“Wahai penduduk Nishapur,” Yahya bin Mu’adz berseru, “Aku datang kemari karena disuruh Nabi Muhammad saw. Ia katakan kepadaku. “Seseorang akan melunasi utang-hutangmu. Sesungguhnya aku punya utang sebanyak seratus ribu dirham. Ketahuilah bahwa kata-kataku selalu mengandung keindahan, tetapi utang ini telah menutupi keindahan tersebut.”
JERNIH– Abu Zakariya Yahya bin Mu’adz ar-Razi, lahir tahun 830 Masehi, di Rayy, Iran, sebuah kota tua yang saat ini masuk Provinsi Teheran.
Rayy, pernah menjadi ibukota dari Kesultanan Seljuk. Kota ini ditundukkan kaum Muslimin di bawah pimpinan Amr bin Zaid al-Khalil ath-Thai, tepatnya pada tahun 20 Hijriah (640/641 Masehi), di masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab RA.
Pada usia remaja Yahya meninggalkan Rayy, berkelana ke Balkh, Afghanistan. Sampai saatnya dia balik ke negerinya, tapi tidak kembali ke Rayy, dia memilih menetap di Nishapur, Iran. Sampai dia meninggal di sana pada tahun 871 Masehi. Meninggal dalam usia yang relatif muda, 41 tahun.
Yahya bin Mu’adz ar-Razi mendapat julukan sebagai “lautan kebenaran”, “pembimbing ulama”, dan “penjelajah jalan menuju Tuhan”. Tidak jelas mengapa dia mendapat banyak julukan demikian. Tapi sejatinya, Yahya bin Mu’adz disebut sebagai sufi pertama yang menyatakan secara langsung kecintaannya kepada Allah, dan itu disampaikannya dalam syairnya. Sejumlah syair-syair diperkirakan sebagai hasil karyanya.
Yahya bin Mu’adz dan utangnya
Yahya bin Mu’adz meminjam uang sebesar seratus ribu dirham kepada seseorang. Kemudian membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berperang di jalan Allah. Orang-orang yang berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, orang-orang miskin, yang menuntut ilmu dan juga kepada para sufi. Tidak lama kemudian, orang-orang yang meminjamkan uang tersebut menagihnya sehingga Yahya bin Mu’adz menjadi sangat gundah.
Suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpi itu Nabi Muhammad saw berkata kepadanya, “Yahya, janganlah engkau berduka cita, karena aku pun turut bersedih menyaksikan kegundahanmu itu. Bangunlah dan pergilah menuju Khurasan. Engkau akan menjumpai seorang perempuan yang telah menyisihkan tiga ratus ribu dirham untuk melunaskan utang-utangmu yang sebanyak seratu ribu dirham itu.”
“Ya Rasulullah,” seru Yahya bin Mu’adz. Di kota manakah dan siapakah perempuan itu?”
“Berjalanlah dari satu kota ke kota lain dan berkhotbahlah,” jawab Nabi. “Kata-kata-mu akan mendatangkan kesembuhan jiwa bagi ummat manusia. Seperti halnya aku menemuimu di dalam mimpi, maka akupun hendak menemui perempuan itu di dalam mimpi pula.”
Maka berangkatlah Yahya bin Mu’adz menuju Nishapur. Di depan kubah Masjid Nishapur dibangunlah mimbar sebagai tempat Yahya bin Mu’adz berkhotbah. “Wahai penduduk Nishapur,” Yahya bin Mu’adz berseru, “Aku datang kemari karena disuruh Nabi Muhammad saw. Ia katakan kepadaku. “Seseorang akan melunasi utang-hutangmu. Sesungguhnya aku punya utang sebanyak seratus ribu dirham. Ketahuilah bahwa kata-kataku selalu mengandung keindahan, tetapi utang ini telah menutupi keindahan tersebut.”
“Akan kusumbangkan uang sebesar lima puluh ribu dirham,”salah seorang hadirin menawarkan bantuan.
“Akan kusumbangkan uang sebesar empat puluh ribu dirham,” yang lainnya menawarkan pula.
