Dalam novel Golding, anak-anak sekolah yang berubah liar karena kondisi pulau terpencil itu, membawa-bawa tongkat yang diasah di kedua ujungnya. Di Michigan, mereka membawa-bawa poster-poster gubernur mereka—yang mencoba menolong mereka dengan melakukan PSBB, dengan kumis Hitler di wajahnya.
Oleh : Jennifer Finney Boylan*
“Tidak ada siapa pun yang bisa membantu Anda,” kata si babi yang selalu dihantui. “Hanya saya. Dan aku adalah monster.”
Simon, si anak sekolah bermuka pucat, menatapnya dengan ngeri. “Kamu tahu, bukan? Aku bagian darimu?” kepala itu terus berbicara lebih lanjut. “Akulah alasan mengapa semua itu tidak berjalan?”
Adegan di atas, tentu saja, berasal dari “Lord of the Flies” karya pemenang Nobel Susastra, William Golding, yang terbit pada 1954. Saya telah memikirkan kisah itu, dan kisah-kisah kepengecutan lainnya, untuk saat-saat ini. Sejak sebelum virus corona menyebar, sebenarnya.
Pernahkah ada metafora yang lebih baik untuk Amerika di bawah Donald Trump daripada bangkai kapal, atau sepupunya yang modern, dan jatuhnya pesawat di sebuah pulau terpencil?
Di sana kita, berlayar menyusur perairan yang belum terpetakan pada awal abad ke-21, ketika tiba-tiba, perahu kita hancur menumbuk karang. Di pagi setelah Pemilihan Umum 2016 saya merasa seolah-olah telah dicuci setengah telanjang, di atas untaian yang kejam dan penuh permusuhan, di sebuah negara ganjil tempat orang-orang cacat diejek, para imigran seperti ibu saya dicerca, dan mengambil barang-barang pribadi milik perempuan dianggap ok-ok saja, setidaknya jika Anda seorang selebritas. Di manakah tempat saya tadi mendarat? Apakah saya harus bertahan hidup selama empat tahun ke depan hanya dengan makan kelapa?
Sekarang, tiga setengah tahun kemudian, kita tahu sedikit lebih banyak tentang Pulau Donald. Pengangguran tumbuh menjadi yang tertinggi sejak Great Depression. Sekitar 100.000 orang Amerika tewas, 36.000 di antaranya mungkin karena Trump menolak untuk segera menetapkan kebijakan social distancing secara nasional, hingga kemudian terlambat. Sebelum itu, presiden dimakzulkan karena menyalahgunakan kekuasaan dan menghalangi Kongres. Pada April lalu, The Washington Post memperkirakan, Trump telah membuat klaim yang salah atau menyesatkan kepada warga negaranya sebanyak 18.000 kali.
Namun, jangan khawatir: pada 2017 lalu, justru yang terkaya di antara kitalah yang mendapat pemotongan pajak paling besar.
Apakah mengherankan bahwa banyak orang Amerika berbicara tentang harapan mereka akan pembebasan dari pemerintahan ini, dengan kata-kata yang sama yang Anda gunakan jika pesawat Anda menabrak Pulau Carnage? “Siapa yang akan menyelamatkan kita?” kita bertanya-tanya. Siapa yang akan membawa kita kembali ke tempat yang dulu kita sebut rumah?
Kisah tentang orang-orang terbuang sering menggambarkan ketegangan antara mereka yang berharap untuk menciptakan kembali dunia yang beradab (di satu sisi) dan mereka yang melihat keterbuangan mereka sebagai kesempatan untuk memulai kembali (di sisi lain). Beberapa pulau justru mungkin adalah tempat penuh idealisme dan fantasi; The Swiss Family Robinson, misalnya, yang menggunakan waktu mereka akibat kapal karam di Hindia Timur untuk menyempurnakan seni kemandirian, penerimaan, dan kerja sama. (Mereka juga menjinakkan seekor serigala, yang mereka beri nama Fangs). Di akhir novel, ketika sebuah kapal Inggris tiba, beberapa karakter justru memutuskan mereka tidak ingin “diselamatkan”.
