Persoalannya, benarkah Suharso adalah –maaf– semacam kanker jahat dalam tubuh PPP, yang manakala ia sudah dicabut, sembuhlah PPP menjadi partai sehat walafiat menuju Pemilu 2024 ke depan? Atau, dia hanya tokoh sial yang keceplosan mengeluarkan pernyataan kontroversial, dan, eureka!, internal PPP pun menemukan kambing berbulu hitam untuk disembelih bersama?
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH—Peringatan ahli hadits termasyhur di era klasik, Ibnu Asakir, bahwa daging ulama itu beracun, agar kita berhati-hati dalam memperlakukan para pewaris Nabi tersebut, di hari-hari terakhir ini kita saksikan pembuktiannya. Jangankan kyai—sebutan untuk para ulama di tanah Jawa—amplopnya saja sudah cukup untuk menggulingkan seorang ketua umum sebuah partai politik ternama.
Pada Senin dini hari (5/9) lalu, Musyawarah Kerja Nasional Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Serang, Banten, mencopot Suharso Monoarfa dari posisinya sebagai ketua umum PPP. Kekecewaan sebagian warga PPP kepada Suharso akhirnya mendapatkan momentum saat Suharso keseleo lidah mengungkit-ungkit soal ‘amplop kyai’. Pernyataan Suharso itu dianggap sebagian warga PPP menyinggung kalangan pesantren, ceruk yang konon merupakan basis massa penting partai berlambang Kakbah itu.
Tetapi bukan soal amplop itu benar yang ingin saya angkat dan diskusikan. Bukan pula soal pertentangan, intrik, cekcok dan bahkan ribut yang tampaknya kian menjadi ciri yang nyaris membudaya di PPP. Soal itu, rekan saya Setiyardi Budiono telah mengangkatnya. [Lihat : “PPP, ‘Rumah Besar Umat Islam’ Yang Tak Putus Dirundung Prahara”].
Persoalannya, benarkah Suharso adalah –maaf– semacam kanker jahat dalam tubuh PPP, yang manakala ia sudah dicabut, sembuhlah PPP menjadi partai sehat walafiat menuju Pemilu 2024 ke depan? Atau, dia hanya tokoh sial yang keceplosan mengeluarkan pernyataan kontroversial, dan, eureka!, internal PPP pun menemukan kambing berbulu hitam untuk disembelih bersama?
Sayang sekali, tampaknya biang penyakit PPP tidak berada di persona, bukan pada tokoh, siapa pun orangnya. Persoalan PPP lebih cenderung pada jati diri partai politik tersebut, seiring jumudnya partai itu di mata publik dihubungkan dengan usia yang seharusnya mendewasa bahkan menua.
Tidakkah kita seharusnya bertanya-tanya, mengapa partai ini seolah kehilangan jati diri, meski ia telah mencoba untuk mencari dan merebutnya kembali setelah Reformasi?
Meski tidak lagi fresh from oven, dan lingkupnya pun hanya lokal, tesis master yang ditulis Zamroni, mahasiswa Magister Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, pada 2007 lalu masih bisa menjadi acuan. Tesis berjudul “Pemetaan Tipologi Pemilih PPP Kabupaten Jepara; Sebuah Strategi Pemenangan Pemilihan Umum” itu menegaskan beberapa temuan fakta yang didapatnya saat itu.
Penelitian Zamroni menemukan bahwa komposisi pemilih PPP dari segi jenis kelamin, baik pemilih pria maupun wanita memiliki komposisi berimbang. Hanya, dari sisi usia itu pemilih PPP sebagian besar merupakan pemilih berusia tua, sementara dari segi agama pemilih PPP dominan, kalau tak boleh disebut semua, beragama Islam.
Dari segi pendidikan, sebagian besar pemilih PPP hanya pemilih berpendidikan rendah, dengan mayoritas pekerjaan sebagai petani. Sementara dari segi penghasilan, sebagian besar pemilih PPP berpenghasilan rendah. Dengan mengabaikan Sebagian hasil penelitian, dari temuan Zamroni dapat dikatakan juga bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi pemilih dalam memilih PPP (di Jepara), yakni karena berasas Islam, akibat pengaruh kiai dan pengaruh keluarga.
Sebenarnya, boleh juga kita mengatakan bahwa PPP sejatinya bukan partai tua. Setidaknya, setelah Reformasi 1998, ada perubahan esensial di partai saat PPP mengganti asas partai dari Pancasila kembali ke asas Islam. Inilah yang membuat PPP dalam skripsi Sri Utaria,”Tipologi Politik Partai Islam di Indonesia; Kontestan Pemilu 2004” di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, disebut sebagai partai Islam formalistik, seperti juga Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PNUI) dua dekade lalu.
Tetapi strategi positioning dengan menerapkan citra tertentu sebagai ‘partai Islam’ itu pun ternyata tidak manjur membawa PPP naik maqam dalam Pemilu.
Pada Pemilu 2004, terlihat jelas bahwa di masa lalu, suara warga NU menentukan keberadaan PPP. Saat itu, Pemilu menegaskan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai baru yang pendukungnya merupakan penyumbang suara PPP di masa lalu, mendapatkan 11.989.564 (10,56 persen) suara. Posisi itu di atas PPP yang waktu itu masih mengumpulkan 9.248.764 atau 8,15 persen suara. Meski demikian, saat itu kursi PPP di DPR adalah 58, lebih besar daripada kursi PKB yang 52.
Setelah itu suara PPP terus nyemplung ke bawah. Pada Pemilu 2009, PPP hanya memperoleh 5.544.332 suara atau setara 5,33 persen. Dari angka itu, PPP berada di posisi ke-6. Sementara pada Pemilu 2014, posisi PPP kembali turun dan harus berada di tempat ke-9 dari nomor urut partai parlemen. Saat itu PPP memiliki suara 8.152.957 setara dengan 6,53 persen. Bahkan pada Pemilu 2019, walaupun sudah berebut masuk gerbong pemerintah dan ikut mendukung Jokowi, PPP harus menelan pil pahit. Partai itu kian kerdil dengan hanya 6.323.147 suara alias meraup 4,52 persen suara saja. Sesuai aturan, hanya 0,52 persen suara saja yang membuat PPP tidak terdepak keluar Parlemen.
Sekali lagi, bukan tokoh yang membuat PPP terus mengecil ibarat kapal menuju horizon. Konflik tak berujung yang senantiasa hadir di partai tersebut yang jadi musabab. Manakala partai hanya menjadi ajang jago-jagoan para elitnya, wajar bila rakyat pun akhirnya muak dan meninggalkan, bukan? [dsy]