Tetapi Yahya bin Mu’adz menolak sumbangan-sumbangan ini dengan dalih “Nabi Muhammad saw, hanya mengatakan satu orang.”
Yahya kemudian memulai khotbahnya. Di hari pertama tujuh mayat terpaksa di usung keluar dari khalayak ramai yang mendengarkan. Kemudian setelah menyadari bahwa utanngya tidak akan terlunasi di kota Nishapur, ia pun meneruskan perjalanan ke kota Balkh. Di kota ini orang-orang menahan dirinya dan diminta agar ia mau memberikan khotbah.
Untuk itu ia mendapatkan sumbangan sebesar seratus ribu dirham. Tetapi seorang syeikh di kota itu tidak senang kepada khotbah-khotbahnya karena mengira bahwa Yahya bin Mu’adz pecinta kekayaan.
Si syeikh berkata, “Semoga Allah tidak memberkahinya!.”
Ketika meninggalkan kota Balkh perampok-perampok menghadang Yahya bin Mu’adz dan merampas semua uang yang dibawanya.
“Itulah akibat dari doa si syeikh,” Orang-orang yang mendengar peristiwa perampokan itu berkata sesama mereka.
Yahya bin Mu’adz meneruskan perjalanannya ke Hirat, beberapa orang meriwayatkan, dengan melalui Merv. Dalam hotbahnya di kota Hirat ini pun ia mengisahkan mimpinya itu, Puteri pangeran Hirat kebetulan mendengarkan dan mengirim pesan kepadanya.
“Wahai imam, janganlah engkau berkeluh kesah lagi karena utangmu. Pada malam itu Nabi berbicara kepadamu di dalam mimpi itu, ia telah berbicara pula kepadaku. Aku berkata kepadanya “Ya Rasulullah, aku akan pergi mencarinya. “Tidak usah, dia akan datang kemari mencarimu, jawab Nabi. Sejak malam itu aku menanti-nantikanmu. Jika gadis lain hanya memperoleh tembaga dan kuningan, maka ketika ayah menikahkan aku, aku memperoleh emas dan perak. Barang-barang perakku berharga tiga ratus ribu dirham. Semuanya akan kuserahkan kepadamu dengan syarat bahwa engkau harus berkhotbah di kota ini empat hari lagi.”
Yahya bin Mu’adz menyanggupi untuk memperpanjang khotbahnya selama empat hari lagi. Pada hari pertama, sepuluh mayat harus disingkirkan. Hari kedua, dua puluh lima mayat, pada hari ketiga ada empat puluh mayat, dan di hari yang keempat, tujuh puluh mayat.
Pada hari yang kelima Yahya bin Mu’adz meninggalkan kota Hirat dengan membawa barang-barang perak sepenanggungan tujuh ekor unta. Ketika sampai di Balham, puteranya yang menemaninya membawa barang-barang itu berkata di dalam hatinya.
“Apabila sampai di kota, semoga ayah tidak menyerahkan semua barang-barang ini dengan begitu saja kepada orang-orang tempat dia berutang dan kepada orang-orang miskin tanpa sedikit pun menyisihkan untuk diriku.”
Di waktu shubuh ketika Yahya bin Mu’adz menghadap Allah dengan menyentuhkan dahinya ke tanah, tanpa diduga-duga sebuah batu jatuh menimpa kepalanya.
“Berikan uang kepada orang-orang yang berpiutang kepadaku”, sebutnya, dan kemudian ia menemui ajalnya.
Orang-orang yang mengikuti jalan Allah mengusung jenazah Yahya bin Mu’adz di bahu mereka dan membawanya ke Nishapur untuk dikuburkan di sana.
Yahya bin Mu’adz dan
Yahya bin Mu’adz mempunyai seorang saudara yang pergi ke Mekkah dan kemudian bertempat tinggal di dekat Ka’bah. Saudaranya itu mengirim surat kepada Yahya.
“Ada tiga hal yang kucita-citakan. Dua di antaranya telah terlaksana. Tinggal satu yang belum tercapai. Doakanlah kepada Allah semoga Dia berkenan menyempurnakan keinginanku yang terakhir ini.”
