Site icon Jernih.co

Kepemimpinan Akan Jadi Sumber Penyesalan

ilustrasi

“Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah menyahutnya, “Amir Al-Mukminin! Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat kelak, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia laksana ayahandamu sendiri, setiap Muslim yang usia muda laksana saudaramu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak laksana putramu sendiri. Dan, perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahanda, saudara, dan putranya.”

JERNIH—Al-Rabi’! Malam ini, bawalah aku kepada seseorang yang kuasa menun-jukkan kepadaku, siapakah sejatinya aku ini. Demikian ujar Harun Al-Rasyid, pada suatu malam, kepada Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus, menteri utama Dinasti ‘Abbasiyyah saat itu. Kala itu, mereka sedang berada di Mekah untuk menunaikan ibadah haji.

“Ada keperluan apa, wahai Amir Al-Mukminin?”

“Entah mengapa, saat ini aku merasa jemu sekali dengan segala kebesaran dan ke-banggaan yang telah kurengkuh dan kunikmati selama ini!”

Mendengar keluhan tersebut, Abu Al-Fadhl Al-Rabi’ bin Yunus lantas membawa Harun Al-Rasyid ke rumah Sufyan bin ‘Uyainah, tokoh yang dikenal sebagai ahli hadis dan tafsir Al-Quran di Kota Suci. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Sufyan bin Uyainah bin Maimun Al-Hilali Al-Kufi.

Mendengar seseorang mengetuk pintu, Sufyan bin Uyainah menyahut, “Siapakah di luar?”

“Amir Al-Mukminin!” jawab Abu Al-Fadhl Al-Rabi’ bin Yunus.

“Mengapakah Amir Al-Mukminin sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak dikabarkan saja kepada saya sehingga saya datang sendiri untuk menghadap?”

Mendengar ucapan tersebut, Harun Al-Rasyid berkata kepada sang menteri utama, “Al-Rabi‘! Dia bukan orang yang kucari. Dia pun menjilat seperti yang lain-lainnya.”

Ucapan itu ternyata didengar sang ulama Mekkah. Dia pun berujar, “Bila demikian, wahai Amir Al-Mukminin, Al-Fudhail bin ‘lyadh adalah orang yang engkau cari. Pergilah kepadanya.”

Usai mengatakan itu, Sufyan bin Uyainah kemudian membaca ayat Al-Quran,”Tidakkah engkau melihat bahwasanya mereka mengembara di setiap lembah dan suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak melaksanakan(nya), kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh dan banyak menyebut Allah.” (QS Al-Syu‘ara’ [26]: 224-227).

Harun Al-Rasyid pun menimpali, “Andai aku menginginkan nasihat yang baik, tentu ayat itu mencukupi bagiku.”

Mereka lantas menuju rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh, ulama Mekkah yang terkenal hidup sangat sederhana. Mendengar ketukan di pintu rumahnya, Al-Fudhail bertanya dari dalam, “Siapakah di luar?”

“Amir Al-Mukminin!” jawab Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.

“Apakah urusan dia dengan aku dan urusanku dengan dia?”tanya Al-Fudhail.

“Al-Fudhail! Bukankah merupakan kewajiban rakyat untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?”kata Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus menyergah.

“Janganlah kalian mengganggu aku!”

“Haruskah aku mendobrak pintu dengan kekuasaanku sendiri atau dengan perintah Amir Al-Mukminin?” sahut Abu Al-Fadhl Al-Rabi‘ bin Yunus.

“Tiada sesuatu pun yang disebut kekuasaan!”ujar Al-Fudhail, “Jika engkau dengan paksa mendobrak masuk. Engkau tentu tahu apa yang harus engkau lakukan!”

Harun Al-Rasyid kemudian masuk ke rumah Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Al-Fudhail lantas meniup lentera di depannya hingga padam agar dia tidak dapat melihat wajah sang khalifah. Harun Al-Rasyid kemudian mengulurkan tangannya dan disambut tangan Al-Fudhail yang kemudian berucap, “Betapa lembut dan halus tangan ini! Kiranya tangan ini terhindar dari api neraka!”

