Jernih.co

Ali Haydar Pasha, Amir Mekkah Terakhir Kekhalifahan Utsmani

Ali Haydar Pasha

Ia gigih menentang penindasan Istanbul atas perjuangan nasionalis Arab, termasuk hukuman gantung para pemimpin separatis di Damaskus pada 1916. Dalam sebuah pernyataan yang ditujukan kepada suku-suku Arab yang mendukung pemberontakan, Ali Haydar berkata: “Jangan mencoba melepaskan diri dari Kesultanan Utsmaniyah ketika kondisi dunia secara umum sedang dalam pergolakan. Mengapa kita harus menumpahkan begitu banyak darah Muslim di kedua sisi?”

JERNIH–Kedaulatan Kekhalifahan Turki Usmani (Ottoman) atas kota suci Mekkah dimulai pada 1517, setelah penaklukan Kekaisaran Mamluk di bawah Sultan Salim I, yang sepatutnya mengambil jabatan khalifah. Selanjutnya, sebagaimana memerintah di tempat-tempat lainnya, Turki Usmani memberikan otonomi dengan kepemimpinan oleh para pemimpin lokal yang berjanji setia kepada Ottoman.

Alhasil, meski berganti penguasa, Syarif Mekkah tetap bertahan sebagai penguasa kota Mekkah, melanjutkan dinasti yang telah ada sejak abad ke-10 pada masa pemerintahan Fatimiyah. Merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui cucunya Hassan, syarif adalah anggota klan Bani Hasyim dan mengambil nama “Hasyhemites” (Hasyimiyah).

Posisi sebagai penguasa kota paling suci umat Islam itu memberi mereka posisi penting di hirarki Istana Ottoman, selain keuntungan praktis seperti diperbolehkan membentuk tentara swasta yang besar dan pembebasan dari pajak.

Di “Sharifate” (Kesyarifan), mereka membentuk sebuah institusi yang tetap ada sampai meletusnya pemberontakan Arab melawan Usmani selama Perang Dunia Pertama.

Orang terakhir yang memegang jabatan itu adalah Sharif Ali Haydar Pasha, yang mengemban tugas memastikan kesetiaan Arab kepada Kekhalifahan dan mengakhiri pemberontakan yang dipimpin oleh anggota klannya, Sharif Hussain, yang digulingkan Turki Usmani.

Ali Haydar di Madinah pada 1916, di saat pengangkatannya sebagai syarif Mekkah.

Komitmennya sendiri kepada Turki Usmani harus dibayar mahal. Di tahun-tahun kekalahan Ottoman dalam perang, kekhalifahan pun runtuh, dan pada tahun 1935 kehidupan Ali Haydar berakhir di pengasingan di Lebanon, dengan gelar dan otoritas yang sepenuhnya dilucuti.

Kita akan mengulas kehidupan Ali Haydar pada episode terakhirnya sebagai tangan kanan khalifah Ottoman terakhir, Abdul Majid II, dan sebagai anggota parlemen aktif di badan legislatif Ottoman.

Hidup dalam lingkaran Ottoman

Ali Haydar lahir di Istanbul di rumah kakeknya, Abdul Mutallib, pada tahun 1866. Secara teknis ia merupakan “sandera” Kekaisaran Ottoman untuk memastikan kesetiaan Sharifah di Mekkah kepada Turki.

Tetapi untuk ‘sandera’ ini Istana Turki tidak main-main. Ia mendapatkan pendidikan yang baik, nyaris tak banyak berbeda dengan anak-anak Dinasti Turki Usmani. Meski katakanlah, ia menikmati kehidupan ‘sendok perak’, hanya setengah tingkat di bawah hak-hak anak-anak Istana Ottoman. Faktanya, Ali Haydar Pasha adalah satu-satunya siswa di sekolah kerajaan di Istana Yildiz, yang bukan anggota keluarga kekaisaran.

Hasilnya adalah hubungan persaudaraan dengan keluarga kerajaan. Ia berteman dekat dan melayani sebagai teman terdekat khalifah terakhir, Abdul Majid II. Ia juga berteman dekat dan dipersiapkan untuk peran yang lebih besar di kekhalifahan oleh Sultan Abdul Hamid II, penguasa Ottoman terakhir yang memegang otoritas.