“Keinginanku yang pertama adalah melewatkan hari-hari tuaku di suatu tempat yang paling suci di atas dunia ini dan segala tempat. Keinginanku yang kedua adalah memiliki seorang hamba untuk merawat diriku dan menyediakan air untuk bersuci dan kini Allah telah menganugerahkan seorang hamba perempuan yang baik budinya.”
“Keinginanku yang ketiga adalah untuk bertemu denganmu sebelum ajalku. Doakanlah kepada Allah, semoga Dia mengabulkan keinginanku ini.”
Yahya bin Mu’adz menjawab surat saudaranya itu:
“Berkenaan dengan isi suratmu bahwa engkau menginginkan tempat terbaik di atas dunia, hendaklah engkau menjadi yang terbaik di antara semua manusia dan setelah itu tinggalah di sembarang tempat yang engkau kehendaki. Suatu tempat menjadi mulia karena orang-orang yang menempatinya, bukan sebaliknya.”
“Mengenai keinginanmu akan seorang hamba yang pada saat ini telah engkau dapatkan, jika engkau adalah seorang manusia yang benar dan berbakti, niscaya engkau tidak mengambil hamba Allah menjadi hambamu sendiri, karena menghalangi dirinya untuk mengabdi kepada Allah dan membuatnya sibuk untuk mengabdi kepadamu. Engkau sendirilah yang harus menjadi hamba.”
“Engkau ingin menjadi seorang yang dipertuan padahal yang patut dipertuan hanyalah Allah. Menghambakan diri adalah kewajiban manusia. Seorang hamba Allah haruslah menjadi seorang hamba. Jika seorang hamba Allah menghasratkan kedudukan yang hanya pantas dimiliki Allah, maka ia tak ubahnya seperti Fir’aun.”
“Terakhir sekali, tentang keinginanmu bertemu denganku, sesungguhnya jika engkau benar-benar memikirkan Allah, niscaya kau takkan teringat kepadaku. Karena itu, mengabdilah kepada Allah sehingga sedikit pun tiada ingatan kepada saudaramu di dalam pikiranmu. Dalam pengabdian itu kita harus rela untuk mengorbankan putera sendiri; apalagi seorang saudara! Jika engkau telah menemukan Dia, apakah faedah yang dapat kau petik dari perjumpaan kita?”
Syair-syair Yahya bin Mu’adz
Yahya bin Mu’adz disebut sebagai sufi pertama yang menyatakan secara langsung kecintaannya kepada Allah, dan itu disampaikannya dalam syairnya. Sejumlah syair-syair diperkirakan sebagai hasil karyanya.
Tuhanku Maha Pengasih, ampunkan dosa-dosaku,
meski perbuatan dosa membuatku takut akan keadilan-Mu,
tetapi kebesaran kasih sayang-Mu
membuatku berharap dalam Engkau.
Tuhan, aku tak layak dapat Surga
atas perbuatan-perbuatan nista,
tapi aku tak tahan dengan api Neraka.
Kupasrahkan diri ini pada kemuliaan-Mu.
Jika pada Hari Kebangkitan, kuditanya:
“Apa yang kau bawa untuk-Ku?”
Aku pasti menjawab: “Apa yang bisa dikatakan
seseorang dari penjara, dengan rambut berjuntai
dan pakaian yang buruk, terbebani kecintaan duniawi
dan penuh rasa malu, yang dibawa ke hadapan-Mu?
Basuhlah aku dari dosa-dosa, dan
dalam pengampunan-Mu, jangan tampik aku
dari hadapan-Mu.” [Dinukil dari “Readings from the Mystics of Islam”, Margaret Smith]
Beberapa kutipan perkataan Yahya bin Mu’adz
Yahya bin Mu’adz ar-Razi, dikenal sebagai orang arif, ahli hikmah dan pemberi nasihat di zamannya. Tidak ditemukan kitab buah penanya, tapi ujaran-ujaran kebaikan darinya dikutip banyak penulis yang datang belakangan.
