Site icon Jernih.co

Presiden Tidak Boleh ‘’Cawe-cawe”

Ilustrasi

Betapa pun mulia kepentingan yang diwakili Presiden, ia tidak boleh cawe-cawe dalam Pemilu. Sesuai sumpahnya ia harus melindungi dan mengawal Pemilu luber dan jurdil sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Ia telah bersumpah untuk berlaku “seadil-adilnya”, istilah yang hanya bisa diartikan sebagai adil sejak dari jiwa, pikiran sampai ke perbuatan. Presiden yang melindungi konstitusi tidak boleh mendiskriminasi siapa pun, sekali pun itu musuh politiknya. Negara wajib melayani sesama warga negara, tanpa kecuali, dengan sama baik dan sama martabat.

Oleh   :   Radhar Tribaskoro*

JERNIH–Dalam sebuah pertemuan dengan pemimpin redaksi sejumlah media massa dan content creator, 30 Mei 2023, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa ia akan tetap cawe-cawe (ikut campur) pada Pemilu 2024. Ia juga bilang bahwa hal itu ia lakukan secara positif tanpa melanggar hukum dan peraturan. Presiden mengaku bahwa cawe-cawe itu semata demi kepentingan bangsa dan negara.

Kepentingan itu adalah membawa Indonesia keluar dari middle income trap. Jokowi mengklaim bahwa ia telah meletakkan fondasi yang tepat untuk itu. Ia ingin presiden yang meneruskan dirinya melanjutkan kebijakannya itu. Sehingga, sesuai harapannya, Indonesia akan benar-benar keluar dari perangkap itu. Dalam waktu 13 tahun Indonesia akan meningkatkan pendapatan per kapita menjadi US$10.000.

Radhar Tribaskoro

Menjadi masalah kemudian adalah apa yang dimaksud Presiden dengan cawe-cawe, apakah hal itu menjadikan presiden tidak netral dan pada gilirannya menyebabkan pemilu tidak jurdil? Apa yang harus dilakukan seorang presiden di akhir masa jabatan kalau ia ingin mempertahankan legacy-nya?

Kekuasaan presiden

Netralitas presiden dan pemilu jurdil adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya tidak bisa dipisahkan sebab pemilu jurdil tidak mungkin terjadi tanpa kehadiran dan netralitas presiden. Keberadaan pemilu jurdil dinyatakan secara eksplisit di Pasal 22E UUD 1945, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Adapun peran presiden dalam pemilu dinyatakan dalam Pasal 9 UUD 1945, yaitu dalam sumpahnya yang berbunyi, antara lain, “…menjalankan dengan…seadil-adilnya tugas-tugas… sebagai presiden…”

Presiden di Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kekuasaan yang sangat besar karena selain kepala negara, presiden adalah kepala pemerintahan. Oleh karena itu rentang kuasa presiden sangat luas, mencakup bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif. Singkatnya tidak ada kekuasaan di negeri ini yang tidak berada di bawah pengaruh presiden. Presiden bisa menggerakkan apa pun dan siapa pun karena TNI, Polri, BIN, dan birokrasi wajib patuh kepada dirinya.

Netralitas presiden

Dengan kekuasaan sebesar itu, apa yang dimaksud cawe-cawe tanpa menyebabkan hilangnya netralitas? Sebagai contoh, setelah Mahkamah Konstitusi menyetujui perpanjangan masa jabatan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun, apakah Presiden akan mengeluarkan Keppres untuk memperpanjang jabatan Firli dkk? Bila Presiden mengeluarkan Keppres itu, publik pasti heboh karena Presiden dianggap sudah tidak netral lagi.

Seperti diketahui, Firli Bahuri adalah Ketua KPK yang sangat bernafsu mentersangkakan Anies Baswedan, salah seorang capres pada Pilpres 2023. Publik juga mengetahui bahwa Presiden Jokowi tidak menghendaki Anies menjadi capres sebab dianggapnya tidak mau melanjutkan legacy-nya. Jadi bila Anies gagal menjadi capres, sudah pasti rakyat akan menuduh Presiden telah menjegalnya.

Presiden bisa berkilah bahwa ia cuma tanda tangan Keppres memperpanjang jabatan Firli dkk. Namun rentetan kejadian berikutnya berupa penetapan Anies sebagai tersangka korupsi oleh KPK, kegagalan pencapresan Anies di KPU, kerusuhan dan ketakstabilan politik/keamanan yang menyusul kemudian, tidak bisa dilepaskan dari tanda tangan Presiden di Keppres itu.