Memang, Abdul Hamid berencana mengangkat Ali Haydar sebagai emir ketika dia mencapai kedewasaan, sebuah rencana yang berakhir dengan penggulingan khalifah pada tahun 1909 setelah meletusnya Revolusi Young Turk.

Ottoman memang telah lama menyukai klan Ali Haydar di dalam dinasti Sharif. Dalam Kesyarifan, Ali Haydar datang dari cabang Zawi Zayd, sementara Sharif Hussain, yang kemudian memimpin pemberontakan Arab, datang dari cabang Awn.

Selama berabad-abad, cabang Zayd adalah penguasa Mekkah. Tetapi pada tahun 1830-an, mantan bawahan Ottoman dan penguasa Mesir, Muhammad Ali Pasha, berperang melawan Sultan, dan mengangkat sharif pilihannya dari cabang Awn.

Oleh karena itu, Awn segera menjadi simbol pemberontakan melawan otoritas Ottoman, dan Istanbul sangat ingin mengembalikan keunggulan cabang favoritnya, Zayd.

Mereka melakukannya dengan mengangkat anggota klan Zayd, dengan Ali Haydar sebagai penerima manfaat utama, mengambil posisi sebagai menteri kabinet di dalam Kementerian Wakaf. Ia kemudian bergabung sebagai anggota parlemen setelah penggulingan Abdul Hamid pada tahun 1908.

Diberkati dengan kekayaan ganda sebagai loyalis Ottoman dan keturunan Nabi, Ali Haydar menjalani kehidupan yang penuh dengan jebakan materi. Dia memiliki dua rumah besar, satu di satu sisi mahal area Istanbul, dengan sekian banyak pelayan, sopir, dan guru privat untuk anak-anaknya.

Melawan nasionalis Arab

Namun, kehidupan penuh prestise itu berakhir cepat, ketika Perang Dunia Pertama pecah. Konflik besar tersebut memberikan momentum yang dibutuhkan gerakan separatis Arab yang sedang berkembang, untuk akhirnya melepaskan diri dari Ottoman. Itu membuat Ali Haydar kecewa.

Menulis tentang kaum nasionalis Arab dalam buku hariannya di awal tahun 1914, dia menulis: “Kebanggaan dan pemujaan diri mereka membuat seolah-olah seluruh dunia Islam akan runtuh, tanpa seorang pun yang cukup kuat untuk menyelamat-kannya.”

Ketika perang dimulai, dengan Utsmaniyah berada di pihak poros Jerman, melawan sekutu barat, prioritas utama Ali Haydar adalah menjaga persatuan antara Arab dan Turki di Kekhalifahan Utsmaniyah.

Ia gigih menentang penindasan Istanbul atas perjuangan nasionalis Arab, termasuk hukuman gantung para pemimpin separatis di Damaskus pada 1916. Dalam sebuah pernyataan yang ditujukan kepada suku-suku Arab yang mendukung pemberontakan, Ali Haydar berkata: “Jangan mencoba melepaskan diri dari Kesultanan Utsmaniyah ketika kondisi dunia secara umum sedang dalam pergolakan. Mengapa kita harus menumpahkan begitu banyak darah Muslim di kedua sisi?”

Pada bulan Juni 1916, Sharif Hussain diberhentikan dari posisinya sebagai Sharif Mekkah dan Ali Haydar menggantikannya. Setelah upacara sederhana, dia berangkat ke Hijaz untuk membantu tentara Ottoman mengatasi pemberontakan.

Ketika dia tiba di Madinah, 15.000 orang Arab bersenjata telah menunggunya, siap menghadapi pemberontakan yang didukung Inggris.

Pada bulan-bulan berikutnya, dia bergegas dari satu front ke front lain, mencoba meyakinkan suku-suku Arab untuk tidak bergabung dalam pemberontakan dan tetap setia kepada Turki.

