Site icon Jernih.co

Sudah Saatnya (Lagi) Kita Melakukan Tobat Nasional

Ilustrasi bencana alam, karikatur dimuat di Rakyat Merdeka online.

Artinya, ada ‘kerelaan’ umum terhadap dosa-dosa khusus. Di Indonesia, mungkin korupsi. Tanda kerelaan itu, menurut Imam Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, bisa disebutkan: tiadanya rasa sakit melihat berbagai lubang dalam kehidupan beragama akibat berbagai tindak maksiat. Padahal orang hanya bisa dinilai enggan kepada maksiat kalau ia merasa pedih melihatnya, seperti rasa perih yang diderita akibat kehilangan harta atau pun anak.

Oleh   :  Darmawan Sepriyossa

JERNIH–Pada komunitas yang intens membicarakan spiritualitas, bencana dan ‘kemarahan’ alam pun seringkali mendapatkan penafsiran dari kacamata spiritual. Itu pula yang mengemuka pada malam Jumat (8/12) kemarin, saat kami semua berkumpul di padepokan tokoh Sunda, Ki Jatnika, di Muara Beres, Cibinong, Bogor, atas undangan mantan Duta Besar untuk Ukraina, Prof Yuddy Chrisnandi.

Darmawan Sepriyossa

Dari obrolan–untuk tidak menyebutnya ‘diskusi’ yang terkesan lebih kaku dan resmi— tampaknya semua sepakat bahwa alam juga adalah makhluk Tuhan yang hidup dan punya kehendak. Kepercayaan yang sejatinya telah hidup di tanah ini sejak lama. Karena itu, alam pun bisa marah manakala melihat bagaimana manusia berkelakuan jahat, keji, hidup di pangkuan bumi dengan seenaknya memperturutkan nafsu. Alam bereaksi, sebagaimana di saat ia menolak amanah Allah yang menawarkan baginya kepemimpinan (khalifah) di dunia, seperti tertera jelas dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 72: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan (bisa) melaksanakannya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.”

Akhirnya obrolan mengerucut pada satu hal: bila memang alam telah marah karena kerusakan lahir-batin yang ditimbulkan manusia, tidakkah sudah saatnya kita semua kembali merenungkan firman Tuhan dalam Quran, surat Ar-Rum 41? “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Kala setiap pekan bumi menegur kita dengan goyangan di setiap penjurunya berupa gempa, bukankah itu isyarat kuat agar kita semua bertobat?

“Bayangkan jika Mejelis Ulama Indonesia, bekerja sama dengan persatuan para rohaniwan masing-masing agama yang hidup di Indonesia menggelar tobat nasional, dipimpin presiden sebagai tokoh yang diamanahi kepemimpinan, menyadari dan mengakui kesalahan kita selama ini, lalu bertobat bersama,”kata Yuddy. “Saya yakin, apalagi bila melibatkan kaum dhuafa dan anak-anak yatim seluruh negeri, bagaimana mungkin doa kita semua tidak didengar dan dikabulkan?”

Benarkah bencana adalah konsekuensi logis dari perbuatan (buruk) manusia? Sebagian bencana (alam), seperti sepenuhnya diyakini kaum tidak beragama, memang semata kejadian alam. Siklus yang alamiah dan wajar saja. Sebagian lagi, terutama di kalangan ahli agama dari kepercayaan mana pun, berkaitan dengan perbuatan manusia sebagai pengisinya.

Tentang ayat ini, menurut mufasir alm Syu’bah Asa, ada penafsiran menarik dari Ali bin Abi Thalib terhadap surat Al Anfal ayat 25,” Dan peliharalah diri kalian dari bencana yang tidak sekali-kali hanya akan menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah keras siksa-Nya.”

Ali—yang kemudian pula diikuti Zaid ibn Tsabit, Ubay, Ibn Mas’ud, Ar-Rabi’ ibn Anas, dan Abul ’Aliah, juga Al-Baqir, membaca kata itu sebagai laa tushiibanna (dalam tafsir Qurthubi, VII: 393; Thabathaba’i, [X: 48). Di situ laatushiibanna dianggap sebagai jawaban sebuah ungkapan sumpah yang diasumsikan (mahdzuuf, dihilangkan), yakni wallaahi (demi Allah”). Lengkapnya, dalam asumsi, “Dan peliharalah diri kalian dari bencana yang demi Allah pasti akan menimpa (wallaahi latushiibanna)… Bahkan, menurut Al-Jurjani, laa tushiibanna (yang kita terjemahkan dengan tidak sekali-kali akan menimpa”) sebenarnya juga bisa berarti sama dengan latushiibanna (”pasti akan menimpa’). Laa tushiibanna itu kata negasi dalam posisi menerangkan kata benda tak tentu (nakirah), yakni fitnah, bencana.

Apalagi bila di negeri itu kejahatan, kekejian dan kezaliman merajalela tanpa ada upaya kekuasaan untuk menghentikannya. Dalam hadis riwayat Ahmad, Adi ibn Umairah menyatakan mendengar Nabi SAW bersabda: Allah Azza wa Jalla tidak mengazab semua orang akibat dosa orang-orang tertentu, kecuali mereka melihat kemungkaran persis di tengah mereka, dan mereka mampu mengingkarinya, tetapi tidak mengingkarinya. Kalau mereka bersikap begitu, Allah mengazab orang-orang tertentu itu dan semua orang.”  

