Kita memerlukan proses pembudayaan agama dan Pancasila secara holistik. Tak cuma menawarkan doktrin dan kode moralitas sebagai bahan hapalan (logos), tetapi harus disajikan secara kreatif agar bisa menyentuh penghayatan emotif (pathos), yang mendorong tekad untuk mengaktualisasikan nilai moral itu dalam kehidupan nyata (ethos).
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, semua kekusutan dan kekisruhan yang mewarnai kehidupan negeri boleh jadi karena kita tak cukup menerima olah batin. Demokrasi dirayakan dengan pesta jorjoran, miskin substansi dan refleksi; pendidikan dipadati asupan kognitif, miskin olah rasa dan karsa; agama diekspresikan dalam kerumunan dan kebisingan, miskin perenungan dan penghayatan.
Untuk penjernihan, kita harus keluar dari kegaduhan menuju kesunyian. Jalaluddin Rumi berkata, “Hening adalah lautan. Ucapan adalah sungai. Saat lautan mencarimu, jangan melangkah memasuki sungai. Dengarkanlah lautan.”
Kalaupun harus memasuki sungai, masukilah aliran sungai suara yang bening; tempat orang menemukan air jernih yang bisa digunakan bersihkan diri. Bahasa musik lembut, yang sanggup menembus batas ego-mental dengan menyentuh kedalaman hati, bisa digunakan sebagai sarana olah batin.
Di tengah ketegangan kebangsaan, harmoni memerlukan penguatan sensitivitas. Manakala ucapan verbal lebih memancing cekcok tafsir dan pertikaian, musik bisa digunakan sebagai sarana sambung rasa. Ucapan nada yang menyentuh perasaan dapat menyatukan aliran-aliran kecil sungai perbedaan, menuju keluasan samudera persamaan.
Kita memerlukan proses pembudayaan agama dan Pancasila secara holistik. Tak cuma menawarkan doktrin dan kode moralitas sebagai bahan hapalan (logos), tetapi harus disajikan secara kreatif agar bisa menyentuh penghayatan emotif (pathos), yang mendorong tekad untuk mengaktualisasikan nilai moral itu dalam kehidupan nyata (ethos). Dengan kata lain, kita memerlukan pendekatan interaktif antara dimensi kognitif-saintifik, ekspresif-estetik dan praktis-moral.
Ketiga dimensi tersebut bernilai setara. Kehilangan salah-satunya berisiko kesenjangan dalam praksis kehidupan kebudayaan; seperti keterpisahan antara pikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan tindakan (konatif).
Musik bisa didayagunakan sebagai medium ekspresif-estetik untuk mengembangkan penghayatan emotif terhadap agama dan Pancasila. Menurut riset neuro-science, jenis lirik dan musik tertentu dapat merangsang perkembangan otak, khususnya otak kanan, yang memperkuat daya kreativitas dan afinitas sosial yang memberikan prakondisi mental untuk bisa hidup damai dalam perbedaan dengan penuh kasih. [ ]