Badan-badan intelijen Amerika menyimpulkan bahwa Rusia, atas perintah Presiden Vladimir V. Putin, ikut campur dalam pemilihan presiden AS 2016
WASHINGTON – Pejabat intelijen AS dalam sebuah briefing yang digelar pekan lalu telah memperingatkan anggota Parlemen (House of Representative) bahwa Rusia akan kembali ikut campur dalam Pilpres 2020. Mereka berusaha memastikan terpilihnya kembali Trump sebagai presiden AS.
Disebut-sebut ada lima orang yang tahu betul dengan persoalan tersebut, sehingga intelijen AS pun mempercayainya. Disebutkan pula, pengungkapan hal itu kepada Kongres membuat marah Trump, yang mengeluh bahwa Partai Demokrat akan menggunakannya sebagai senjata untuk melawannya.
Sehari setelah briefing 13 Februari kepada anggota Parlemen itu Presiden memarahi Joseph Maguire, penjabat direktur intelijen nasional. “Trump marah karena Maguire mengizinkan pertemuan itu terjadi,” kata seorang sumber yang mengerti betul kejadian itu. Trump sangat jengkel karena Senator California dari Demokrat, Adam B. Schiff, seorang pimpinan proses impeachment, hadir di dalamnya.
Selama pengarahan kepada Komite Intelijen DPR itu, sekutu-sekutu Trump terus menentang kesimpulan tersebut, dengan alasan bahwa pihaknya telah bersikap keras terhadap Rusia. Mereka juga menekankan bahwa pihaknya telah memperkuat keamanan Eropa.
Beberapa pejabat intelijen melihat briefing itu sebagai kesalahan taktis. Bisa saja sebuah kesimpulan dinyatakan tanpa cara yang memperuncing persoalan. Bisa juga hal itu ditinggalkan sepenuhnya untuk menghindari kemarahan Partai Republik. Pejabat intelijen yang menyampaikan pengarahan itu, Shelby Pierson, adalah ajudan Maguire dan memiliki reputasi untuk berbicara terus terang apa adanya.
Meskipun para pejabat intelijen sebelumnya mengatakan kepada anggota Parlemen bahwa keikutcampuran Rusia telah dan masih terus berlangsung, pengarahan pekan lalu termasuk apa yang tampaknya menjadi informasi baru: bahwa Rusia bermaksud untuk mengganggu pemilihan pendahuluan Partai Demokrat tahun 2020, sebelum kemudian Pilpres.
Pada Rabu (19/2) lalu, Presiden mengumumkan bahwa ia menggantikan Maguire dengan Richard Grenell, duta besar untuk Jerman dan pendukung Trump yang vokal dan agresif. Meskipun beberapa pejabat saat ini dan mantan pejabat berspekulasi bahwa briefing mungkin memainkan peran dalam langkah itu, dua pejabat administrasi mengatakan waktunya tidak sengaja. Grenell telah berdiskusi dengan pemerintah untuk mengambil peran baru, kata mereka, sementara Trump tidak pernah merasakan hubungan yang erat dengan Maguire.
Juru bicara untuk Kantor Direktorat Intelijen dan Keamanan Nasional menolak berkomentar. Seorang juru bicara Gedung Putih pun tidak segera menanggapi permintaan New York Times untuk berkomentar.
Seorang pejabat Komite Intelijen DPR mengatakan, briefing pada 13 Februari itu digelar untuk mengabarkan pembaruan penting tentang ‘integritas Pemilu yang akan datang’. Ia juga mengatakan bahwa anggota Komite dari kedua partai hadir, termasuk Senator Devin Nunes dari California, senator Republikan dengan posisi teratas dalam komite.
Dalam sebuah tweet pada Kamis (20/2) malam, Schiff mengatakan bahwa tampaknya Trump “…lagi-lagi membahayakan upaya kami untuk menghentikan campur tangan asing”, dengan keberatannya terhadap pengarahan tersebut.
Trump telah lama menuduh penilaian komunitas intelijen atas campur tangan Rusia 2016 sebagai karya dari ‘konspirasi internal negara’ yang bermaksud merusak keabsahan pemilihannya. Pejabat intelijen merasa tersulut oleh pengalaman setelah pemilihan terakhir, ketika pekerjaan mereka menjadi subyek perdebatan politik yang intens dan sekarang menjadi fokus penyelidikan Departemen Kehakiman.
Sebagian dari kemarahan presiden berasal dari keengganan pemerintah untuk memberikan informasi yang rumit kepada Schiff. Dia sendiri telah menjadi pengkritik utama Trump sejak 2016, yang dengan gigih menyelidiki campur tangan Rusia dalam Pilpres, seraya memimpin penyelidikan pemakzulan ke dalam persoalan hubungan Presiden Trump dengan Ukraina.
Trump, menurut seorang dalam yang tahu masalah itu, mengeluhkan Schiff akan menggunakan info intelijen tentang dukungan Rusia untuknya itu sebagai senjata. “Dia marah karena dia tidak diberitahu sesegera mungkin tentang pengarahan itu,” kata dia.
Trump telah terpaku pada Schiff sejak kisah pemakzulan dimulai. Trump bahkan menyerangny di depan umum dengan penghinaan dan tuduhan korupsi yang tidak berdasar. Pada Oktober lalu Trump menolak untuk mengundang anggota parlemen dari Komite Intelijen Kongres ke Gedung Putih guna memberikan pengarahan tentang Suriah, semata karena tidak menginginkan Schiff berada di sana.
