“Diamlah!” kata Abu Yazid, menyela. “Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya, apakah peduliku? Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.”
JERNIH–Salah seorang teman wali sufi Yahya bin Mu’adz adalah Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami. Ia lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M.
Beliau adalah salah seorang Sulton Aulia, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada di silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah, Thoriqoh Suhrowardiyah dan beberapa thoriqoh lain.
Akan tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb: “…bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiah.”
Yahya bin Mu’adz-salah seorang tokoh sufi, aulia, waliyullah zaman itu, menulis surat kepada Abu Yazid. “Apakah katamu mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada henti-hentinya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Abu Yazid. “Yang kuketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga”.
Yahya bin Mu’adz menyurati lagi. “Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu”.
Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan, “Syaikh harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zam-zam”.
Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya itu. “Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingatNya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan pohon Tuba, tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang telah mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan”.
Maka Yahya bin Mu’adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu salat Isya’. Yahya berkisah sebagai berikut:
“Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya ditempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang salat Isya’. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini.
Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berkata di dalam do’anya. “Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini”.
Setelah sadar, Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab,”Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satu pun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutaan mata”.
“Guru, mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja di antara raja yang pernah berkata, “Mintalah kepadaKu segala sesuatu yang engkau kehendaki?” Yahya bertanya.
“Diamlah!” kata Abu Yazid, menyela. “Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenal-Nya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuan-Nya, apakah peduliku? Sesungguhnya seperti itulah kehendak-Nya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diri-Nya.”
“Demi keagungan Allah,” Yahya bermohon. “Berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi.”
“Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu,” jawab Bayazid.
“Tetaplah merenungi Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal, maka hal itulah yang akan membutakan matamu.” [ ]
Sumber : Tadzkiratul Auliya—Fariduddin Aththar