Pasal “sapu jagad” dinasti itu mati muda. Mahkamah Konstitusi membatalkannya tahun 2015 itu juga. Merespons uji materi atas pasal 7 huruf r UU 8/2015, majelis hakim konstitusi menilai pasal tadi bertentangan dengan Pasal 28i ayat 2 UUD 1945. Pasal hasil amendemen ini menyebutkan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Oleh : Moh. Samsul Arifin*
JERNIH– PERBINCANGAN soal dinasti politik menyeruak lagi setelah Gibran Rakabuming Raka lolos gelanggang pemilihan presiden dan wakil presiden hasil putusan Mahkamah Konstitusi. Benteng konstitusi itu mengubah batas usia capres/cawapres. Sekarang warga negara yang berusia kurang dari 40 tahun asalkan pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah dapat masuk kontestasi Pilpres.
Gibran adalah putra sulung Presiden Joko Widodo, wali kota Solo aktif yang sejak masuk gelanggang politik di Solo (Pemilihan wali kota) telah memancing kritik tentang dinasti. Secara genealogi, Gibran terlahir sebagai putra Jokowi. Dia dianggap masuk gelanggang politik cuma karena anak Jokowi. Keistimewaan itu merupakan keunggulan Gibran saat dapat tiket maju di Pilkada dari PDI Perjuangan, tapi memotong kesempatan sosok atau tokoh lain, terutama di internal partai itu, untuk bertarung di medan Pilkada Solo waktu itu. Alhasil demokratisasi di internal partai dipertaruhkan.
Ini salah satu bahaya politik dinasti. Tapi bukan itu saja. Satu dekade selepas Indonesia mengadaptasi pemilihan langsung (demokrasi liberal) di ajang Pilpres (2004) serta Pilkada (2005), Kementerian Dalam Negeri mencatat, sekitar 59 kerabat dari ratusan kepala daerah (periode lama) ternyata menjadi kepala daerah juga (periode baru). Imbas yang tak pernah dihitung: Demokrasi langsung ternyata menyuburkan dinasti politik. Definisi ini menunjuk kepada adanya pertalian darah atau ikatan perkawinan dari kepala daerah yang baru dengan incumbent (petahana) atau kepala daerah yang lebih dulu menjabat.
Mengapa dinasti politik dikhawatirkan? Sebab keberadaannya hasil pilkada (2005-2015) dinilai telah ikut menyuburkan korupsi di daerah selepas otoritarianisme Orde Baru jatuh dan otonomi daerah diberlakukan secara lebih luas. Padahal semangat reformasi serta demokrasi yang meringkus Orde Baru tahun 1998, salah satunya adalah memberantas KKN, alias kolusi, korupsi dan nepotisme.
Bukan tanpa alasan jika pada 2015 silam, DPR serta pemerintah menerbitkan Undang-Undang yang cukup progresif dalam menghambat dinasti politik dan membantu menangkal korupsi lewat Pasal 7 huruf r UU 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Pasal ini memuat syarat menjadi kontestan Pilkada, yaitu “warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur, calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon wali kota dan calon wakil wali kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”.
Penjelasan atas pasal 7 huruf r lebih tangkas menjelaskan maksud “tidak memiliki konflik kepentingan”, yaitu tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal ini jelas dan tegas menjawab kegelisahan publik waktu itu menyangkut keberadaan tokoh tertentu yang tersambung dengan dinasti politik. Semangat tertinggi dari pasal itu sebetulnya tidak hendak membatasi hak politik (hak dipilih) dari tokoh tertentu yang terhubung dengan sesuatu yang disebut dinasti, tapi memberi jeda satu kali masa jabatan.
Tujuannya menghindari mudharat, yakni menghambat atau memotong tren korupsi di daerah. Sungguh pun tidak persis sama, ini semacam kesadaran untuk membatasi “masa jabatan pejabat”. Masa jabatan presiden/wakil presiden cuma dua periode. Senafas dengan itu, masa jabatan kepala daerah tidak boleh selamanya dan tidak dilanjutkan oleh warga yang memiliki pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan petahana.
“Power tends to corrupt, and absolute power, corrupts absolutely,” begitu peringatan Lord Acton. Dan pesan itu tetap relevan sampai kapan pun.
Tapi, pasal “sapu jagad” dinasti itu mati muda. Mahkamah Konstitusi membatalkannya tahun 2015 itu juga. Merespons uji materi atas pasal 7 huruf r UU 8/2015, majelis hakim konstitusi menilai pasal tadi bertentangan dengan Pasal 28i ayat 2 UUD 1945. Pasal hasil amendemen ini menyebutkan, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Sebelum Gibran, adiknya Kaesang Pangarep juga memantik kontroversi. Bungsu Presiden Jokowi ini didapuk Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menjadi ketua umum partai itu. Kaesang tak perlu merangkak dari bawah untuk menjadi orang nomor satu di partai yang mengaku “Tegak Lurus Bersama Pak Jokowi” itu. Dia cuma perlu dua hari.