Di pulau-pulau lain, semua berjalan menuju neraka. Kadang-kadang ini karena orang buangan kembali ke diri mereka yang lebih primitif. Piggy dalam “Lord of the Flies,” misalnya, mendorong teman-temannya untuk percaya pada akal dan sains, seperti versi Dr Anthony Fauci muda saat di sekolah menengah. Kawan-kawannya, pada gilirannya, membalasnya dengan menjatuhkan batu besar ke kepalanya.
Dalam beberapa cerita, orang-orang terbuang menetap untuk jangka panjang. Mereka membangun tempat berlindung, mereka berburu makanan, mereka memilih pemimpin. Yang lain lebih enggan. Shannon Rutherford di acara televisi “Lost” menghabiskan beberapa hari pertamanya berjemur di pantai. Ketika diminta untuk bergabung, dia menolak–karena dia yakin sebuah kapal akan datang. Mengapa merencanakan masa depan di tempat yang tidak ingin Anda tinggali?
Ketika coronavirus menyerang, banyak orang Amerika melakukan penyaluran batin laiknya Shannon. Kami hanya menunggu semua berakhir. Lagi pula, berapa lama sih waktunya dia jadi presiden? Seseorang—apakah itu the Centers for Disease Control, World Health Organization?– akan menyelamatkan kita. Akan ada vaksin. Pada musim panas pun semuanya akan kembali normal.
Yang saya takutkan adalah, tidak akan ada kapal datang. Yang mengejutkan, sebagian warga negara—para pendukung utama presiden, menyukai ‘pulau ini’ dengan baik. Ketika orang-orang kulit putih yang mengenakan kamuflase dan membawa senapan serbu menduduki Gedung Negara Bagian Michigan, menentang gubernur terpilih mereka, sulit untuk tidak memikirkan anak-anak lelaki di “Lord of The Flies,” yang pada akhirnya, memutuskan kembali kepada diri sebagai makhluk biadab.
Dalam novel Golding, anak-anak sekolah yang berubah liar karena kondisi pulau terpencil itu, membawa-bawa tongkat yang diasah di kedua ujungnya. Di Michigan, mereka membawa-bawa poster-poster gubernur mereka—yang mencoba menolong mereka dengan melakukan PSBB, dengan kumis Hitler di wajahnya.
Wilayah yang belum dijelajahi sering mengandung bahaya, seperti monster hitam dalam “Lost,” atau alien yang mengendalikan budak pada film tahun 1964 “Robinson Crusoe on Mars.” Tapi musuh terburuk dalam cerita-cerita itu selalu jauh lebih menakutkan daripada alien. “Mungkin ada binatang buas,” kata Simon dalam novel Golding. “Mungkin hanya kita.” Belakangan, ketika dia menatap ke dalam mulut besar binatang buas itu, dia melihat “kegelapan di dalam, kegelapan yang menyebar.”
Namun, jika binatang buas itu justru adalah kita, maka kita pun punya malaikat kita sendiri: dokter, para petugas kesehatan, petani, supir truk pengiriman, abang gojek, abang Grab, abang ojek pengantaran– semua orang yang telah membantu kita bertahan hidup saat ini. Ini bukan The Swiss Family Robinson, tetapi selama kapal karam di musim semi ini, sejumlah besar pahlawan telah menunjukkan bagaimana saling memberikan semangat, kerja sama dan harapan, bahkan selama masa krisis.
Siapa yang kita pikir akan menyelamatkan kita? Siapa yang mungkin, selain diri kita sendiri?
Seperti yang diamati oleh karakter Tom Hanks di akhir “Cast Away,” “Saya tahu apa yang harus saya lakukan sekarang. Saya harus tetap bernafas. Karena besok matahari akan terbit.”
Siapa yang tahu apa yang bisa dibawa oleh gelombang? [The New York Times]
Jennifer Finney Boylan, adalah seorang profesor bahasa Inggris di Barnard College. Buku terbarunya adalah “Good Boy: My Life in Seven Dogs.”