Aneh jadinya kalau yang memberikan petunjuk dan menginginkan kita menjadi lebih baik adalah Allah, tetapi kita malah memperbaiki diri untuk selain Dia.
KH Abdullah Gymnastiar
KALAU saja mau jujur kepada diri sendiri, petunjuk Allah Taala untuk kita sangatlah melimpah. Kalau kita mau menyadari dan lebih teliti, ada berbagai macam kejadian yang akan menggiring kita untuk menemukan hidayah. ini karena tidak ada kejadian yang kebetulan dan tanpa hikmah.
Allah Maha Dekat dan Maha Tahu setiap kesalahan dan kelemahan kita. Allah Maha Baik dan tidak ada yang lebih menginginkan kita menjadi lebih baik, selain Dia. Jika saja Allah murka dan langsung membalas maksiat yang kita lakukan dengan azab, sejak dulu kita sudah remuk tidak tersisa.
Namun, Allah Ta’ala senantiasa menolong kita siang malam dan terus memberikan kesempatan agar kita bisa memperbaiki diri. Dia memberi kita berbagai ujian, baik terasa atau tidak, enak atau tidak enak, agar kisah sadar dan mau kembali kepada-Nya. Contohnya terjepit pintu, terkunci, terpeleset, gelas tersenggol dan tumpah, serta barang-barang kecil lainnya yang tanpa sengaja terjatuh atau rusak. Semua penuh makna dan apabila kita mau mentafakurinya. Hal-hal yang biasanya kita anggap kecil itu, sebetulnya tidak kalah berarti di bandung hal yang besar, semisal suatu hal yang membuat kita sampai harus dioperasi dan di opname.
Saudaraku, kejadian demi kejadian, walaupun dirasa kecil, seharusnya membuat kita segera mengevaluasi diri dan bertobat. Kita bertobat kepada Allah agar Dia berkenan meridhoi kita. Kalau kita tidak sadar akan adanya petunjuk Allah, kejadian yang dialami hanya akan membuat sengsara. Walau mungkin setelah mengalami sebuah kejadian, kita berupaya memperbaiki diri, akan tetapi kalau upaya kita bukan karena Allah, kita tetap saja sengsara.
Aneh jadinya kalau yang memberikan petunjuk dan menginginkan kita menjadi lebih baik adalah Allah, tetapi kita malah memperbaiki diri untuk selain Dia. Misalnya kita terjepit pintu, dan malah berkata, “Ampun pintu, saya berjanji lain kali akan berhati-hati.”
Atas, misalkan kita terkena kotoran cicak. Lalu kita sampaikan. “Maaf cicak, malam ini akan saya hidupkan lampu di dalam rumah, pintu dan jendela saya biarkan terbuka, dan obat nyamuk daya matikan. Makanlah dengan kenyang.”Sampai pagi kita jadi sulit tidur karena dikerumuni nyamuk.
Kurang lebih begitu jika petunjuk Allah datang lewat perantara seseorang. Misalkan kita disapa, “Kang, katanya mau tobat. Tapi sudah dua bulan kok tidak ada perubahan.” Jika kita tidak sadar, saat bertemu dia lagi kita sengaja membaca istighfar tiga kali. Berharap dia berkata “Alhamdulilah, sekarang akan sudah tobat betlan.” Tanpa sadar kita jadi ujub lagi dan dosa pun bertambah.
Sebenarnya kita menginginkan hidup ini seperti apa? Apakah kita mau diterima oleh Allah atau hanya mau berakting di depan orang. Kalau mau hidup kita diterima Allah, lalu mengapa kita malah memohon ampun kepada cicak dan pintu, atau memperbaiki diri karena seseorang?
Walau kita merasakan perih saat terjepit pintu dan jengkel terhadap cicak yang menempelkan kotorannya pada jemuran yang baru diangkat, namun tetap tahan rasa tidak enak itu. Tidak perlu berbalik memaki cicak maupun menendang pintu. Lebih baik bagi kita untuk segera mengingat Allah. Periksa dosa-dosa kita, lalu segera bertobat.
Sekalipun kita belum bisa menerima nasihat dari seseorang, mungkin dikarenakan kata-katanya kasar atau yang disebutnya tidak sepenuhnya benar, tetapi tetaplah dengarkan dan jangan menyebut alasan atau berbalik menyalahkan. Seperti, “Ah! Dia ngomong begitu, dia saja belum benar.” Sebaik-baik alasan saat itu bukanlah jawaban. Sebaik-baik jawaban adalah memperbaiki diri dengan tulus.
Perbaiki diri karena Allah Ta’ala. Bukan karena ingin dinilai orang, pintu dan cicak, takut terpeleset atau gelas tumpah lagi, ataupun karena mahalnya biaya rumah sakit. Kita tidak perlu sibuk memikirkan semuanya itu. Hal terpenting adalah kita tahu kekurangan dan kesalahan kita untuk diperbaiki sehingga hati kita menjadi bersih. Urusan kita adalah bagaimana caranya agar Allah Ta’ala meridhoi kita.
Kalau begitu, apakah berarti kita egois, karena misalkan hanya memperbaiki diri sendir? Kalau kita sibuk memperbaiki orang lain, tanpa memperbaiki diri sendiri, lalu apa yang bisa dicontoh orang dari kita? Bagaimana Allah mengizinkan? Allah yang memberi hidayah. Dia tahu kalau ajakan kira sebetulnya cicik untuk diri kita sendiri.
Saat kita memperbaiki diri, saat itu juga kita bermanfaat bagi orang lain. Tidak memaki cicak, tidak berteriak lebay ketika terjepit pintu, tidak sibuk menyalahkan orang dan sikap tawadhu kita saat dihina atau dipermalukan, itu pun sudah menjadi pelajaran bagi orang yang ada di sekitar kita.
Ingatlah doa Nabi Adam AS dan Hawa saat mereka diturunkan ke dunia, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberikan rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Araf 7 :23)
Dalam doanya, keduanya tidak menunjuk siapa yang salah, kecuali diri mereka sendiri. Bahkan, mereka tidak menyebut dan menyalahkan setan atau iblis, yang memang telah mebisiki agar mendekati pohon yang telah dilarang oleh Allah Taala. Doa Nabi Adam AS tersebut sesungguhnya mengandung pelajajaran yang teramat berharga bagi kita, anak keturunannya.
* Sumber: Buku Ikhtiar Meraih Ridha Allah jilid 1 karya Aa Gym