Ujaran-ujaran dan syair-syair yang disampaikannya, meski bercorak sufistik, bisa diterima kalangan fuqaha. Tampaknya, Yahya bin Mu’adz bagai jembatan dari dua perspektif, tasawuf dan fiqih, yang sulit disatukan.
Inilah sebagian kutipan pernyataan Yahya, yang khas bercorak nasihat bijak dengan susunan kalimat mudah dipahami. Bisa jadi inilah kekuatan dari quotes-nya.
Beberapa orang berilmu, seperti Fariduddin Aththar, Ibnul-Jauzi, Abu Nu’aim al-Ashbahani, Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Abdul-Malik al-Qasim, dan banyak lainnya, yang mengutip ujaran-ujaran kebaikan dari Yahya bin Mu’adz ar-Razi.
“Jadikanlah bagian atau hak seorang mukmin darimu, akan tiga hal: Jika engkau tidak memberinya manfaat, jangan engkau memberinya madharat. Jika engkau tak mampu membahagiakannya, jangan engkau beri kesedihan padanya. Jika engkau tak mampu memujinya, jangan engkau cela dia.” (Al-I’lam Bihurmati Ahli ‘Ilmi wal-Islam, Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam, h. 61).
“Malam itu panjang, maka janganlah engkau pendekkan dengan tidurmu. Dan siang itu terang, maka jangan engkau keruhkan dengan dosa-dosamu.” (Ta’lim al-Muta’alim fi Thariqoh at-Ta’alun, Syekh Burhanuddin az-Zarnuji, h. 119).
“Perjalanan dunia bisa ditempuh dengan telapak kaki, sedangkan perjalanan akhirat ditempuh dengan hati.” (Shifatush-Shafwah, Ibnul-Jauzi, IV/93).
“Orang yang bertobat memiliki kebanggaan tak tertandingi oleh kebanggaan apa pun, yaitu kegembiraan Allah dengan tobatnya.” (Shifatush-Shafwah, Ibnul-Jauzi, IV/94).
“Menurutku, keterlenaan/ketertipuan yang terbesar adalah terus menerus berbuat dosa diiringi rasa harap mendapat ampunan Allah tanpa penyesalan. Mengharapkan untuk bisa dekat dengan Allah tanpa diiringi ketaatan, menanti panen surga dengan benih api neraka. Ingin tinggal bersama orang-orang yang taat tapi berbuat maksiat, menunggu-nunggu pahala tanpa berbuat amal, dan mengharap keridhaan Allah, tapi pada saat yang sama melalaikan-Nya.” (Mau’izhatul al-Mu’minin, Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, h. 114).
“Wahai manusia, engkau mencari dunia dengan sungguh-sungguh, dan engkau mencari akhirat dengan usaha (seolah) orang yang tidak membutuhkannya. Padahal, dunia sudah mencukupimu, walaupun engkau tidak mencarinya, sedangkan akhirat hanya didapatkan dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencarinya.” (Ad-Dunya Zhillun Zail, Abdul-Malik al-Qasim, h. 31).
Yahya bin Mu’adz ar-Razi meninggal dunia dalam usia terbilang muda. Meski tidak ditemukan karya berupa kitab darinya, namun namanya tetap dikenang sebagai ahli hikmah yang terus dibicarakan hingga kini. Dan dia bukanlah satu-satunya ahli hikmah yang tidak memiliki karya tulis, banyak lainnya, di antaranya al-Fudhail bin Iyadh, Dzun Nun bin Ibrahim al-Mishri, Abu Ishaq, Ibrahim bin Adham, Bisyir bin al-Harits al-Hafi, Sari bin Mughallas as-Saqati, Saqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Karkhi, dan masih banyak lainnya. Nama-nama mereka tetap abadi dan dikenang sepanjang masa, ditulis dengan tinta emas.
Perbincangan Yahya dan Bayazid al-Bushtami
Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami. Lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sulton Aulia, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada di silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah, Thoriqoh Suhrowardiyah dan beberapa thoriqoh lain.
Akan tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb: “…bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiah.”
