Jernih.co

Toleransi

Kedamaian memang tak selamanya mewarnai sejarah Islam, tapi setidaknya ada monumen pencapaian. Semenanjung Iberia sering dirujuk sebagai pusat teladan. Kedamaian Cordoba menarik orang dari latar multikultur dan menjadi pusat penyerbukan silang bagi seni dan kerajinan, ragam bahasa, budaya, filsafat, dan tradisi keagamaan.

Oleh     :  Yudi Latif

JERNIH– Saudaraku, pada 638 Masehi, ketika Khalifah Umar dipandu menyusuri Yerusalem oleh Patriarch Sophronius, Sang Khalifah menolak untuk menunaikan shalat di Anastasis; yang dipercaya sebagai tempat kematian dan kebangkitan Kristus. Ia khawatir, jika ia salat di sana, kaum Muslim akan mengubahnya jadi tempat peribadatan Islam.

Tak hanya itu. Quran adalah kitab suci yang menonjol dalam mengakui keabsahan ragam agama. Di bawah kejayaan Islam, orang Yahudi dan Nasrani dilindungi sebagai ahli kitab dan diberi kebebasan (relatif) untuk menjalankan agamanya.

Kedamaian memang tak selamanya mewarnai sejarah Islam, tapi setidaknya ada monumen pencapaian. Semenanjung Iberia sering dirujuk sebagai pusat teladan. Kedamaian Cordoba menarik orang dari latar multikultur dan menjadi pusat penyerbukan silang bagi seni dan kerajinan, ragam bahasa, budaya, filsafat, dan tradisi keagamaan. Toledo dikenal sebagai kota tiga budaya, sebagai kristalisasi perjumpaan damai tiga agama (Islam, Kristen, Yahudi).

Sungguh menyesakkan, dalam perkembangan terakhir, ekspresi kekerasan dengan mengatasnamakan agama merebak di berbagai belahan bumi. Terjepit di antara kekerasan negara, kekerasan pasar, dan kekerasan kelompok keagamaan, membuat watak agama sebagai rahmat bagi semesta meredup vitalitasnya.

Dalam bayangan murung seperti itu, Indonesia diharapkan bisa terus tampil sebagai mercusuar tradisi kehidupan keagamaan yang damai.

Clifford Geertz menengarai pandangan dunia religi primordial Nusantara bercorak iluminasionisme. Bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan pasangan yang saling mengidentifikasi, saling melengkapi, saling bergantung yang terpancar (iluminasi) dari sumber yang sama–“Yang Esa” yang tidak bergantung.

Dengan pandangan hidup demikian, etos budaya Nusantara bersifat adaptif, gradualistis, estetis dan toleran. Perbedaan bukan sesuatu yang harus ditolak atau paling jauh ditoleransi selama tak membahayakan. Sebaliknya, perbedaan harus diterima sebagai bagian kesempurnaan hidup, yang mendorong semangat saling menyerap, saling berbagi, saling menghormati.

Dalam semangat itu, kita ucapkan selamat atas kunjungan Sri Paus Fransiskus ke Tanah Air Untaian Zamrut Toleransi Dunia. Semoga bisa jadi berkat bagi perdamaian dunia. [ ]

Exit mobile version