Site icon Jernih.co

Denok—Wanita Karier yang Nyeri dalam Sepi

ilustrasi

Dan malam makin sunyi. Gerimis jatuh tipis. Udara malam yang dingin menyusup-nyusup. “Akan tiba saatnya kamu menyadari kenyataan itu: Allah telah menjadikan kamu berpasang-pasangan…”

Oleh  : Faisal Baraas*

JERNIH– Sudah beranjak senja, ketika Denok tiba di rumah seorang diri. Ibunya berdiri di balik jendela, memperhatikannya diam-diam. Denok mendorong daun pintu ruang depan, lalu bergegas masuk ke dalam kamar.

Tak sedikit pun ia menoleh ke arah orang tua yang berdiri tegak bagaikan patung itu — perempuan tua itu terhenyak sedih. “Pasti ia tak juga memperhatikannya,” keluh perempuan tua itu dalam hatinya.

Setiap hari ia selalu berdebar memperhatikan anak perempuannya itu ketika pulang kerja dan waktu mendorong daun pintu ruang depan. Dengan perasaan yang tidak menentu, mengharapkan bisa tiba-tiba berubah: Denok pulang dengan senyum yang tempias dan gembira. Tidak seperti hari-hari yang muram selama ini: Denok pulang dengan wajah yang sedih, lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya.

“Mengapa Tuhan tidak secepatnya mempertemukannya dengan seorang lelaki yang suka kepadanya?” desah perempuan tua itu. “Alangkah malang nasibnya.”

Alangkah malang, dan itulah memang yang dirasakan Denok beberapa waktu belakangan ini. Itulah yang tiba-tiba menghantam kesadarannya Sejak tiga bulan yang lalu.

Tiga bulan yang lalu, ia ulang tahun. Sudah begitu tuakah seorang gadis Yang belum juga mempunyai kekasih ketika ia merayakan ulang tahunnya yang ke-35?

Jari-jari tangannya menelusuri beberapa lipatan halus di wajahnya yang pucat itu. Lewat kaca yang terdiam di rumahnya, ia menyaksikan alur yang melingkar-ingkar di sekitar matanya. Alur itu memang halus sekali, hampir tak tampak karena tersembunyi di balik bedak yang melapisi kulitnya. Jari-jari tangannya gemetar, lapisan tipis yang berkilauan itu mulai mengembang di kedua bola matanya.

“Begitu pentingkah seorang lelaki dalam kehidupanku? Apakah artinya kehadiran mereka dalam kehidupan seorang wanita? Ya Tuhan, aku tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Aku tidak bisa memastikan apakah aku membutuhkan seorang lelaki atau tidak.”

Jika aku mesti berjalan seorang diri, adakah menyalahi kodrat? Adakah aneh jika aku memutuskan untuk bisa hidup sendiri?

Bertahun-tahun tak pernah terpikirkan. Tak pernah sehebat ini ketakutan yang datang. Aku terlalu sibuk. Terlalu sibuk kuliah, sibuk bekerja. Aku memang tidak pernah merasa pentingnya kehadiran seorang lelaki dalam hidupku selama ini.

Tapi mengapa tiba-tiba semuanya berubah lain?” Denok menyapa air matanya.

“Ya, Tuhan, tiba-tiba aku merasa ingin dicintai seseorang. Tiba-tiba aku merasa sunyi, jika tak ada lelaki yang menatapku sesaat pun. Mengapa tiba-tiba semuanya berubah lain?”

Pertanyaan “mengapa tiba-tiba semuanya berubah lain” membuatnya tak mengerti. Denok merasa tak mengerti akan dirinya sendiri. Bertahun-tahun ia mengejar kariernya dan tampil sebagai seorang wanita yang maju dan mengagumkan. Gelar sarjana diperolehnya dengan ketekunan yang luar biasa, lalu terjun ke dunia wiraswasta, bergerak dengan gesit, tanggap, teliti, hati-hati, intuitif ….

Hidupnya penuh dengan semangat. Siang malam ia penuh gairah memikirkan pengembangan usahanya. Sebagai seorang pengusaha ia memiliki beberapa kelebihan yang alami. Secara bertahap diraihnya brbagai nasib baik. Perusahaannya berkembang dengan pesat, meliputi berbagai bidang usaha.

“Tapi mengapa tiba-tiba semuanya berubah lain?” keluhnya dalam.  Ibunya yang tua memahami semua itu.

“Sebagai seorang wanita, kita tidak akan merasa lengkap jika tidak mempunyai seorang suami yang mencintai kita,” kata perempuan tua itu dengan suara perlahan. “Dan anak-anak, cucu ….”

Perempuan tua itu tidak melanjutkan kalimatnya. Ia melihat kesedihan meletup dari wajah anaknya. Denok menangis. Sudah lama ia tidak  menangis di hadapan ibunya, bertahun-tahun …

Dan sejak itu, Denok merasa semuanya telah berubah. Jauh di tubir hatinya ia merasa sangat sunyi.

“Ya, Tuhan, aku telah tua …. Aku tidak tahu bagaimana harus memulai dan bagaimana harus menanti. Aku tidak pernah bercinta. Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintai seorang lelaki. Bagaimana caranya mengetahui perasaan seorang lelaki yang mungkin menaruh perhatian pada diriku?

“Aku tidak tahu, ya Tuhan. Aku tidak pernah mengetahui tentang mereka…”

Di malam yang sudah sangat larut itu Denok masih menggeletak di tempat tidurnya. Matanya mengawang dan pikirannya melayang-layang.

Dan malam makin sunyi. Gerimis jatuh tipis. Udara malam yang dingin menyusup-nyusup.

“Akan tiba saatnya kamu menyadari kenyataan itu: Allah telah menjadikan kamu berpasang-pasangan…”

Sayup-sayup suara orang mengaji. Telah subuh. [ ]

*Dokter ahli jantung dan penulis. Tulisan ini diambil dari buku beliau,”Beranda Kita”, Jakarta, Grafitipers, 1985

Exit mobile version