Jernih.co

Politik Kebahagiaan

Orang paling bahagia dari kalangan berada umumnya yang tak terlalu terbuai kesuksesan finansial. Ia merasa makmur karena bisa mencurahkan segala potensinya dengan kerja keras tanpa mengorbankan keluarga dan persahabatan. Selain itu, berbagai riset menyimpulkan, mereka yang memberi pada yang lain cenderung merasa lebih bermakna dan bahagia daripada yang mengeluarkan uang bagi dirinya sendiri saja.

Oleh     :  Yudi Latif*

JERNIH–Cuaca kebatinan bangsa Indonesia dalam menakar kebahagiaan hidupnya masih berkabut. Berdasarkan penilaian World Happiness Report (WHR) 2024, Indonesia menempati peringkat  ke-80 dari 143 negara untuk seluruh kelompok umur dalam peringkat kebahagiaan dunia.

Bahkan, di Asia Tenggara, Indonesia di urutan keenam, di bawah Singapura, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Malaysia.

Pemeringkatan ini didasarkan pada parameter kebahagiaan subyektif (subjective wellbeing) lewat evaluasi sendiri atas tiga indikator kebahagiaan: evaluasi hidup (PDB per kapita, harapan  hidup sehat, dukungan sosial, kebebasan, kemurahan hati, dan persepsi korupsi), emosi positif, serta emosi negatif.

Ukuran kebahagiaan WHR memang telah lama dikritik karena penekanannya pada indikator kesejahteraan ekonomi (economic well-being), dengan mengasumsikan bahwa makin banyak uang makin meningkatkan kebahagiaan. Dengan kriteria seperti itu, negara seperti Buthan, kendati di berbagai indikator lain tergolong negara bahagia, posisinya terbenam dalam laporan ini karena PDB per kapitanya rendah.

Yudi Latif

Sesuai perkiraan, juaranya diraih oleh negara-negara Skandinavia (Nordik). Finlandia di urutan pertama, disusul Denmark dan Islandia. Salah seorang editor laporan itu, Profesor Jan-Emmanuel De Neve, menyimpulkan, PDB per kapita memang memainkan peran penting dalam mengungkit kebahagiaan suatu negara, tetapi tak cukup dengan itu. Kekayaan benar-benar penting, tetapi yang tak kalah penting adalah bagaimana kekayaan itu didistribusikan. (Tentu saja pada titik ini Indonesia laiknya seorang tuna daksa, bukan hanya pincang tapi kaki terpotong sebelah—redaksi Jernih.co).

Dalam kaitan itu, politik memainkan peran penting dalam memfasilitasi kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan kebahagiaan. Kisah Buthan bisa memberikan inspirasi.

Hingga 1960-an, Bhutan termasuk negara dengan kemiskinan, buta huruf, dan kematian bayi  terburuk di dunia. Itu berubah sejak 1972, ketika raja baru, Jigme Singye Wangchuk, menjadikan popularitasnya sebagai sumber berkah dan kebahagiaan bagi rakyatnya.

Ia tinggalkan indikator kuantitatif seperti PDB sebagai ukuran sukses pembangunan. Ia gantikan dengan indikator baru, Gross National Happiness. Untuk itu, ia canangkan ”Empat Pilar” pembangunan sebagai penopang kebahagiaan: demokratisasi dan pemerintahan baik, pembangunan sosial-ekonomi yang stabil dan berkeadilan, perlindungan lingkungan, serta pelestarian budaya.

Hasilnya, sungguh fantastis. Kemajuan di berbagai bidang telah terjadi meski masih banyak hal yang harus ditingkatkan. Secara umum, warga Buthan merasa lebih bahagia dengan hidupnya.

Orientasi kebahagiaan

Kebijakan berorientasi kebahagiaan pun kembali mewarnai pembangunan global. Lewat studi komparatif lintas negara, Derek Bok dalam “The Politics of Happiness” (2010) menengarai ada enam sumber yang lebih permanen yang memengaruhi sebagian besar variasi dalam kebahagiaan (di luar temperamen bawaan): agama, pernikahan, relasi sosial, persepsi kesehatan, pekerjaan dan kesejahteraan, serta kualitas pemerintahan.

Kalau kita perhatikan secara saksama, keenam faktor ini merupakan aspek-aspek kehidupan yang menjadi kepedulian implementasi nilai-nilai Pancasila.

Agama menjadi sumber kebahagiaan dengan memberikan kerangka pandangan dunia dan etos yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kebahagiaan. Dengan pan-dangan dunia yang menekankan keseimbangan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani (duniawi dan ukhrawi) serta pengendalian diri dari perbudakan nafsu (kemelekatan pada keinginan duniawi) agama memberi prakondisi mental untuk tak meletakkan sumber kebahagiaan pada kekayaan material semata.

Agama juga mendorong etos kehanifan (yang menggandrungi kebenaran-kebaikan), keihsanan (yang menguatkan integritas dan keadilan), kesalehan (yang menumbuh-kan produktivitas dan pencapaian terbaik), serta kerahmatan (yang menumbuhkan kasih sayang pada segalamakhluk) menjadikan manusia sebagai makhluk pencari makna yang menemukan kebahagiaannya dalam kemampuan melakukan aktualisasi diri.

Agama pun menumbuhkan perasaan bahwa pekerjaan dan kehidupan seseorang memiliki arti dan tujuan yang membuat hidup tak mudah terjerumus pada perasaan kehampaan dan kesia-siaan.

Selain itu, keyakinan dapat menciptakan hukum daya tarik tersendiri yang berpotensi menciptakan self-fulfilling prophecy. Keyakinan positif bisa mengge-rakkan energi (emosi) positif dan menjadi kenyataan positif (efek plasebo). Keyakinan negatif bisa menggerakkan energi negatif dan menjadi kenyataan negatif (efek nosebo).

Berbagai penelitian menemukan bahwa orang yang memiliki keyakinan keagamaan kuat dan positif cenderung lebih sehat, lebih panjang umur, kurang kemungkinan melakukan tindak kriminal atau bunuh diri, memiliki komitmen lebih kuat pada keluarga dan tanggung jawab sosial, cenderung lebih bahagia.

Keimanan positif dapat menyediakan panduan untuk menemukan apa yang disebut Aristoteles ”kehidupan baik” yang dapat diaktualisasikan dalam relasi sosial, mulai dari relasi keluarga, relasi komunitas, kebangsaan, hingga kemanusiaan-kealaman universal.

Berbagai survei menemukan, pasangan yang menikah secara positif cenderung lebih puas, lebih panjang umur, dan kurang depresif dengan hidupnya daripada individu yang melajang, cerai, pisah ranjang, dan kohabitasi tanpa menikah. Namun, konflik, kegagalan perkawinan, dan kematian pasangan juga bisa mengarah ke penu-runan tajam kebahagiaan.

Berbagai bentuk relasi sosial lain di luar pernikahan berdampak besar dalam melambungkan kebahagiaan. Baik orang ekstrover maupun introver cenderung me-rasa lebih bahagia saat bersama orang lain ketimbang saat sendirian. Bahkan, riset menyimpulkan hubungan manusia dan segala bentuk koneksi sosial lainnya berkontribusi lebih pada kebahagiaan daripada sumber kebahagiaan lain.

Sebab akibatnya bersifat timbal balik: keterhubungan sosial meningkatkan kebahagiaan; sebaliknya, orang yang lebih bahagia cenderung lebih terlibat dalam relasi sosial. Meminjam logika Robert Putnam, modal sosial dan kebajikan politik bisa memperkuat kebahagiaan warga, sebaliknya kebahagiaan bisa memperkuat modal sosial dan kabajikan politik.

Sumber kebahagiaan lain tumbuh dari perasaan seseorang tentang kondisi kesehatannya.