Pierson—orang yang memberikan briefing, menurut para pakar intelijen, memberikan kesimpulan sebagaimana dipercayai kalangan intelijen, bukan pendapatnya sendiri. The Washington Post pertama kali melaporkan konfrontasi di Ruang Oval antara Trump dan Maguire, tetapi bukan substansi ketidaksepakatan.
Komunitas intelijen pada 2017 lalu mengeluarkan penilaian bahwa Presiden Vladimir V. Putin secara pribadi memerintahkan dilakukanmnya berbagai upaya untuk memengaruhi Pilpres tahun sebelumnya, dengan maksud untuk memastikan keterpilihan Trump. Tetapi Partai Republik telah lama berpendapat bahwa kampanye Moskow itu dimaksudkan untuk menabur kekacauan, bukan untuk membantu Trump secara khusus.
Beberapa Republikan menuduh agen intelijen negara telah menentang Trump, tetapi para pejabat intelijen menolak tuduhan itu. Mereka dengan tegas menjaga pekerjaan mereka sebagai non-partisan, dengan mengatakan itu adalah satu-satunya cara untuk memastikan validitasnya.
Di internal DPR sendiri, Senator Chris Stewart, seorang Republikan dari Utah yang telah dipertimbangkan untuk menjabat direktur Komisi Intelijen DPR, adalah orang-orang di antara Partai Republik yang menentang kesimpulan tentang dukungan Rusia untuk Trump itu. Stewart bersikeras bahwa presiden telah secara agresif menghadapi Moskow, menyediakan senjata anti-tank ke Ukraina untuk perang melawan separatis yang didukung Rusia dan memperkuat aliansi NATO dengan sumber daya baru.
Stewart menolak untuk membahas briefing tetapi mengatakan bahwa Moskow tidak punya alasan untuk mendukung Trump. Dia menunjuk pekerjaan presiden untuk menghadapi Iran, sekutu Rusia, dan mendorong kemandirian energi Eropa dari Moskow. “Saya akan menantang siapa pun untuk memberikan saya argumen nyata bahwa Putin lebih suka memilih Presiden Trump dan bukan Bernie Sanders,” kata Stewart dalam sebuah wawancara.
Di bawah Putin, intelijen Rusia telah lama berupaya menggerakkan kekacauan di seluruh dunia. Amerika Serikat dan sekutu-sekutu utamanya pada Kamis (20/2) lalu menuduh intelijen militer Rusia–kelompok yang bertanggung jawab atas sebagian besar campur tangan Pemilu AS 2016, sebagai pihak di belakang serangan cyber terhadap negara tetangga Rusia, Georgia, melalui situs web dan siaran televisi.
“Rusia telah mempersiapkan dan akan kembali bereksperimen untuk Pilpres 2020, tidak terpengaruh oleh upaya Amerika untuk menggagalkan mereka, meski sadar bahwa mereka membutuhkan buku pedoman baru tentang metode yang belum terdeteksi,” kata seorang pejabat AS.
Dia menyatakan, pihak Rusia telah menggunakan Facebook dan media sosial lainnya secara lebih kreatif. Alih-alih meniru identitas orang Amerika seperti yang mereka lakukan pada tahun 2016, para operator Rusia bekerja untuk membuat orang Amerika mengulangi informasi yang salah. Strategi itu mengatasi aturan perusahaan media sosial yang melarang ‘pidato tidak autentik’.
Mereka menilai, Rusia bekerja dari server di Amerika Serikat, bukan di luar negeri. Dengan demikian mereka juga mengetahui bahwa agen-agen intelijen Amerika dilarang beroperasi di dalam negeri. “Peretas Rusia juga menyusup ke unit perang cyber Iran, mungkin dengan maksud melancarkan serangan yang kelihatannya berasal dari Teheran,” kata Badan Keamanan Nasional beberapa waktu lalu.
Beberapa pejabat percaya bahwa kekuatan asing, mungkin termasuk Rusia, dapat menggunakan serangan ransomware, seperti yang telah berhasil melemahkan beberapa pemerintah daerah, untuk merusak atau mengganggu sistem pemungutan suara atau database pendaftaran.
Namun, sebagian besar tujuan Rusia mirip dengan gangguannya pada 2016, kata para pejabat: mencari masalah yang memicu kontroversi di Amerika Serikat dan menggunakan berbagai metode untuk memicu perpecahan. Salah satu tujuan utama Moskow, menurut mereka, adalah untuk melemahkan kepercayaan pada sistem pemilihan Amerika. “Mereka berusaha untuk menabur keraguan tentang pemilihan umum dan penghitungan ulang,” kata kalangan intelijen, yang mungkin dendam karena merasa dipecundangi Rusia.
Baik Partai Republik dan Demokrat meminta badan-badan intelijen untuk menyerahkan materi yang mendasari kesimpulan mereka bahwa Rusia kembali mendukung pemilihan Trump.
Meskipun kesimpulan intelijen menyatakan bahwa Rusia berusaha untuk ikut campur dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat tahun 2020, adalah baru, laporan 2019 dari penasihat khusus Robert S. Mueller III menegaskan, ada referensi tentang keinginan Rusia untuk membantu Sanders dalam kampanye pemilihan presiden melawan Hillary Clinton pada 2016. Laporan tersebut mengutip dokumen-dokumen internal dari Internet Research Agency, sebuah pabrik troll yang disponsori oleh intelijen Rusia, dalam rangka untuk operasinya: “Gunakan setiap kesempatan untuk mengkritik Hillary dan sisanya kecuali untuk Sanders dan Trump – kami mendukung mereka.” [Washingtonpost/NewYorkTimes]