Yahya bin Mu’adz-salah seorang tokoh sufi, aulia, waliyulloh zaman itu, menulis surat kepada Abu Yazid. “Apakah katamu mengenai seseorang yang telah mereguk secawan arak dan menjadi mabuk tiada henti-hentinya?”
“Aku tidak tahu,” jawab Abu Yazid. “Yang kuketahui hanyalah bahwa di sini ada seseorang yang sehari semalam telah mereguk isi samudra luas yang tiada bertepi namun masih merasa haus dan dahaga”.
Yahya bin Mu’adz menyurati lagi. “Ada sebuah rahasia yang hendak kukatakan kepadamu tetapi tempat pertemuan kita adalah di dalam surga. Di sana, di bawah naungan pohon Tuba akan kukatakan rahasia itu kepadamu”.
Bersamaan surat itu dia kirimkan sepotong roti dengan pesan, “Syaikh harus memakan roti ini karena aku telah membuatnya dari air zam-zam”.
Di dalam jawabannya Abu Yazid berkata mengenai rahasia yang hendak disampaikan Yahya itu. “Mengenai tempat pertemuan yang engkau katakan, dengan hanya mengingatNya, pada saat ini juga aku dapat menikmati surga dan pohon Tuba, tetapi roti yang engkau kirimkan itu tidak dapat kunikmati. Engkau memang telah mengatakan air apa yang telah engkau pergunakan, tetapi engkau tidak mengatakan bibit gandum apa yang telah engkau taburkan”.
Maka Yahya bin Mu’adz ingin sekali mengunjungi Abu Yazid. Ia datang pada waktu salat Isya’. Yahya berkisah sebagai berikut:
“Aku tidak mau mengganggu Syaikh Abu Yazid. Tetapi aku pun tidak dapat bersabar hingga pagi. Maka pergilah aku ke suatu tempat di padang pasir di mana aku dapat menemuinya pada saat itu seperti dikatakan orang-orang kepadaku. Sesampainya ditempat itu terlihat olehku Abu Yazid sedang salat Isya’. Kemudian ia berdiri di atas jari-jari kakinya sampai keesokan harinya. Aku tegak terpana menyaksikan hal ini.
Sepanjang malam kudengar Abu Yazid berkata di dalam do’anya. “Aku berlindung kepadamu dari segala hasratku untuk menerima kehormatan-kehormatan ini”.
Setelah sadar, Yahya mengucapkan salam kepada Abu Yazid dan bertanya apakah yang telah dialaminya pada malam tadi. Abu Yazid menjawab,”Lebih dari dua puluh kehormatan telah ditawarkan kepadaku. Tetapi tak satu pun yang kuinginkan karena semuanya adalah kehormatan-kehormatan yang membutaan mata”.
“Guru, mengapakah engkau tidak meminta pengetahuan mistik, karena bukankah Dia Raja di antara raja yang pernah berkata, “Mintalah kepadaKu segala sesuatu yang engkau kehendaki?” Yahya bertanya.
“Diamlah!” sela Abu Yazid, “Aku cemburu kepada diriku sendiri yang telah mengenalNya, karena aku ingin tiada sesuatu pun kecuali Dia yang mengenal diri-Nya. Mengenai pengetahuanNya, apakah peduliku? Sesungguhnya seperti itulah kehendakNya, Yahya. Hanya Dia, dan bukan siapa-siapa yang akan mengenal diriNya.”
“Demi keagungan Allah,” Yahya bermohon. “Berikanlah kepadaku sebagian dari karunia-karunia yang telah ditawarkan kepadamu malam tadi.”
“Seandainya engkau memperoleh kemuliaan Adam, kesucian Jibril, kelapangan hati Ibrahim, kedambaan Musa kepada Allah, kekudusan Isa, dan kecintaan Muhammad, niscaya engkau masih merasa belum puas. Engkau akan mengharapkan hal-hal lain yang melampaui segala sesuatu,” jawab Bayazid.
“Tetaplah merenung Yang Maha Tinggi dan jangan rendahkan pandanganmu, karena apabila engkau merendahkan pandanganmu kepada sesuatu hal, maka hal itulah yang akan membutakan matamu.” [Tadzkiratul Auliya—Fariduddin Aththar]