“Wahai Abu Jahal yang hina! Beraninya engkau mencaci maki keponakanku, padahal aku sudah memeluk agamanya,” kata Hamzah, tidak peduli dengan kerumunan orang-orang yang menghadangnya. Hamzah langsung memukuli Abu Jahal dengan busur panah hingga babak belur.
JERNIH—Berbahagialah mereka yang meninggal sebagai syuhada. Ia akan bertemu Nabi SAW dan berkenalan langsung dengan paman Nabi, Hamzah.
Hamzah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf adalah salah seorang paman dan saudara sepersusuan Nabi. Beliau memeluk Islam pada tahun kedua kenabian. Ikut Hijrah bersama Rasulullah SAW, bersama berjuang dalam perang Badar, dan meninggal pada saat perang Uhud. Nabi menjuluki pamannya itu dengan “Asadullah” (Singa Allah) dan “Sayidus Syuhada” pemimpin para syuhada.
Ibnu Atsir dalam kitab “Usud al Ghabah” menulis, dalam perang Uhud, Hamzah berhasil membunuh 31 orang kafir Quraisy. Sampai pada suatu saat beliau tergelincir sehingga ia terjatuh kebelakang dan tersingkaplah baju besinya. Pada saat itu ia langsung ditombak Wahsyi. Hindun, ibu Muawiyah dan istri Abu Sofyan, orang yang memerintahkan Wahsyi, segera merobek perutnya. Hati Hamzah dikeluarkan Hindun dan dikunyahnya dengan keji. Hindun tak mampu menelannya, dan segera memuntahkan kembali hati Hamzah yang telah dikunyahnya itu.
Ketika Rasulullah melihat keadaan tubuh pamanny, Hamzah, beliau sangat marah. Allah pun menurunkan firmannya ,” Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS An Nahl 126)
Diriwayatkan pula Ibnu Ishaq ddalam kitab,”Sirah Ibnu Ishaq”. Abdurahman bin Auf berkata bahwa Ummayyah bin Khalaf berkata kepadanya,“Siapakah salah seorang pasukan kalian yang dadanya dihias dengan bulu bulu itu?” Aku menjawab “Dia adalah Hamzah bin Abdul Muthalib”. Lalu Umayyah berkata,”Dialah yang membuat kekalahan kepada kami.”
Abdurahman bin Auf menyebutkan bahwa ketika perang Badar, Hamzah berperang di samping Rasulullah dengan memegang dua bilah pedang. Diriwayatkan dari Jabir bahwa ketika Rasulullah SAW melihat Hamzah terbunuh, beliau menangis.
**
Menurut Syekh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury dalam “Sirah Nabawiyah”, Hamzah mendapat hidayah masuk Islam justru saat situasi Makkah tengah memanas. Ketika itu, Nabi Muhammad dan kaum Muslimin pada umumnya mendapat teror dan perlakuan buruk dari kaum musyrik Quraisy. Saat itu Hamzah melihat Nabi SAW sedang dianiaya Abu Jahal, pamannya yang lain. Ketika itu, Nabi SAW tidak berdaya dan diam seribu bahasa.
Setelah memukuli Nabi SAW, Abu Jahal pulang dan menuju sudut Kakbah untuk bertemu dengan orang-orang Quraisy. Hamzah dengan menahan amarahnya kemudian datang ke kerumunan orang-orang tersebut untuk menemui Abu Jahal.
“Wahai Abu Jahal yang hina! Beraninya engkau mencaci maki keponakanku, padahal aku sudah memeluk agamanya,” kata Hamzah, tidak peduli dengan kerumunan orang-orang yang menghadangnya. Hamzah langsung memukuli Abu Jahal dengan busur panah hingga babak belur.
Kaum Bani Makhzum (suku Abu Jahal) dan Bani Hasyim (suku Hamzah) hampir saja terlibat tawuran massal akibat kejadian tersebut. Sadar akan bahayanya, Abu Jahal melarang mereka dan mengakui kesalahannya. “Biarkanlah Abu Imarah (julukan Hamzah), karena aku memang telah mencaci maki keponakannya dengan cacian yang teramat buruk.”
Kehebatan Hamzah sudah diakui oleh kaum musyrik Quraisy. Berkat masuknya Hamzah itulah gangguan yang biasanya diterima Nabi Muhammad mulai berkurang.
