Semua itu ingin mereka ketahui. Sebab, mereka tidak memiliki pengetahuan itu, sesuatu yang mesti dipelajari dengan baik. Satu-satunya milik mereka ialah instink dari seks itu sendiri. Jika instink itu tidak disertai dengan pengetahuan yang baik mengenai seks, maka seks sering menjerumuskan.
Oleh : Faisal Baraas*
JERNIH—“Saya nakal sekali, saya tahu,” kata seorang gadis yang berumur 15 tahun itu. “Saya ingin melihat seorang lelaki telanjang bulat tanpa selembar bebang pun. Mungkinkah itu?”
Semua orang yang hadir di ruangaan itu terheran-heran. Bagaimana patung, semua ternganga. Amboi, alangkah anehnya keinginan itu.
“Tidak! Tak ada yang aneh. Saya merasa wajar-wajar saja. Saya hanya ingin melihat, mengapa kita ini mempunyai tubuh yang berbeda.”
Ia mungkin benar, tetapi karena keingintahuan itu tidak lazim, maka semua orang mempertanyakannya. Ia sendiri telah lama memendamnya. Mula-mula agak sungkan juga mengungkapkannya. Barangkali karena malu, atau mau sembunyi-sembunyi. Dan ia memang telah lama pula, dengan sembunyi-sembunyi, memperhatikan dirinya.
Di kamarnya terpampang cermin besar, ia senang berkaca di sana, hampir tiap hari. Memperhatikan tubuhnya. Buah dadanya memang tidak terlalu besar.Sedang-sedang saja. Dengan telapak tangannya, buah dada itu masih tercakup. Mengapa lelaki tidak punya buah dada yang mekar macam ini?, pikirnya selintas.
Pinggangnya ramping, melekuk dengan halus. “Saya cantik,” pikirnya waktu itu.
“Apakah lelaki boleh juga dibilang cantik?”
“Tentu saja tidak,” ia sendiri membantahnya. “Lelaki tak punya buah dada selembut ini.”
Sesungguhnya ia ingin mengetahui banyak hal. Banyak perbedaan yang terjadi antara tubuh lelaki dan tubuh wanita. Sebagai gadis remaja, ia sering bingung mau tanya pada siapa. Dengan orang tua, tak banyak yang bisa ditanyakan. Komunikasi seketika macet, jika arusnya seks. Oran tua seketika membentak. Siapa sih yang suka dibentak-bentak? Ia jadi enggan. Enggan sekali. Taka da gunanya tanya orang tua. Ia kembali kepada teman-temannya. Ternyata, mereka pun memiliki problem yang sama.
“Banyak pertanyaan mengenai tubuh saya sendiri yang mencemaskan saya.Tapi mereka malah meremehkan,” katanya pada satu kesempatan lain.
“Coba kalau kita hidup pada masyarakat nudis, mungkin kita lebih berbahagia. Sebab, tidak ada yang mencemaskan. Semuanya terpampang jelas dan kita tak lagi kepingin tahu. Bagaimana ya, kira-kira, reaksi kita melihat tubuh orang lain?”
Dan itulah problem mereka. Itulah yang mereka ingin tahu. Dalam masalah seks yang pertama, mereka ingin tahu, mengapa mereka punya vagina dan lelaki punya penis. Mengapa buah dada mereka melembut, sedangkan lelaki tetap datar? Mengapa mereka mengalami menstruasi setiap bulan dan apakah lelaki juga mengalaminya? Apa fungsinya semua itu? Apa gunanya?
Semua itu ingin mereka ketahui. Sebab, mereka tidak memiliki pengetahuan itu, sesuatu yang mesti dipelajari dengan baik. Satu-satunya milik mereka ialah instink dari seks itu sendiri. Jika instink itu tidak disertai dengan pengetahuan yang baik mengenai seks, maka seks sering menjerumuskan.
Yang aneh ialah mengapa orang-orang mencemoohkannya, jika ia terus terang mengatakan kecemasannya mengenai seks? Bahkan ia pernah terkejut sekali, ketika pertama kali mengalami menstruasi.
Pada waktu itu ia merasa mungkin itu merupakan hukuman bagi tingkah lakunya. Ada sesuatu yang telah terpotong dari tubuhnya (dalam bayangannya mula pertama ia sama seperti laki-laki), lalu pemotongan itu tidaklah sempurna sekali sehingga ia mengalami pendarahan setiap bulan dan mungkinkah itu sebagai hukuman?
Ia tertawa beberapa tahun kemudian kalau mengingat bayangan-bayangan pada waktu dulu. “Banyak pertanyaan yang akan kita cetuskan sebenarnya, kalau saja itu diizinkan,” katanya. “Karena tidak tahu, kita akhirnya gelisah karena bayangan-bayangan yang muncul dalam otak kita sendiri.”
Bayanganya mengenai kehamilan dan kelahiran, kini menggelikannya. “Mula-mula Papa memberi Mama sesuatu untuk dimakan, lalu makanan itu berkembang dalam perut Mama. Perut Mama bagaikan suatu terowongan yang memanjang mulai dari mulut sampai dubur dan di tengah-tengahnya berupa suatu kantung tempat makanan itu berkembang. Kantung itu makin lama kian bengkak dan ia khawatir kalau perut Mama akan meletus nanti. Tapi ternyata tidak. Adik saya lahir ketika Mama pergi ke kamar kecil. Ia keluar dari lubang pantat…tapi lubang itu begitu kecil…apakah itu mungkin?”
Ketika ia mulai mengerti bahwa di samping lubang pantat ada lubang lain untuk kencing, maka imajinasinya pun berkembang.
“Adik keluar bukan dari lubang pantat, tapi lubang kencing. Ia menetes perlahan-lahan, kemudian tubuhnya berubah membentuk bayi.”
Bertahun-tahun kemudian barulah ia menyadari bahwa ada lubang lain lagi selain lubag pantat dan lubang kencing…
Sekarang ia tertawa mengenang semua itu.
“Adakah saya salah jika saya ingin melihat seorang lelaki telanjang bulat tanpa selembar benang pun di tubuhnya? Saya ingin membandingkannya dengan tubuh saya sendiri seperti yang telah saya saksikan lewat cermin di kamar saya…”
“Sesungguhnya saya ingin mengenal anatomi tubuh kita, sebagai awal pendidikan seks itu sendiri..” katanya dengan nada rendah. Ia bernama Sandra. [ ]
*Dokter ahli jantung dan penulis. Tulisan ini diambil dari buku beliau,”Beranda Kita”, Jakarta, Grafitipers, 1985