Bisikan Lambiase menjadi modal Verstappen memilih taktik dan strategi tepat. Terutama di saat-saat genting di lintasan F1. Bagaimana keduanya saling berkomunikasi? Simak aksi duet maut di lintasan F1 berikut.
JERNIH – Di dalam hiruk pikuk Formula 1, di mana sorotan kamera sering kali hanya menangkap kilat mobil dan wajah pembalapnya, ada figur yang menjadi jembatan vital antara mesin yang mengaum dan otak yang mengendalikannya. Dia adalah Gianpiero Lambiase, atau yang akrab disapa GP.
Seperti yang terjadi di sirkuit Italia dan Azerbaijan lalu. Lambiase adalah pembisik Verstappen hingga mampu menyabet juara 1 di dua GP.

Bagi Max Verstappen, sang juara dunia bertahan, Lambiase bukan sekadar suara di radio – dia adalah otak strategi, penenang di momen krisis, dan arsitek di balik setiap keputusan krusial yang membawa Verstappen dan Red Bull Racing meraih gelar. Artikel esai ini akan mengupas secara detil sosok Gianpiero Lambiase, perannya yang multi-dimensi, dinamika uniknya dengan Verstappen, dan mengapa dia menjadi salah satu race engineer paling berpengaruh di era modern F1.
Lahir di Italia pada tahun 1975, Lambiase membawa DNA negara yang kaya akan motorsport dan rekayasa presisi. Jalurnya menuju F1 bukanlah jalan pintas. Dia memulai karirnya di dunia balap touring car (WTCC) dan Formula 3000, mengasah kemampuan teknik dan pemahaman dinamika balap. Pengalaman ini memberinya fondasi kokoh dalam mengelola data, memahami perilaku kendaraan, dan berkomunikasi efektif dengan pembalap di bawah tekanan tinggi.
Langkah krusial datang pada tahun 2005 ketika dia bergabung dengan tim Jordan Grand Prix, yang kemudian bertransformasi menjadi Midland F1, Spyker F1, dan akhirnya menjadi Force India. Di sinilah Lambiase mulai membangun reputasinya. Dia bekerja sebagai race engineer untuk pembalap seperti Adrian Sutil, Paul di Resta, dan Sergio Perez. Periode ini adalah “sekolah keras” baginya. Dia belajar mengelola sumber daya tim yang terbatas, membuat keputusan strategi yang cerdas di tengah keterbatasan, dan yang terpenting, membangun kepercayaan dengan pembalap yang memiliki karakter berbeda. Pengalamannya di Force India, yang sering kali menjadi “pembunuh raksasa” di tengah grid, membuktikan kemampuannya untuk memaksimalkan potensi mesin yang mungkin bukan yang tercepat sekalipun.
Tahun 2016 menjadi titik balik karir Lambiase. Red Bull Racing, yang sedang dalam masa transisi setelah kepergian Sebastian Vettel dan mencari mitra ideal untuk talenta muda dan eksplosif Max Verstappen, merekrutnya. Keputusan ini ternyata sangat jitu. Lambiase bukan hanya membawa pengalaman teknis yang mumpuni, tetapi juga kemampuan manajemen pembalap yang dibutuhkan untuk meng-handle Verstappen yang saat itu masih mentah, penuh ambisi, dan tidak ragu menyuarakan kekesalannya di radio.
Dinamika antara Lambiase dan Verstappen berkembang pesat. Mereka membentuk salah satu kemitraan race engineer-pembalap paling sukses dan ikonik dalam sejarah F1 modern.
Verstappen tahu bahwa setiap instruksi atau data yang disampaikan Lambiase melalui radio adalah hasil analisis mendalam dan pertimbangan terbaik untuk memenangkan balapan. Sebaliknya, Lambiase percaya penuh pada umpan balik Verstappen tentang perilaku mobil dan kondisi trek. Kepercayaan ini memungkinkan komunikasi yang sangat efisien, bahkan seringkali hanya dengan kata-kata singkat atau kode yang sudah mereka pahami bersama.
Lambiase dikenal dengan gaya komunikasinya yang langsung, jelas, dan tidak berbelit-belit. Di tengah kecepatan lebih dari 300 km/jam, tidak ada ruang untuk ambiguitas. Dia menyampaikan informasi penting (posisi rival, strategi pit, kondisi ban, peringatan) dengan presisi.
Dia juga tidak segan memberi tahu Verstappen jika ada masalah atau jika pembalap perlu menyesuaikan gaya mengemudi. Kejujuran ini, meski terkadang memicu reaksi emosional dari Verstappen di radio, justru memperkuat hubungan mereka karena keduanya tahu tujuannya sama: hasil terbaik.
Lambiase memahami karakter Verstappen dengan sangat baik. Dia tahu kapan harus menjadi penenang di saat pembalap frustrasi (misalnya saat ada masalah teknis atau terhalang lalu lintas), kapan harus menjadi penegas untuk mendorong performa maksimal, dan kapan harus memberi ruang bagi pembalap untuk fokus.
Dia seperti “penyerap” tekanan, memfilter informasi yang masuk ke Verstappen sehingga sang pembalap bisa berkonsentrasi penuh pada mengemudi. Contoh klasik adalah saat dia berhasil menenangkan Verstappen yang marah besar di radio GP Austin 2023 akibat penalti, dengan mengalihkan fokus pada apa yang masih bisa dikontrol.(*)
BACA JUGA: Cadillac Sang Kuda Besi Amerika Siap Menggebrak F1 2026