Kecintaan Hamzah terhadap Islam tidak bisa dianggap sepele. Ia turut berjuang ketika perang Uhud meski akhirnya ia gugur dalam peperangan tersebut. Rasulullah saw bersabda, “Penghulu para syuhada pada hari kiamat nanti adalah Hamzah bin Abdul Muthalib.” (HR. Al-Hakim)
**
Karomah adalah satu keistimewaan yang diberikan Allah Ta’ala kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Hamzah disebut-sebut memiliki banyak karomah.
Dalam buku “Kisah Karomah Wali Allah” yang ditulis Syeikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani, Ibnu Abbas RA menceritakan bahwa Hamzah wafat dalam keadaan junub (belum suci dari hadas besar). Lalu Rasulullah SAW berkata:,”Malaikat telah memandikannya.” (HR Al-Hakim).
Hasan RA menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullah SAW berkata: “Aku benar-benar melihat malaikat sedang memandikan Hamzah.” (HR Ibnu Sa’ad).
Fatimah al-Khaza’iyyah bercerita, “Aku menziarahi makam Hamzah, lalu aku mengu-capkan “Assalamu ‘alaika, wahai paman Rasulullah.” Aku mendengar jawaban “Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah.” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Al-Waqidi)
Syeikh Ahmad bin Muhammad al-Dimyathi yang terkenal dengan sebutan Ibnu ‘Abdul Ghani al-Bina, seorang ulama yang memadukan antara syariah dan tasawuf (wafat di Madinah pada bulan Muharram 116 H), bercerita, “Aku menunaikan ibadah haji bersama ibuku pada masa paceklik. Kami menunggang dua ekor unta yang dibeli di Mesir. Sesudah menunaikan haji, kami pergi ke Madinah, dan kedua unta itu mati di sana, padahal kami sudah tidak punya uang untuk membeli atau menyewa unta dari orang lain.”
“Hal itu membuatku risau, dan karena itu aku pergi menemui Syeikh Shafiyyuddin al-Qusyasyi. Aku menceritakan keadaanku dan berkata, Aku beriktikaf di Madinah, tetapi kemudian aku mengalami kesulitan untuk melanjutkan perjalanan, sampai Allah memberi kelapangan.”
Syeikh Shafiyuddin diam sejenak, lalu berkata: “Pergilah sekarang juga ke makam Sayyidina Hamzah, paman Nabi Muhammad SAW. Bacalah ayat-ayat Al-Qur’an yang paling mudah dan ceritakan keadaanmu dari awal hingga akhir, seperti yang baru kau ceritakan kepadaku, lakukan itu sambil berdiri di sisi makamnya yang mulia.”
“Aku ikuti anjuran Syeikh Shafiyyuddin. Aku datang pada waktu dhuha ke makam Sayyidina Hamzah. Aku membaca ayat-ayat Al-Qur’an, lalu menceritakan keadaanku seperti yang diperintahkan Syeikh Shafiyuddin. Aku segera kembali sebelum zuhur, lalu memasuki tempat suci Babu Rahmah. Aku berwudhu, lalu masuk ke dalam masjid. Tiba-tiba ibuku yang berada di dalam masjid berkata kepadaku, “Ada seorang laki-laki menanyakanmu, temuilah dia!” Aku bertanya, “Di mana dia?” Ibu menjawab: “Lihatlah di ujung masjid.”
Aku menemui laki-laki yang mencariku. Sewaktu bertemu, ternyata ia seorang laki-laki berjenggot putih yang tampak disegani. Laki-laki itu menyapa, “Selamat datang Syeikh Ahmad.” Aku sambut uluran tangannya, lalu ia berkata lagi, “Pergilah ke Mesir!” Lalu kujawab: “Tuan, dengan siapa aku pergi?” Ia menjawab: “Pergilah bersamaku, aku akan menyewa unta untukmu kepada seseorang.”
“Aku pergi bersamanya hingga kami sampai di tempat singgah unta-unta jamaah haji asal Mesir di Madinah. Laki-laki berjenggot itu memasuki tenda salah seorang penduduk Mesir dan aku menyusul di belakangnya. Ia menghaturkan salam kepada penghuni tenda, pemilik tenda berdiri dan mencium kedua tangannya dengan sikap sangat hormat. Laki-laki berjenggot itu berkata kepada pemilik tenda,” Aku ingin Anda membawa Syeikh Ahmad ini dan ibunya ke Mesir.”
