Bila pemerintah seliberal AS saja mengucurkan dana hibah buat perusahaan-perusahaan pers di negara itu, mengapa pemerintah Indonesia, di mana pers yang tumbuh di dalamnya adalah pers Pancasila, tidak tergerak untuk menolong perusahaan pers nasional dari tubir kematian?
Oleh : Atal S Depari*
JERNIH– Jika dunia pers diibaratkan sebuah kapal, ia adalah kapal yang mau tenggelam. Air sudah masuk setengah lambung. Pompa mengurasnya tak berfungsi. Karam dan teronggok di dasar laut tinggal waktu.
Gelombang kematian memang tak hanya terjadi di sini. Antara 2004 dan 2018, secara statistik, hampir satu dari lima surat kabar Amerika pun ditutup. Selama itu newsroom cetak juga memangkas hampir setengah karyawannya. Media digital asli (digital-native publishers) mengurangi jumlah karyawannya.
Di Indonesia, kondisinya kurang lebih sama. Sebenarnya sejak lima tahun lalu, setiap bulan kita mendengar kabar kematian media, terutama cetak. Kabar terakhir, koran TEMPO beralih ke online pas di hari pertama tahun ini. Demikian pula Indo Pos. Sementara Suara Pembaruan menyusul 1 Februari 2021.
Beralih ke digital, masalah tidak berarti selesai. Pendapatan iklan dari situs berita dan Google adsense relatif kecil. Sedangkan dari pembaca berbayar juga relatif nol. Akibatnya, bukan hanya media cetak yang berguguran, melainkan media daring (online).
Idealnya masyarakat membayar apa yang mereka baca di situs internet. Tapi masalah ini bukan hanya dihadapi perusahaan pers Indonesia. Secara alamiah, publik AS pun demikian.
Laporan yang dirilis Reuters Institute for the Study of Journalism pada 2019 memetakan kesenjangan di antara pembaca berita. Proporsi orang di AS yang mau membayar untuk berita begitu kecil, hanya 16 persen. Namun di AS terjadi semacam ‘anomali’.
Bisnis langganan berita dan periklanan digital The New York Times Company, menghasilkan 450 juta dolar AS (Rp6,7 triliun) untuk tiga kuartal pertama tahun ini. Angka itu melampaui pendapatan dari edisi cetak untuk pertama kalinya dalam sejarah perusahaan tersebut.
Semua itu terjadi karena keberanian New York Times (NYT) mulai merintis paywall meteran pada 28 Maret 2011. Orang bisa membaca hingga 20 artikel sebulan secara gratis. Lebih dari itu mereka harus membeli paket berlangganan.
NYT sekarang memiliki lima juta lebih pelanggan, dan newsroom-nya beranggotakan di atas 700 jurnalis—terbesar yang pernah ada. Dan, itu hanya NYT satu-satunya.
Kondisi pers di Indonesia diperburuk Pandemi Covid-19. Karyawan di-PHK tanpa pesangon memadai, perusahaan tutup, dan gaji dipotong kian biasa terdengar. Kondisi ini merata, tak hanya melanda perusahaan pers kecil.
Pihak pers merasa bahwa platform media sosial—misalnya Facebook dan Google, bisa dengan seenaknya mencomot berita-berita di media massa untuk ditautkan ke dalam platform mereka. Tanpa sedikit pun memberikan apresiasi berupa pembayaran.
Perkembangan di Prancis, Inggris, dan Jerman, Google dan Facebook mengatakan bersedia membayar penerbit untuk konten berita dalam kesepakatan hak cipta digital utama.
Yang mengagetkan, dalam kasus pembicaraan Google di Australia, alih-alih mau membayar royalty kepada para penerbit yang beritanya mereka pakai, Google justru mengancam untuk menutup layanan pencarian mereka di Australia. Paling tidak, hingga pertengahan Januari lalu.
Padahal, kata kolumnis media, komunikasi dan teknologi, Alex Webb, dalam tulisannya di Bloomberg belum lama ini, inovasi yang mengubah Google dan Facebook menjadi raksasa penghasil uang bukanlah penelusuran atau jejaring sosial.
“Yang mereka lakukan itu menjual ruang iklan bersama konten yang mereka dapatkan secara gratis.” Dari mana konten tersebut? Dari mana lagi kalau bukan dari perusahaan pers.
Di masa pandemik yang telah berlangsung setahun ini, dengan mata telanjang kita bisa melihat betapa banyak pers telah berperan meringankan beban pemerintah dan masyarakat.
Pers membantu warga mendapat informasi; juga berfungsi sebagai benteng melawan rumor, berita setengah kebenaran, dan propaganda yang marak di platform digital.
“Tanpa sistem media berita yang layak, demokrasi direduksi menjadi cita-cita yang tidak mungkin tercapai,” tulis Pickard dalam “Democracy Without Journalism?”.
Picard mengemukakan alasan untuk sistem media publik yang lebih kuat— versi BBC-nya Amerika — yang dapat “memberikan garis dasar untuk informasi yang dapat diandalkan dan bertindak sebagai jaring pengaman ketika pasar gagal mendukung tingkat produksi berita yang memadai.”
Selama ini memang pemerintah AS memiliki anggaran hibah untuk dunia pers Amerika. Menurut Pickard, untuk itu dunia pers AS membutuhkan komitmen keuangan yang cukup besar dari pemerintah federal — Pickard mengusulkan 30 miliar dolar AS.
Pengeluaran yang “mungkin tampak besar, tetapi relatif terhadap skala dan jenis masalah. Bila dihubungkan dengan pentingnya dana kesehatan masyarakat, dana militer, dan lain-lain, menurut Pickard dana buat proposalnya itu tergolong sederhana.
Bila pemerintah seliberal AS saja mengucurkan dana hibah buat perusahaan-perusahaan pers di negara itu, mengapa pemerintah Indonesia, di mana pers yang tumbuh di dalamnya adalah pers Pancasila, tidak tergerak untuk menolong perusahaan pers nasional dari tubir kematian?
Kita menyadari kesulitan keuangan yang tengah dihadapi pemerintah saat ini. Tetapi bila kita sadar betapa pentingnya membangun dunia pers yang sehat seiring kita membangun bangsa ini, maka tak ada alasan sedikit pun bagi pemerintah—juga warga masyarakat—untuk tidak mengulurkan tangan dan membantu. Mungkin saja, bila masyarakatnya memang benar-benar peduli akan berita yang kredibel dan berkualitas, resep The New York Times pun bisa saja kita terapkan di sini.
Senyampang itu, negosiasi perusahaan pers—yang diwakili pemerintah sebagaimana di negara lain—dengan Google, Facebook dan para aggregator lain harus terus berlanjut hingga mencapai kesepakatan. Kalau melihat tergantungnya aggregator kepada konten dari media massa, seharusnya ancaman yang mereka lakukan di Australia tak lebih dari gertak sambal.
Mungkin dengan dua upaya itu, pemerintah mensubsidi pers dan aggregator mau membayar, kapal besar pers yang hendak tenggelam di Indonesia itu bisa kembali mengapung, untuk berlayar menuju tujuan bangsanya. [ ]
*Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat