Jernih.co

Politik yang Terasing

Ilustrasi

Wacana tentang “presiden pembohong”, misalnya, muncul bukan sekadar sebagai ujaran kebencian, tetapi sebagai refleksi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap inkonsistensi pernyataan dan kebijakan. Perlu dicatat, ada puluhan kasus kebohongan Jokowi dilansir oleh publik di berbagai media. Jika pemerintah ingin membangun kepercayaan, seharusnya ia merespons tuduhan dengan transparansi, bukan dengan pengabaian atau bahkan represi. Demikian juga kasus ijasah palsu yang telah muncul sejak Jokowi menjadi capres 2014. Begitu panjang kasus itu tidak menggerakkan sejengkal jari penguasa untuk memberi penjelasan yang masuk akal. Tidak ada inisiatif walau seupil dari Kepolisian RI untuk melakukan penyelidikan dan memberi masyarakat kejelasan.

Oleh : Radhar Tribaskoro*

JERNIH– Dalam masyarakat demokratis, politik semestinya menjadi ruang dialog, bukan sekadar arena bagi penguasa untuk mengatur dan membantah. Politik yang sehat tumbuh dari interaksi antara pemerintah dan masyarakat, di mana wacana-wacana yang berkembang mendapatkan ruang untuk dibahas, diuji, dan diperbaiki.

Namun, yang terjadi di Indonesia belakangan ini adalah praktik politik yang semakin terasing dari aspirasi masyarakat. Wacana-wacana penting seperti dugaan penggunaan ijazah palsu, intervensi politik seorang presiden dalam Pemilu (cawe-cawe), serta pernyataan-pernyataan kontroversial tentang kebohongan di lingkaran kekuasaan lebih sering direspons dengan penyangkalan atau pengabaian, ketimbang pembahasan yang substantif.

Radhar Tribaskoro

Fenomena ini kembali mencuat dalam momen terbaru ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyinggung perihal “cawe-cawe” politik dalam Pemilu 2024. SBY, yang pernah memimpin Indonesia selama dua periode, mengkritik keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam dinamika politik Pemilu, yang dinilai menguntungkan salah satu pasangan calon. Namun, Presiden terpilih Prabowo Subianto segera membantah pernyataan itu dengan tegas: “Tidak ada cawe-cawe itu.” Pernyataan ini tidak disertai dengan pembahasan yang lebih dalam atau argumen yang meyakinkan. Dengan demikian bantahan itu justru mencerminkan bagaimana politik itu menjadi terasing, lebih memilih menyangkal daripada mengelaborasi.

Strategi Politik yang Berbahaya

Ketika wacana-wacana yang berkembang di Masyarakat hanya dijawab dengan penolakan, kita menghadapi kondisi politik yang tertutup. Di dalam sistem demokrasi yang sehat, tuduhan atau perdebatan bukan sekadar dilawan dengan penyangkalan, tetapi dengan argumentasi yang berbasis fakta. Wacana tentang “cawe-cawe presiden”, misalnya, tidak diantarkan oleh warga biasa melainkan oleh para guru besar dan akademisi terkemuka. Wacana itu mestinya bisa diurai dengan transparansi: sejauh mana Presiden Jokowi benar-benar terlibat dalam menentukan arah pemilu? Apakah ada bukti intervensi? Bagaimana mekanisme pemilu dapat diaudit untuk memastikan netralitas?

Alih-alih membahas pertanyaan- pertanyaan ini secara terbuka, kekuasaan cenderung mengambil jalan pintas: membantah, mendiamkan, atau bahkan mendiskreditkan para pengkritik. Noam Chomsky dalam “Manufacturing Consent” (1988) pernah menguraikan bagaimana kekuasaan menggunakan kontrol atas media untuk membentuk opini publik. Salah satu cara yang sering dilakukan adalah dengan mengabaikan atau mendiskreditkan informasi yang bertentangan dengan kepentingan penguasa. “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion,” tulis Chomsky. Dengan kata lain, membatasi spektrum opini yang boleh dibahas adalah cara efektif untuk memastikan bahwa kritik tidak berkembang menjadi diskusi publik yang lebih luas.

Tindakan menolak wacana tanpa pembahasan juga menciptakan efek delegitimasi politik. Wacana tentang “presiden pembohong”, misalnya, muncul bukan sekadar sebagai ujaran kebencian, tetapi sebagai refleksi dari ketidakpuasan masyarakat terhadap inkonsistensi pernyataan dan kebijakan. Perlu dicatat, ada puluhan kasus kebohongan Jokowi dilansir oleh publik di berbagai media. Jika pemerintah ingin membangun kepercayaan, seharusnya ia merespons tuduhan dengan transparansi, bukan dengan pengabaian atau bahkan represi. Demikian juga kasus ijasah palsu yang telah muncul sejak Jokowi menjadi capres 2014. Begitu panjang kasus itu tidak menggerakkan sejengkal jari penguasa untuk memberi penjelasan yang masuk akal. Tidak ada inisiatif walau seupil dari Kepolisian RI untuk melakukan penyelidikan dan memberi masyarakat kejelasan.

Mengapa Politik Harus Berdialog?

Politik yang terasing dari wacana masyarakat berisiko kehilangan legitimasi.* Demokrasi tidak hanya tentang pemilu atau prosedur formal, tetapi juga tentang sejauh mana pemerintah mendengarkan suara publik dan menjadikannya bagian dari pengambilan keputusan. Teori deliberasi politik yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas dalam “The Structural Transformation of the Public Sphere” (1962) menekankan pentingnya diskursus dalam demokrasi. Habermas berpendapat bahwa kebijakan yang baik harus lahir dari proses deliberasi publik yang terbuka, bukan dari keputusan sepihak penguasa.

Di Indonesia, kurangnya ruang deliberatif ini nyata terlihat dalam berbagai kebijakan strategis, mulai dari revisi UU KPK, Omnibus Law, hingga pemindahan ibu kota negara. Kritik-kritik dari masyarakat sipil dan akademisi sering kali hanya dianggap sebagai suara minoritas yang bisa diabaikan. Padahal, dalam sistem demokrasi yang sehat, kritik bukanlah ancaman, melainkan alat koreksi untuk memastikan kebijakan berjalan di jalur yang benar.

Salah satu contoh baik dari praktik politik yang tidak terasing adalah bagaimana di beberapa negara, pejabat tinggi bersedia berpartisipasi dalam debat publik untuk menjelaskan kebijakan mereka. Di Inggris, misalnya, Perdana Menteri secara rutin menghadiri Prime Minister’s Questions di parlemen, di mana ia harus menjawab pertanyaan dari oposisi dan publik secara langsung. Tradisi ini mencerminkan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas.

Menemukan Kembali Politik yang Mendengar

Untuk mengatasi keterasingan politik dari wacana masyarakat, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Pertama, kita perlu membangun transparansi dan akuntabilitas. Dalam hal ini pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan dan keputusan politik dapat dipertanggungjawabkan dengan data dan fakta. Jika ada tuduhan seperti “cawe-cawe politik”, maka harus ada mekanisme yang transparan untuk membuktikan atau membantahnya, bukan sekadar pernyataan satu kalimat tanpa bukti.

Kedua, kita perlu membuka ruang diskusi yang lebih luas. Pemerintah dan elite politik perlu lebih banyak terlibat dalam dialog terbuka dengan masyarakat, bukan hanya melalui media arus utama tetapi juga melalui media sosial dan forum-forum publik. Ini bisa dilakukan dengan memperbanyak debat kebijakan dan diskusi langsung dengan akademisi dan masyarakat sipil.

Ketiga, kita harus memastikan bahwa Media Independen Bisa Berfungsi dengan Baik. Media yang bebas dan independen adalah elemen kunci dalam demokrasi deliberatif. Jika media dikontrol atau ditekan, maka ruang publik untuk membahas isu-isu politik juga akan menyempit.

Terakhir, kita perlu mendorong partisipasi publik yang Lebih aktif. Masyarakat juga memiliki tanggung jawab untuk terus mendorong transparansi dan menolak politik yang membungkam. Ini bisa dilakukan dengan memperkuat organisasi masyarakat sipil dan menggunakan media sosial untuk menyuarakan kritik berbasis data.

Kesimpulan

Politik yang terasing dari wacana masyarakat akan melahirkan pemerintahan yang tidak demokratis. Ketika wacana-wacana penting hanya dijawab dengan bantahan tanpa argumentasi yang jelas, kepercayaan publik terhadap sistem politik akan terus melemah. Demokrasi tidak hanya ditentukan oleh prosedur elektoral, tetapi juga oleh sejauh mana pemerintah dan masyarakat dapat berdialog dalam suasana yang terbuka.

Sebagaimana dikatakan oleh John Dewey, “Democracy begins in conversation.” Jika percakapan antara pemerintah dan rakyat semakin tertutup, maka yang tersisa hanyalah ilusi demokrasi—bukan demokrasi yang sesungguhnya. []
Cimahi, 1 Maret 2025

Exit mobile version