Potensi ketidaknetralan negara juga muncul ketika anak buah presiden, atas nama “mengamankan kebijakan presiden”, akan melarang bahkan menangkap siapa pun yang mewacanakan perubahan. Hal semacam ini terjadi ketika muncul gerakan #2019gantipresiden pada Pilpres 2019. Banyak aktivis pendukung gerakan itu, seperti Neno Warisman, Ahmad Dhani, Eggi Sujana, Bachtiar Nasir dll, dihentikan bahkan ditangkap polisi karena dituduh menyebarkan hoax dan ujaran kebencian. Dapatkah kampanye #perubahankebijakan atas politik ekonomi Presiden Joko Widodo, dianggap sebagai hoax atau ujaran kebencian? Tentu saja bisa. Kalau #gantipresiden saja dianggap sebagai ujaran kebencian, apalagi #perubahan-kebijakanpresiden.

Sampai di sini menjadi jelas, tidak mungkin “cawe-cawe presiden” tidak ditafsirkan sebagai tindakan yang bebas kepentingan alias netral.

Kepentingan presiden

Masalah utamanya adalah lantaran Presiden sendiri mengemukakan bahwa ia memiliki kepentingan pada Pilpres 2024. Sekalipun Jokowi mengatakan bahwa kepentingannya adalah kepentingan negara dan bangsa, hampir semua orang tidak mempercayainya. Mereka menganggap itu hanya retorika, lebih buruk lagi itu adalah hoax. Mereka lebih percaya bahwa tujuan sesungguhnya adalah untuk mengamankan kepentingan oligarki dan orang-orang yang telah mengambil keuntungan pribadi atas banyak kebijakan negara.

Namun, betapapun mulia kepentingan yang diwakili Presiden, ia tidak boleh cawe-cawe dalam Pemilu. Sesuai sumpahnya ia harus melindungi dan mengawal Pemilu luber dan jurdil sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Ia telah bersumpah untuk berlaku “seadil-adilnya”, istilah yang hanya bisa diartikan sebagai adil sejak dari jiwa, pikiran sampai ke perbuatan.

Presiden yang melindungi konstitusi tidak boleh mendiskriminasi siapa pun, sekali pun itu musuh politiknya. Negara wajib melayani sesama warga negara, tanpa kecuali, dengan sama baik dan sama martabat. Dalam konteks ini cawe-cawe presiden ada di dalam pengertian mengawasi dan menjaga agar seluruh aparat negara (birokrasi, TNI, BIN dan polisi) bertindak netral.

Presiden bukan insan politik lagi. Ia bukan petugas partai, kader Soekarno atau orang yang berhutang-budi kepada Megawati. Ia adalah sosok negarawan yang tidak menyinggung soal politik apa pun yang bisa ditafsirkan mendukung atau menolak seorang kandidat atau partai politik. Ia adalah orang yang sepenuhnya bersih dari kepentingan politik.

Mampukah Jokowi menampilkan kepribadian negarawan yang dituntut oleh konstitusi?

Saya yakin, ia tidak mampu. Presiden sendiri yang menyatakan bahwa ia memiliki kepentingan spesifik, bukan sekadar menjalankan kepentingan negara. Jokowi boleh saja punya mimpi membangun negara dengan cara tertentu. Dengan begitu ia tidak berhak mendikte capres-capres untuk bekerja sesuai dengan caranya. Memaksa capres atau mempromosikan capres yang sesuai dengan dirinya adalah pelanggaran berat atas prinsip kenetralan presiden. Itu adalah pelanggaran atas sumpah presiden dan sekaligus perbuatan tercela. Hal itu cukup untuk menggiringnya ke pemakzulan.

Presiden Jokowi telah mendapatkan waktu 10 tahun mewujudkan visi misinya sebagai presiden. Tidak ada waktu tambahan, ia harus puas dengan apapun yang sudah ia capai. Kalau ia berpikir masih banyak yang belum selesai, sila membangun lembaga atau organisasi untuk mengadvokasi pikirannya itu. Presiden juga dipersilakan mendirikan partai politik baru untuk itu. [  ]

*Aktivis Dewan Mahasiswa 1980-an

**Solilokui adalah ruang opini pribadi para penulis.

Exit mobile version