Jernih.co

Cape Verde ke Piala Dunia 2026: Mimpi dari Samudra Atlantik Jadi Kenyataan

Tak ada program naturalisasi besar bin heboh. Dilatih oleh anak negeri yang ditempa kompetisi dalam negeri dan menimba ilmu dari luar. Di dalam tubuh tim, tak ada secuilpun urusan  politik!

JERNIH –  Sorak-sorak bergembira! Rakyat Cape Verde alias Tanjung Verde meluapkan kegembiraan.

Di tengah birunya Samudra Atlantik, ada gugusan pulau kecil yang dulu mungkin nyaris tak terdengar di peta sepak bola dunia. Namun pada tahun 2025, suara dari negeri itu menggema ke seluruh penjuru bumi: Cape Verde — negara dengan penduduk hanya sekitar 600 ribu jiwa — akhirnya lolos ke Piala Dunia 2026. Sebuah pencapaian yang tak hanya mengguncang dunia olahraga, tetapi juga menyalakan bara kebanggaan nasional di hati rakyatnya.

Cape Verde, atau Cabo Verde, adalah republik kepulauan di barat Afrika, sekitar 600 kilometer dari pesisir Senegal. Ibu kotanya, Praia, biasanya tenang dan damai. Namun ketika peluit panjang dibunyikan di laga kualifikasi terakhir yang memastikan tiket ke Piala Dunia, kota itu berubah menjadi lautan manusia. Orang-orang turun ke jalan membawa bendera merah–biru–kuning, menari, bernyanyi, dan meneteskan air mata kebahagiaan.

Bagi mereka ini adalah bukti bahwa negara kecil pun bisa bermimpi besar — dan mewujudkannya. Tidak ada drama, tidak ada polemik. Timnas Tanjung Verde melenggang begitu saja tanpa beban dan menang!

Sosok di balik keajaiban ini adalah Pedro “Bubista” Leitão Brito, pelatih kepala yang memimpin tim dengan ketenangan dan visi tajam. Bubista bukanlah pelatih yang suka berbicara banyak. Ia adalah perancang strategi yang memahami bahwa Cape Verde tak akan bisa menandingi raksasa Afrika dari segi jumlah atau sumber daya. Namun ia menemukan kekuatan lain — identitas dan kebersamaan.

Bubista bukan orang asing. Ia anak asli Cape Verde. Mantan bek tengah yang pernah bermain untuk klub-klub seperti CD Badajoz di Spanyol, Estoril di Portugal, dan ASA di Angola, tempat ia menjuarai liga nasional pada 2002. Sebagai pemain, Bubista juga menjadi kapten timnas Cape Verde dengan total sekitar 28 penampilan internasional.

Setelah pensiun, ia meniti karier sebagai pelatih klub-klub lokal seperti Mindelense, Sporting Praia, dan Batuque, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai pelatih kepala timnas Cape Verde pada 2020. Di bawah arahannya, tim ini menorehkan sejarah besar dengan lolos ke Piala Afrika 2023 hingga perempat final dan kemudian mengamankan tiket ke Piala Dunia 2026, capaian terbesar dalam sejarah sepak bola Cape Verde.

Pendek kata, Bubista ditempa oleh pengalaman lokal, tetapi juga menimba ilmu dari global. Lalu, dengan sabar, Bubista menyatukan para pemain dari diaspora Cape Verde — mereka yang lahir di Portugal, Belanda, Prancis, bahkan Amerika Serikat — dengan para pemain lokal dari liga domestik. Ia menanamkan satu pesan sederhana:

“Kita mungkin berasal dari berbagai pulau dan benua, tapi kita satu hati, satu bendera,” katanya.

Skuad Cape Verde adalah mosaik indah dari keberagaman dan dedikasi. Ada Steven Moreira, bek tangguh yang bermain di Ligue 1 Prancis. Ada Laros Duarte, gelandang elegan yang ditempa di Eropa. Ada pula pemain muda seperti Kevin Lenini dan Sidny Cabral, yang menyalakan semangat baru di lini depan.

Menariknya, tidak ada program naturalisasi besar-besaran. Hampir semua pemain diaspora memiliki darah Cape Verde secara langsung — lahir dari keluarga yang dulu bermigrasi mencari kehidupan baru, kini kembali membawa kebanggaan bagi tanah leluhurnya. Mereka datang bukan karena paspor, tetapi karena rasa cinta dan panggilan jiwa.

Mengapa mereka bisa lolos?

Jawabannya sederhana, tapi dalam: mereka percaya.

Cape Verde tak punya stadion megah, tak punya dana besar, tapi mereka punya tekad. Mereka berjuang dengan disiplin, memanfaatkan setiap peluang, dan menolak menyerah bahkan ketika berhadapan dengan tim-tim Afrika berperingkat jauh lebih tinggi.

Dalam klasemen FIFA, Cape Verde biasanya berada di kisaran peringkat 70–75 dunia — bukan angka yang menakutkan, namun justru menjadi bahan bakar semangat mereka. “Kami kecil, tapi kami tidak takut,” kata Bubista dalam sebuah wawancara usai pertandingan kualifikasi.

Bubista tahu bagaimana mengelola tim. Ia bukan tipe pelatih yang bermain spekulatif. Ia memilih formasi 4-3-3 yang fleksibel, memungkinkan timnya menyerang dengan cepat tanpa kehilangan bentuk pertahanan. Dalam sistem ini, Cape Verde mengandalkan kecepatan di sayap lewat Willy Semedo dan Ryan Mendes, sementara keseimbangan dijaga oleh Kevin Pina dan Jamiro Monteiro di lini tengah.

Bubista tahu bahwa Cape Verde bukan tim yang bisa menguasai bola sepanjang waktu. Maka, ia mengajarkan efisiensi — setiap peluang harus bernilai emas. Timnya jarang membuang waktu dengan umpan-umpan kosong; mereka bergerak cepat dari pertahanan ke serangan dalam hitungan detik. Inilah mengapa Cape Verde dikenal dengan gaya serangan balik cepat yang mematikan.

Di luar taktik lapangan, Bubista dikenal teliti. Ia memperhatikan hal-hal kecil: waktu tidur pemain, kebugaran, hingga suasana tim saat perjalanan jauh. Ia memberi ruang bagi pemain muda, memperkenalkan sistem rotasi yang sehat, dan memperkuat komunikasi antara federasi dan staf pelatih.

Lolosnya Cape Verde ke Piala Dunia bukan sekadar berita olahraga biasa. Ini adalah peristiwa sosial dan nasional. Pemerintah menyiapkan perayaan resmi di Praia; sekolah-sekolah menghentikan kegiatan sejenak untuk menonton tayangan ulang pertandingan bersejarah itu. Dari pulau Boa Vista hingga Santo Antão, semua orang berbicara tentang satu hal: Cape Verde di Piala Dunia.

Di mata dunia, Cape Verde kini menjadi simbol harapan bagi negara-negara kecil. Mereka menunjukkan bahwa kekuatan bukan hanya soal jumlah penduduk atau sumber daya ekonomi, melainkan tentang keyakinan, kerja keras, dan kesatuan visi.(*)

BACA JUGA: Mimpi Piala Dunia 2026 Pupus: Timnas Indonesia Takluk 0-1 dari Irak

Exit mobile version