Artinya, ada ‘kerelaan’ umum terhadap dosa-dosa khusus. Di Indonesia, mungkin korupsi. Tanda kerelaan itu, menurut Imam Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, bisa disebutkan: tiadanya rasa sakit melihat berbagai lubang dalam kehidupan beragama akibat berbagai tindak maksiat. Padahal orang hanya bisa dinilai enggan kepada maksiat kalau ia merasa pedih melihatnya, seperti rasa perih yang dideritanya akibat kehilangan harta ataupun anak.

                                                ***

Urusan tobat nasional segera mengingatkan saya akan tokoh lokomotif Reformasi 1998, Amien Rais. Beberapa bulan sebelum tumbangnya kekuasaan Pak Harto, sekitar 1997 ke 1998, Amien banyak bicara, mengajak seluruh warga negara untuk melakukan pertobatan nasional. Bila perlu, kata Amien saat itu, pertobatan itu langsung dilakukan secara massal, dalam sebuah acara besar yang melibatkan Pak Harto sebagai presiden saat itu. Saya lupa—apalagi waktu itu pun beragam berita dan kejadian belum terekam secara digital—apakah perhelatan besar itu bisa terlaksana atau tidak.

Mungkin pembaca pernah membaca kisah yang konon terjadi di saat kekeringan akibat kemarau panjang melanda Khilafah Andalusia, Spanyol, di era Islam. Waktu digelar salat Istisqa’, raja yang harus berkhutbah pada salat itu mendadak bisu. Demikian pula ulama kekhalifahan yang berinisiatif menggantikannya. Salat yang dimaksudkan untuk menghilangkan musibah, justru menambah musibah baru: para petinggi negara tidak bisa bicara.

Hingga berdiri seorang pemuda, berdiri di mimbar, mengucapkan salam, dan mulai berkhutbah. Bicaranya lancar, bahasanya fasih, dan topiknya menarik. Dengan tegas, ia menyatakan bahwa semua musibah yang menimpa negeri Islam itu terjadi karena kesalahan raja dan para penguasa. Ia meminta raja dan semua pejabat bertobat. Ia menyebut satu demi satu kesalahan mereka. Ia meminta mereka mengakuinya di hadapan rakyat dan Tuhan.

Raja, seperti mewakili para penguasa lainnya, menangis keras. Khatib berkata, “Bila penguasa bumi sudah takut kepada Tuhan, akan ridhalah penguasa langit.” Bersamaan dengan aliran air mata raja, hujan pun perlahan-lahan turun, makin lama makin deras.

Saya masih ingat imbauan Amien Rais saat itu direspons beragam sikap dari berbagai kalangan. Ajakan Amien tak membuat para pemimpin umat Islam waktu itu —apalagi yang saat itu lekat dengan kekuasaan—meneteskan air mata. Ada lagi yang mempertanyakan dalil Alquran dan hadits untuk itu. “Dalam Alquran tidak ada tobat nasional. Yang ada tobat nasuha. Pesan Amien jelas disakahpahami—mungkin saja disengaja.

Padahal, para sufi menyebut tobat sebagai stasiun pertama perjalanan menuju Tuhan. Semua langkah yang kita lakukan akan sia-sia bila tidak dimulai dari Stasiun Tobat. Tobat, menurut Syekh Ibn Qayyim al-Jawziyyah, adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah, dengan meninggalkan jalan orang-orang yang dimurkai Tuhan dan jalan orang-orang yang tersesat. Tobat mustahil terjadi tanpa memperoleh petunjuk untuk Kembali kepada jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim). Orang tidak  akan kembali kepada jalan lurus bila tidak menyadari dosa-dosa, dan bila tidak mengulangi perbuatan dosanya. “Karena itu,” kata Ibn Qayyim, “tobat tidak sah kecuali dengan menyadari dosa, mengakuinya, dan berusaha mengatasi akibat-akibat dari dosa yang dilakukannya.” [Lihat : “Maddri as-Salikin”, 1: 179).

Akui saja. Seperti kata Amien Rais saat itu, kita sudah menjadi bangsa berdarah dingin. Kita tidak tersentuh dengan derita anak bangsa kita yang dipancung di negeri orang tanpa keadilan. Kita tak lagi bisa meneteskan air mata melihat kesedihan sesame warga bangsa. Kita juga sudah menjadi bangsa penakut dengan terus belajar untuk tidak berbicara yang benar. Kita begitu terampil mengem-bangkan keterampilan bahasa yang menyembunyikan realitas pahit dalam kemasan manis.

Paling parah dari semuanya, kita telah menjadi bangsa pecinta dongeng. Apa saja cerita yang dibuat oleh orang yang berkuasa, betapa pun tidak masuk akalnya, segera menjadi keyakinan kita.

Mari kita bertobat. [INILAH.COM ]

Exit mobile version