“Tuan Guru! Berilah aku nasihat,”ujar Harun Al-Rasyid.

“Leluhurmu, paman Rasulullah Saw (Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib), pernah meminta kepada Nabi Saw. agar dirinya dijadikan pemimpin bagi sebagian umat manusia. Apa jawaban Rasulullah Saw? “Paman, bukankah aku pernah mengangkat engkau untuk sesaat sebagai pemimpin dirimu sendiri?” Dengan jawaban itu Rasulullah Saw. memaksudkan bahwa sesaat mematuhi Allah adalah lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi umat manusia. Kemudian Rasulullah Saw. menambahkan,”Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan di Hari Kebangkitan kelak.”

“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,” pinta Harun Al-Rasyid.

“Ketika diangkat sebagai penguasa, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz lantas memanggil Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab, Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah bin Jarwal Al-Kindi, dan Abu Hamzah Muhammad bin Ka’b bin Salim bin Asad Al-Qurazhi. ‘Umar mengatakan kepada mereka, “Hatiku sangat gundah dengan musibah ini. Apakah yang harus kulakukan? Aku tahu, kedudukan tinggi ini merupakan musibah, walau orang-orang lain memandang kedudukan sebagai karunia.”

“Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah menyahutnya, “Amir Al-Mukminin! Jika engkau ingin terlepas dari hukuman Allah di akhirat kelak, pandanglah setiap Muslim yang lanjut usia laksana ayahandamu sendiri, setiap Muslim yang usia muda laksana saudaramu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak laksana putramu sendiri. Dan, perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya seseorang memperlakukan ayahanda, saudara, dan putranya.”

“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu,”kata Harun Al-Rasyid.

“Abu Al-Miqdam Raja’ bin Haiwah lebih lanjut berucap, “Wahai Amir Al-Mukminin! Anggaplah negeri yang engkau pimpin laksana rumahmu sendiri dan penduduknya laksana keluargamu sendiri. Jenguklah ayahandamu, hormatilah saudaramu, dan bersikap baiklah kepada putramu. Kusayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar hangus di neraka. Takutlah kepada Allah dan taatilah perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah bijak karena di Hari Kebangkitan kelak Allah akan meminta pertanggungjawabanmu seputar setiap Muslim yang engkau pimpin dan Dia akan memeriksa apakah engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Ingatlah, manakala ada seorang perempuan uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari kebangkitan kelak dia akan menarik pakaianmu dan memberikan kesaksian yang akan memberatkan dirimu!”

“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”

“Abu Hamzah Muhammad bin Ka’b kemudian tampil memberikan nasihat, “Amir Al-Mukminin! Engkau memiliki keberanian. Andai dirimu terdapat kekurangan dan kekhilafan, kita akan mengobatinya. Pegang teguhlah agama dan pikiran yang rasional, semua itu akan menopang dirimu dan menjadi kendali dirimu. Waspadalah terhadap orang yang mencintaimu karena ada pamrih terhadap dirimu. Karena manakala pamrih itu telah terpenuhi, cintanya akan sirna. Manakala engkau melakukan suatu kebaikan, peliharalah betul kebaikan itu. Dan, jadikanlah dunia sebagai tempatmu berpuasa dan akhirat sebagai tempatnya berbuka.”

“Tuan Guru, lanjutkanlah nasihatmu itu!”

“Abu ‘Umar Salim bin ‘Abdullah kemudian tampil memberikan nasihat, “Amir Al-Mukminin! Buatlah rakyat rela dengan sesuatu yang dirimu rela terhadap sesuatu itu. Juga, buatlah mereka tidak menyukai sesuatu yang dirimu tidak menyukai sesuatu itu, Dengan demikian, engkau selamatkan mereka dan mereka menyelamatkan engkau.”

Mendengar nasihat dan petuah demikian, Harun Al-Rasyid  termenung begitu lama dalam deraian air mata. [  ]

Sumber  : Islamic Golden Stories

Exit mobile version