonesia, Bawono Kumoro, bahwa mungkin saja persoalan ini lebih pada kepentingan politik elektoral jangka pendek.
Mendekatnya PAN ke Ganjar tidak hanya untuk mengambil simpati Sang Gubernur, tetapi juga untuk meraih atensi dari massa pendukung Ganjar di sana. Tujuannya jelas, agar pada Pemilu 2024 tidak mengulangi sikap mereka yang ‘kejam’ terhadap PAN. Bayangkan, tak seorang pun kader PAN Dapil Jawa Tengah melenggang ke Senayan.
Barangkali, buruknya perolehan suara itu pun tak bisa dipisahkan dari pernyataan Pak Amien Rais—yang citranya lekat dengan PAN–pada Pemilu 2019 lalu, seputar Partai Allah dan Partai Setan. Warga Jawa Tengah—basis pemilih PDIP—mungkin saja merasa tersindir dengan dikotomi tersebut.
“Langkah PAN ‘mengumumkan’ Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang akan diusung di pemilihan presiden tahun 2024 tidak lebih dari sekadar untuk mencuri perhatian dari para simpatisan gubernur Jawa Tengah itu,” kata Bawono. Lewat upaya itu, kata dia, PAN berharap menjadi bagian dari perbincangan di ruang publik secara terus menerus selama beberapa bulan ke depan, sehingga partai tersebut berpeluang mendapat limpahan elektoral.
Oh ya, mungkin ada saja yang bertanya, bukankah pada Rakernas Agustus 2022 PAN secara resmi mengajukan sembilan nama untuk capres mereka? Di antaranya ada nama-nama Zulhas, Ganjar Pranowo, Erick Thohir, Anies Baswedan, Khofifah Parawansa, Airlangga, dan lainnya. Mengapa nama-nama itu tidak dibuatkan pantun juga?
Jawabannya sederhana. Bayangkan bila nama ke-9 orang itu dipantunkan. Mungkin perlu sekian banyak pantun, yang boleh jadi tak bisa dihafalkan Zulhas. Atau kalau pun tak harus diucapkan di luar kepala, membuat serenceng panjang pantun tentulah pekerjaan ribet tersendiri untuk seorang ketua umum parpol.
Saya sendiri melihat, dalam politik Indonesia yang partai-partai politiknya relatif berdasarkan pada asas yang sama, baik pilihan politik rakyat maupun ruang gerak partai untuk bermanuver, begitu terbatas. Dalam sistem politik yang asasnya relative sama, Pancasila, pilihan publik maupun penggerak partai sudah bukan lagi ideologis, melainkan hanya sekadar urusan pragmatis.
Karena itu, dalam sistem yang berjalan saat ini, ‘pragmatisme’ PAN dan Zulhas tidak saja wajar. Barangkali, bahkan sebuah keniscayaan. Apa sih yang membuat orang memberikan preferensi kepada, misalnya, Partai Demokrat, atau PAN, NasDem, dan parpol-parpol lainnya, sementara asas partai-partai tersebut sama-sama Pancasila? Tentu saja hal-hal selain itu. Bukti kerja nyata dan komitmen mereka kepada pemilih, umpamanya.
Dan menyangkut urusan kerja nyata, partai pun tahu bahwa semua itu akan lebih terlihat jelas dan real, dan bahkan pada hal-hal tertentu baru bisa dilakukan, bila mereka berada dalam pemerintahan yang berkuasa sebagai bagian dari eksekutif. Dari sudut pandang ini, kita akan menemukan rasionalisasi ‘politik rasional’ yang tengah berjalan di PAN, pada era Zulhas ini. [dsy—INILAH.COM]