Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, sudah mengetahui bakal terjadi kenaikan harga dan mengumumkannya pada 11 Januari 2021 lalu. Penyebabnya, seperti yang sudah disebutkan tadi.
JERNIH-Pemerintahan terkini pun, sepertinya tak mau belajar dari kejadian yang sudah-sudah hingga lonjakan harga kedelai seolah tak ada obatnya. Hasilnya, opsi paling minim diambil para pengrajin tahu-tempe dengan mengecilkan ukuran dan ujungnya, berhenti produksi.
Padahal, dua panganan ini tak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia sebagai lauk makan sederhana. Belum lagi, soal minyak goreng pun pemerintah seperti tak menemukan jalan terbaik. Tentu saja, baik produsen di hulu, tukang gorengan dan rakyat kebanyakan kudu menghela nafas-nafas tak habis pikir kenapa penguasa tak mampu memecahkan persoalan ini.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, jika kedelai masih impor, maka sudah barang tentu Indonesia berada di area dilematis. Sebab kejadian ini terus berulang. Padalah, dia bilang, kalau mau berpikir cerdas kenapa tidak produksi nasional ditingkatkan.
Jika masalah ini tak segera diselesaikan dengan jangkauan waktu panjang, pada akhirnya konsumenlah yang dirugikan.
“Seharusnya dipikirkan untuk kemandirian kedelai, mosok engga bisa tanam kedelai sih?,” kata Tulus.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, sudah mengumumkan kalau harga kedelai bakal naik beberapa bulan mendatang, sejak tanggal 11 Februari lalu. Penyebabnya, kata Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, suplai di kancah dunia terganggu. Sedangkan Brazil, sebagai salah satu pemasok besar ke Indonesia mengalami penurunan produksi.
Sebelumnya, Brazil diperkirakan bakal mampu memproduksi 140 juta ton pada Januari. Tapi pada kenyatannya, anjlok jadi 125 juta ton. Akibatnya, harga di pasar dunia melonjak-lonjak.
Belum lagi, Amerika sebagai pemasok lainnya ke Indonesia juga mengalami hal serupa. Ditambah, tingginya inflasi mencapai 7 persen, pengurangan tenaga kerja, kenaikan biaya sewa lahan dan ketidak pastian cuaca.
Data Chigaco Board of Trade menyebutkan, pada minggu pertama Februari 2022, harga sudah ada di 15,77 dolar AS per bushel. Jika dihitung eceran, Rp 11.240 perkilogram di tangan importir di dalam negeri. Dengan kondisi yang seperti itu, diduga akan terus naik hingga 15,7 dollar AS per bushel.
Sementara, turunnya harga akan terjadi pada Juli 2022 mendatang ke angka 15,74 dolar AS per bushel di tingkat importir.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, sudah mengetahui bakal terjadi kenaikan harga dan mengumumkannya pada 11 Januari 2021 lalu. Penyebabnya, seperti yang sudah disebutkan tadi.[]