Betapapun menyakitkan, tragedi dan kegagalan bisa jadi sarana untuk mengukur daya lenting kita. Seperti diingatkan Nelson Mandela, “Jangan menakarku dengan keberhasilanku, takarlah aku dengan melihat berapa kali aku terjatuh dan sanggup bangkit kembali.”
Oleh : Yudi Latif
JERNIH– Saudaraku, ada pepatah pada bangsa Tibet seperti diungkapkan Dalai Lama XIV; “Tragedi harus digunakan sebagai sumber kekuatan. Tak peduli jenis kesulitan apa pun, dan pengalaman sepedih apa pun, jika kita kehilangan harapan, maka itulah malapetaka yang sesungguhnya.“
Tragedi itu ibarat larutan asam yang kuat. Ia akan meluluhkan semua hal, kecuali (menyisakan) emas kebenaran sejati. Dengan tragedi kita bisa mengenali borok-borok dan kualitas kita yang sesungguhnya. Tragedi adalah mahkamah yang membuat kita tak bisa mengelak dari tanggung jawab; karena pengelakan bisa membuat banyak orang terperosok ke lobang yang sama berulang-ulang.
Betapapun menyakitkan, tragedi dan kegagalan bisa jadi sarana untuk mengukur daya lenting kita. Seperti diingatkan Nelson Mandela, “Jangan menakarku dengan keberhasilanku, takarlah aku dengan melihat berapa kali aku terjatuh dan sanggup bangkit kembali.”
Sungguh pedih atas kehilangan. Namun, lebih pedih lagi jika hidup dalam kematian harapan. Daun-daun yang gugur semoga jadi pupuk kehidupan. Kelalaian dan kebodohan harus diberi pelajaran untuk perbaikan.
Apa yang melarakanmu akan merahmatimu. Kepedihan adalah obat pahit yang akan menguatkanmu. Apa yang kau perjuangkan akan menjadikanmu. Nasib adalah ketetapan yang terpahat lewat ikhtiar. [ ]