Site icon Jernih.co

Pendidikan yang Berkebudayaan

Kreativitas, imaginasi, intuisi, emosi, etika menjadi fokus perhatian. Mesin memang bagus dalam simulasi, namun tidak dalam proses “menjadi”. Teknologi merepresentasikan “bagaimana” berubah, tapi tidak soal “mengapa”.

Oleh  : Yudi Latif

JERNIH– Buku “Pendidikan yang Berkebudayaan” menyiapkan visi pembangunan kualitas hidup manusia Indonesia yang dapat berkembang kreatif-inovatif ke masa depan, seraya berakar kuat pada nilai budi kemanusiaan.

Ibarat budi daya tanaman. Pohon ideal itu berakar dalam, berbatang tinggi, bercabang rapi, berdaun rindang, berbuah lebat. Akarnya akhlak-karakter mulia, batangnya wawasan ketinggian pengetahuan, cabang-rantingnya kecakapan tata kelola, daunnya kerukunan-kolaboratif, buahnya kreativitas inovasi.

Yudi Latif

Konsepsi pendidikan yang berkebudayaan jadi kunci memasuki masa depan. Seperti diingatkan Gerd Leonhard dalam film “Change”. Pada masa ketika disrupsi jadi normalitas, segala sesuatu yang tak bisa didigitalisasi jadi sangat penting.

Dengan artificial intelligence, big data dan connectivity, hal yang bersifat teknis-taktikal bisa dikerjakan mesin. Pendidikan lebih memberikan perhatian pada sesuatu di luar jangkauan mesin.

Kreativitas, imaginasi, intuisi, emosi, etika menjadi fokus perhatian. Mesin memang bagus dalam simulasi, namun tidak dalam proses “menjadi”. Teknologi merepresentasikan “bagaimana” berubah, tapi tidak soal “mengapa”.

Pendidikan harus memberikan kapabilitas agar manusia dapat melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan. Peserta didik harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan untuk mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin.

Praktik terbaik visi pendidikan yang berkebudayaan tercermin pada Repelita pemerintahan Cina, seperti diulas Richard Black, perwakilan Schiller Institute di PBB.

Program Repelita Cina mencanangkan pemberantasan kemiskinan, melalui model pembangunan khas Cina, yang lebih menekankan kualitas ketimbang kuantitas seperti GDP. Caranya dengan memadukan kreativitas-inovasi dengan penguatan nilai budaya. Sekitar 10 persen dari GDP-nya dialokasikan untuk inovasi berbasis budaya, melalui penguatan sarana-prasarana dan pendidikan seni-budaya. [ ]

Exit mobile version