Itu adalah upaya yang terbukti sia-sia dengan kekalahan Utsmaniyah dan  yang terjadi selanjutnya adalah pendudukan tanah Arab utara oleh pasukan Inggris dan Prancis.

Keadaan berjalan sedikit lebih baik bagi Sharif Hussain, yang kerajaannya di Hijaz ditaklukkan oleh pasukan Saudi pada pertengahan 1920-an, membuka jalan bagi pembentukan negara Saudi.

Republik Turki, pengasingan dan kematian

Pada tahun 1918, Ali Haydar Pasha kembali ke Istanbul, yang berada di bawah pendudukan Inggris setelah kekalahan Ottoman. Menyusuri kota, dengan bepergian dengan feri menuju rumahnya di distrik Camlica Hill Istanbul, Pasha menulis: “Saya memohon kepada Allah untuk membiarkan negara yang indah ini tetap berada di tangan umat Islam.” Keinginannya akan terpenuhi tetapi tidak seperti yang diinginkan oleh loyalis Ottoman yang setia itu.

Pasukan Turki di bawah Mustafa Kemal, kemudian Ataturk, melancarkan “perjuangan nasional” mereka untuk membebaskan daratan Turki dari pendudukan Eropa, dan pada tahun 1923 sebagian besar visi tersebut telah tercapai, termasuk pembebasan Istanbul.

Ali Haydar mengirim kabel ke Ataturk untuk memberi selamat kepadanya atas keberhasilan militernya di Anatolia. Tetapi kegembiraan itu akan diwarnai dengan kesedihan atas apa yang akan terjadi. Pada tahun 1922, Imperium Ottoman tidak ada lagi dan pada tahun 1924 kekhalifahan juga dihapuskan.

Sebagai seorang Muslim yang taat, Ali Haydar menentang adopsi kode budaya barat apa pun, tetapi republik yang baru dibentuk itu bergerak untuk membatasi peran Islam dalam kehidupan publik. Hal itu termasuk adopsi pakaian gaya barat, serta penutupan sekolah-sekolah Islam dan pondok sufi.

Ali haydar di Beirut, Libanon, 194, setahun sebelum eninggal dalam kemiskinan.

Anggota keluarga kerajaan diasingkan, termasuk putra Ali Haydar sendiri, Abdul Majid, yang menikah dengan cucu Sultan Murad V, Rukiye Sultan.

Menolak untuk memakai topi gaya barat seperti yang ditetapkan oleh pemerintah Republik, Ali Haydar lebih memilih untuk tetap berada di dalam rumah, dan, dengan berakhirnya gelontoran gaji, ia terpaksa menjual kuda, mobil, dan barang-barang mewah lainnya.

“Dengan perasaan campur aduk saya mengucapkan selamat tinggal kepada rumah saya untuk terakhir kalinya,” tulisnya dalam buku hariannya, setelah akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat kelahirannya di Turki.

“Ketika kami berlayar, saya tidak tahan melihat terakhir kali Istanbul yang saya cintai, tetapi saya menatap ke arah bukit Uskudar dan memikirkan keluarga saya di Camlica,”tulisnya.

Emir Mekkah terakhir, Ali Haydar Pasha meninggal pada tahun 1935 di Beirut dalam kemiskinan ekstrem tanpa penghasilan, tanpa otoritas dan hanya sedikit penghargaan.

Namun nasib baik masih mendatangi anak-anaknya. Abdul Majid kemudian menjabat sebagai duta besar Yordania untuk Turki, dan yang lainnya menjadi pengusaha, seniman, dan novelis.

Buku harian Ali Haydar Pasha berbahasa Turki, tetapi diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh istri keduanya, Fatma, sebelumnya benama Isabel Dunn, putri seorang perwira Inggris yang bertugas di Istanbul.

Teks itu dikirim ke George Stitt, seorang tentara Inggris yang menjadi teman Ali Haydar selama pendudukan Istanbul. Dia menerbitkan buku harian itu pada tahun 1948 di London, dengan judul “A Prince of Arabia: The Emir Shareef Ali Haider”. [Yusuf Selman Inanc/Middle East Eye]

Exit mobile version