Naiknya Kaesang di panggung tertinggi PSI memperkuat satu hal yang telah berkembang mendahuluinya: Gibran Rakabuming Raka (kakak) serta Bobby Nasution (kakak ipar) menjadi wali kota Solo dan wali kota Medan. Dan bukan kebetulan jika Gibran belakangan dipilih menjadi cawapres dari Prabowo Subianto. Dia menyingkirkan Erick Thohir, Ridwan Kamil atau Khofifah Indarparawansa serta sekian elite partai pengusung Prabowo yang lebih berpengalaman serta teruji di medan eksekutif tanpa beradu ide atau gagasan dan basis elektoral yang cukup.
Pertanyaannya, mengapa dinasti politik dipersoalkan? Toh pasal “sapu jagad” penolaknya telah dibatalkan MK? Dan sejarah juga menunjukkan di sejumlah negara, dinasti politik itu tidak terelakkan?
Untuk menjawabnya, kita harus membahas hal berikut–sesuatu yang menjadi penyakit dalam politik dan kekuasaan di tanah air. Sudah lama jalannya politik nasional bertumpu pada patrimonialisme. Penopangnya adalah hubungan patron klien. Alhasil kekuatan sosok atau figur kharismatik amat menonjol. Di ranah partai politik kecenderungan ini membelenggu regenerasi kepemimpinan di pucuk organisasi hingga membatasi tokoh atau figur yang tidak terhubung dengan tokoh kharismatik untuk memimpin. Ini bisa diuji pada sejumlah partai politik di negeri kita.
Padahal budaya patrimonial pula yang mengoyak dan menghancurkan Orde Baru sehingga Soeharto jatuh dari kekuasaannya bukan lewat politik elektoral yang terhormat (Pemilu), tapi diruntuhkan “politik jalanan” yang digalang mahasiswa dalam bentuk demonstrasi yang meluas di kota-kota besar di negeri kita.
Budaya patrimonial sesungguhnya tidak senafas dengan sistem demokrasi yang menyaratkan kesederajatan dalam organisasi politik. Patrimonialisme menghambat rasionalisme–soko guru yang seharusnya menjadi jalannya organisasi politik mewujudkan tujuan mereka.
Alih-alih menghidupkan rasionalitas, budaya patrimonial menyuburkan ketergantungan tak perlu kepada tokoh karismatik atau tokoh yang terikat karena garis keturunan hingga ikatan perkawinan dengan tokoh pemilik kharisma. Ini yang bisa dibaca atas keputusan PSI memberikan kursi ketua umum kepada Kaesang Pangarep.
Cara berpikir dan logika serupa mengilhami ide menjadikan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres dari Prabowo. Hak istimewa karena terlahir sebagai putra Presiden Jokowi telah menyebabkan peluang tokoh atau figur lain tersingkir. Demokrasi internal partai politik mengkeret.
Dinasti adalah sesuatu yang silam dan langgeng sampai sekarang. Bukan terbatas di negara monarki (kerajaan). Di negara republik yang menganut demokrasi pun dinasti mencuat, tapi selalu memantik syak wasangka. Di ujung kekuasaannya, Soeharto–yang dalam sejumlah studi dianggap menempatkan diri sebagai “Raja Jawa”–pernah memberikan kursi Menteri Sosial kepada putrinya, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) sebagai menteri sosial. Keputusan Soeharto itu meneguhkan cap negatif bin buruk terhadap Orde Baru yang identik dengan KKN–korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam kasus Mbak Tutut, Soeharto adalah aktor aktif yang berperan dalam menunjuk perempuan kader Golkar itu masuk kabinet. Dalam kasus Kaesang menjadi ketua umum PSI serta Gibran menjadi cawapres Prabowo, Presiden Jokowi justru “ketiban getah” atau membiarkan ini terjadi?
“Jokowi adalah kita”. Begitu jargon yang bergema di Pemilu 2014 silam. Jargon itu menjelaskan bahwa Jokowi itu adalah warga negara seperti kebanyakan pemilihnya. Dia dianggap serupa dengan warga biasa–bukan elite Menteng seperti kebanyakan tokoh nasional Indonesia sejak Sukarno hingga Soeharto.
Dalam pandangan serupa, Jokowi diharapkan tidak berpikir untuk membangun dinasti keluarganya. Dinasti politik itu legal, tapi karena mudharat yang kerap ditimbulkannya, jauh lebih baik jika dihindari. Tapi, sekarang, apakah harapan ini terlalu muluk?
Saya kira iya. Tak ada tetanda dari Presiden Jokowi untuk mencegah putra dan menantunya keluar dari belitan politik dinasti yang terbukti membawa mudharat bagi demokrasi di negeri kita. [Inilah.com]
*Aktif di Koperasi IDE. Pemerhati demokrasi. Mantan Produser Eksekutif Beritasatu TV. Pernah menulis di Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Detik, dll.