Setiap penurunan 20 persen dalam evaluasi kesehatan berasosiasi dengan penurunan secara substansial dalam kebahagiaan dengan rataan enam poin dari skala 100. Kondisi kesehatan yang dilaporkan sendiri memiliki efek lebih besar terhadap kebahagiaan ketimbang hasil asesmen dokter atau saran hasil tes medis karena itu berkaitan dengan kondisi lain, seperti stres, isolasi sosial, atau depresi yang tak menunjukkan simtom fisik nyata.

Tak kalah penting, faktor pekerjaan. Orang yang punya pekerjaan cenderung lebih bahagia ketimbang pengangguran. Orang yang kehilangan pekerjaan cenderung mengalami stres panjang. Bukan semata karena hilangnya sumber pendapatan, tapi juga hilangnya harga diri dan respek dari orang lain. Itu sebabnya tunjangan pengangguran memiliki efek terbatas untuk kurangi kepedihan.

Paradoks kebahagiaan

Efek pendapatan terhadap kebahagiaan sangat rumit. Dengan sedikit perkecualian, negara-negara yang lebih makmur cenderung punya penduduk yang lebih bahagia ketimbang bangsa miskin. Orang yang lebih kaya juga cenderung lebih bahagia ketimbang orang miskin. Di sisi lain, seperti disinyalir Ross Abbinnett dalam “Politics of Happiness” (2013), tingkat kebahagiaan di sejumlah negara Barat tak bertambah signifikan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan berkesi-nambungan sejak 1990-an hingga resesi global 2007.

Penjelasan Derek Bok atas paradoks ini adalah pertama, naiknya pendapatan memang membawa kenaikan tingkat kebahagiaan, tetapi efeknya boleh jadi dimen-tahkan oleh kecenderungan sosial lain, seperti kenaikan tingkat perceraian, krimi-nalitas, penggunaan narkoba, pengangguran, kecemasan, depresi, keter-asingan, obsesif belanja, dan sejenisnya.

Bisa juga karena kepuasan seseorang akan kondisi finansialnya bergantung pada perbandingan pendapatannya dengan orang lain. Di lingkungan masyarakat dengan tingkat kesenjangan lebar, peningkatan pendapatan tak begitu kuat pengaruhnya pada kebahagiaan mengingat pendapatan orang lain jauh lebih tinggi.

Sebaliknya, di lingkungan masyarakat dengan pendapatan relatif merata, kenaikan pendapatan yang tak begitu tinggi sudah bisa menambah kebahagiaan.

Penjelasan lain diberikan Amartya Sen. Golongan masyarakat yang terbiasa hidup dengan segala keterbatasan lebih memiliki ketabahan dalam menghadapi tekanan dan krisis ekonomi ketimbang mereka yang terbiasa hidup dalam kemewahan. Ini membuat golongan miskin bisa lebih merasa bahagia dengan segala keterbatasan.

Alasan lain bisa juga bersumber dari pandangan hidup. Suatu bangsa atau golongan masyarakat dengan pandangan dunia agamanya boleh jadi tak mengajarkan cara meraih kebahagiaan dengan memenuhi segala keinginan, tapi sebaliknya dengan mengendalikan keinginan.

Ketiga alasan itu bisa memberikan alasan mengapa ada golongan masyarakat di Maluku Utara dan Maluku atau bangsa Buthan (dengan mayoritas penganut agama Buddha) meski pendapatan per kapitanya relatif rendah, memiliki tingkat kebaha-giaan yang tinggi.

Kebalikannya, meningkatnya aspirasi dan adaptasi terhadap standar hidup yang tinggi bisa jadi penyebab rendahnya kenaikan tingkat kebahagiaan di sejumlah negara Barat. Setiap kenaikan pendapatan selalu dibarengi aspirasi untuk memperoleh pendapatan lebih tinggi sehingga selalu merasa kurang puas.

Menarik mencermati temuan Richard Wilkinson dan Kate Pickett dalam “The Spirit Level: Why Greater Equality Makes Societies Stronger” (2009). Lewat studi lintas negara disimpulkan, signifikansi materi bagi kebahagiaan itu ibarat pentingnya makanan bagi orang lapar. Pada mulanya sangat didambakan. Namun, begitu sudah kenyang, berapa banyak dan enak pun makanan tersaji, orang kenyang tak terpe-ngaruh lagi.

