Site icon Jernih.co

Setetes Embun: Datang di Saat Sulit

Kadang-kadang KEPAHITAN HIDUP DIBUTUHKAN agar Tuhan menunjukkan Diri-Nya kepada kita bahwa Dia selalu bersama kita.

Penulis: by P. Kimy Ndelo CSsR

JERNIH-Karl Barth, adalah seorang teolog terkenal dari Swiss pada abad ini. Suatu hari Karl Barth sedang mengendarai trem di kota asalnya Basel, Swiss. Dia duduk di sebelah seorang turis, dan kedua pria itu mulai mengobrol satu sama lain. “Apakah kamu baru di kota ini?” tanya Barth. “Ya,” kata turis itu. “Apakah ada sesuatu yang sangat ingin kamu lihat di kota ini?” tanya Barth. “Ya,” jawab turis itu, “Saya ingin bertemu dengan teolog terkenal Swiss, Karl Barth; Apakah kamu kenal dia?” Barth menjawab, “Sebenarnya, saya mengenalnya. Saya mencukurnya setiap pagi!”

Turis itu turun dari trem di halte berikutnya, sudah puas dan bangga dengan pengalaman pgi ini. Dia kembali ke hotelnya dan memberi tahu semua orang, “Saya bertemu tukang cukur Karl Barth hari ini!”

Kisah Emaus dalam injil Lukas (24,12-35) adalah sebuah dramatisasi teologis yang indah dari salah satu perjumpaan para murid dengan Tuhan mereka yang telah bangkit selama hari-hari penuh keajaiban setelah penemuan kubur kosong (Mrk 16:12-13).

Ini adalah kisah tentang bagaimana pada hari Minggu Paskah dua murid Yesus, putus asa dan tanpa harapan, berangkat dari Yerusalem ke Emaus — jaraknya sekitar tujuh mil — dan disusul oleh orang asing yang melewati jalan yang sama.

Mereka mulai berbicara kepadanya tentang semua yang telah terjadi di Kota Suci selama seminggu sebelumnya. Kemungkinan besar, Kleopas dan rekannya adalah suami istri, penduduk Emaus dan murid Yesus yang telah menyaksikan penyaliban dan penguburan-Nya.

Kisah tentang Karl Barth ini bagai menegaskan bahwa kita, seperti para murid yang sedang dalam perjalanan ke Emaus, sering kali gagal mengenali Yesus ketika Dia ada di antara kita.

Pengalaman kedua murid ke Emaus mewakili pengalaman para murid yang lain. Kleophas dan Maria istrinya adalah dua murid yang sangat dekat dengan Yesus. Rasa kehilangan, kesendirian, kebingungan, bahkan keputusasaan melanda mereka. Yesus yang menjadi satu-satunya harapan mereka, yang memberi mereka semangat hidup, yang menjanjikan masa depan berbeda untuk mereka, kini tiada lagi. Kematian tragis merenggutnya. 

Mereka ingin lari dari kenyataan pahit yang baru saja menghantam mereka. Mereka ingin segera melupakan pengalaman tragis yang baru saja terjadi dan mungkin berharap semua itu sekedar mimpi. Mereka berlari dalam luka dan kepedihan sambil berharap kenangan pahit ini segera hilang dibawa angin.

Tiba-tiba ada berita bahwa Yesus telah bangkit. Bukannya percaya dan bergembira. Mereka semakin bingung. Berita kebangkitan-Nya pun tak mengubah perasaan dan suasana hidup mereka. Mereka tetap pulang ke kampung halaman, menjauh dari Yerusalem, menjauh dari tragedi.

Pada titik itulah Yesus datang dan menyapa mereka. Yesus berjalan bersama mereka. Yesus sekali lagi mengajar mereka dan akhirnya menunjukkan siapa diri-Nya pada saat mereka makan bersama. Yesus sungguh bangkit dan hidup serta tak pernah meninggalkan mereka sendirian. “You will never walk alone”, begitu kira-kira maksud Yesus.

Tuhan yang bangkit menemui kita di jalan menuju Emaus kita, baik dalam pengalaman biasa hidup kita, maupun di tempat kita menjauh atau menghindar ketika hidup terasa begitu berat bagi kita.

Kita memiliki harapan dan impian tentang kesehatan yang lebih baik, penyembuhan, keamanan finansial, dan hubungan keluarga yang harmonis. Harapan dan impian ini seringkali bisa hancur.

Kisah Emaus ini menjadi janji bagi kita, bahwa Yesus akan datang kepada kita dalam penyamaran yang tidak biasa untuk mendukung dan menguatkan kita bahkan ketika kita tidak mengharapkan Dia, Tuhan kita yang telah bangkit.

Setiap orang bisa mempunyai saat Emaus yakni ketika berjumpa dengan Kristus yang bangkit datang dalam perjalanan hidup kita melewati masa-masa sulit.

Kadang-kadang KEPAHITAN HIDUP DIBUTUHKAN agar Tuhan menunjukkan Diri-Nya kepada kita bahwa Dia selalu bersama kita.

(SETETES EMBUN, by P. Kimy Ndelo CSsR; ditulis di Villa Misi Redemptoris Laipori, Sumba Timur).

Exit mobile version