“Pada tahun itu unta sangat berharga karena banyak yang mati, dan menyewa unta cukup sulit. Pemilik tenda mengikuti kemauan laki-laki berjenggot itu. Lelaki berjenggot itu bertanya,”Berapa Anda akan menarik ongkosnya?” Pemilik tenda itu menjawab, “Terserah Tuan.”
“Lelaki berjenggot berkata, “Sekian, sekian.” Mereka berijab kabul dan lelaki berjenggot membayar uang sewa. Laki-laki berjenggot itu lalu berkata kepadaku, “Bangkitlah, pergilah bersama ibumu, dan bawa serta barang-barangmu.”
“Kemudian aku berdiri, sementara ia duduk di samping pemilik unta, kemudian mendatangi keduanya dan mengadakan perjanjian untuk membayar sisa uang sewa setelah sampai di Mesir. Ia menyetujui perjanjian itu, membaca surah Al-Fatihah, dan memujiku.”
“Aku berdiri di samping lelaki berjenggot putih itu lalu pergi bersamanya. Ketika sampai di masjid, ia berkata, “Masuklah dulu!’ Aku masuk dan menunggunya ketika waktu shalat tiba, tetapi aku tidak melihatnya. Berulang kali aku mencarinya, tetapi tidak menemukannya.”
Lantas aku menemui orang yang menyewakan unta untukku dan bertanya tentang lelaki berjenggot putih itu dan tempat tinggalnya. Ia menjawab, “Aku tidak mengenalnya dan belum pernah melihatnya sebelum ini. Tetapi ketika ia masuk ke tempatku, aku merasa segan dan hormat kepadanya, sesuatu yang belum pernah kurasakan seumur hidup.”
Aku kembali mencari lelaki berjenggot putih itu, tetapi tidak menemukannya. Maka aku pergi menemui Syeikh Shafiyyuddin Ahmad al-Qisyasyi RA dan menceritakan hal tersebut. Syeikh Shafiyuddin berkata, “Itu ruh Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthallib RA yang mewujud padamu.”
Kisah itu dikutip oleh Sayyid Ja’far bin Hasan al-Barzanji al-Madani dalam kitab beliau “Jaliyat al-Kurab bi Ashhab al-Ajam wa al-Arabi sallallahu ‘alaihi wasallama”, sebuah kitab tentang memohon pertolongan melalui para sahabat yang mengikuti perang Badar dan Uhud, dari Al-Hamwi dalam kitabnya “Nataij al-Irtihal wa al-Safar fi Akhbari ithli al-Qarni al-Hadi Asyara.”
Kuda yang berputar-putar
Kisah lain diceritakan oleh Syekh Abdul Lathif al-Tamtami al-Malaki al-Madani berikut ini. “Syeikh Sa’id bin Qutb al-Rabbani al-Mala Ibrahim al-Kurdi pergi untuk menziarahi pemimpin para syahid, Sayyidina Hamzah . Sebelum melakukan ziarah kami bersepakat waktu ke makam para syahid lain di Madinah pada tanggal 12 Rajab. Ia mempercepat perjalanannya ke makam Sayyidina Hamzah agar bisa ikut berziarah bersama kami.”
“Pada tanggal 12 Rajab, kami pergi ziarah bersama Syeikh Sa’id bin Qutb yang masih setengah mengantuk. Lalu kami istirahat di sebuah bangku bersandaran. Ketika gelap telah menyelimuti malam, teman-temanku tidur dan aku berjaga-jaga. Tiba-tiba aku melihat seekor kuda mengelilingi tempat yang sedang kami pakai beberapa kali, tetapi aku malas bangun untuk mengusirnya.”
Dalam hatiku berkata: “Sampai kapan ia berputar-putar?” Aku bangkit lalu berjalan ke arahnya dan bertanya: “Siapakah engkau?” Kuda itu menjawab: “Sedang apa kamu? Kamu singgah di wilayah perlindunganku dan menyakitiku karena kamu tidak tidur untuk berjaga-jaga, padahal aku selalu menjaga kalian semua? Aku Hamzah bin Abdul Muthalib.” Kuda itu kemudian menghilang. [ ]