Bagi masyarakat negara miskin pada umumnya, pertumbuhan ekonomi dipandang sangat penting bagi kebahagiaan. Seiring memasuki negara berpenghasilan mene-ngah, signifikansinya mulai berkurang. Hingga titik tertentu, pertumbuhan eko-nomi nyaris tak berpengaruh lagi bagi kebahagiaan, yakni tatkala suatu negara sudah mencapai pendapatan per kapita 25.000 dollar AS.

Setelah mencapai batas itu, kebahagiaan lebih bergantung pada kesejahteraan sosial-emosional. Hal ini bisa datang dari peningkatan status, harga diri, kepuasan batin, dan aktualisasi diri.

Orang paling bahagia dari kalangan berada umumnya yang tak terlalu terbuai kesuksesan finansial. Ia merasa makmur karena bisa mencurahkan segala potensinya dengan kerja keras tanpa mengorbankan keluarga dan persahabatan. Selain itu, berbagai riset menyimpulkan, mereka yang memberi pada yang lain cenderung merasa lebih bermakna dan bahagia daripada yang mengeluarkan uang bagi dirinya sendiri saja.

Kebahagiaan dan demokrasi sehat

Akhirnya, semua sumber kebahagiaan itu memerlukan situasi dan prasyarat kondusif yang dimungkinkan oleh demokrasi yang sehat serta pemerintahan yang baik. Banyak bukti bahwa kualitas pemerintahan sangat berkaitan erat dengan kebahagiaan. Hidup dalam negara demokratis yang dapat menjamin kebebasan, kesetaraan, dan semangat persaudaraan kewargaan yang inklusif besar artinya sebagai sumber kebahagiaan.

Dalam kaitan itu, kebebasan ekonomi dianggap sangat penting di negara-negara yang kurang makmur, sedangkan kebebasan personal dianggap penting di negara-negara makmur.

Faktor lain yang terkait dengan pemerintahan adalah ketaatan terhadap rule of law, birokrasi pemerintahan yang efisien, rendahnya tingkat korupsi dan kekeras-an, kepercayaan yang tinggi terhadap pejabat publik (terutama kepolisian), dan sikap responsif yang ditunjukkan kantor pemerintah dan pejabat publik.

Selain itu, menurut studi World Values, toleransi terhadap kelompok minoritas juga memberikan kebahagiaan signifikan, tak hanya untuk kelompok minoritas yang terkena dampak langsung, tetapi juga seluruh penduduk.

Para pendiri bangsa secara visioner telah menetapkan haluan politik kebahagiaan itu saat mempersiapkan kemerdekaan RI. Bung Hatta dengan lantang mengung-kapkan mimpinya, ”Aku ingin membangun suatu dunia di masa semua orang merasa bahagia di dalamnya.”

Dalam stanza kedua lagu “Indonesia Raya” juga dinyatakan, doa kita bersama adalah “Indonesia bahagia”. Di Pembukaan UUD 1945 pun dinyatakan visi dan misi negara bahagia seperti tercantum di alinea kedua dan keempat.

Pada akhirnya, realisasi mimpi indah kebahagiaan bersama itu tergantung sema-ngat moral serta ketertiban penyelenggara negara dan warganya. Clinton Rossiter dalam pengantar buku “Federalist Papers” mengingatkan urutan prasyarat bagi perwujudan politik kebahagiaan itu. “Tak ada kebahagiaan tanpa kebebasan, tak ada kebebasan tanpa pemerintahan sendiri, tak ada pemerintahan sendiri tanpa konstitusionalisme, tak ada konstitusionalisme tanpa moral, dan tak satu pun dari segala kebajikan luhur ini tanpa stabilitas dan ketertiban.” [ ]

* Anggota Dewan Pembina Dompet Dhuafa.

Dimuat di harian Kompas, 3 April 2024. Ikut memuat atas seizin penulis.

Exit mobile version