Oleh : Narzanin Massoumi*
Banyak negara Eropa mengawasi dan menginteli Muslim, seolah mereka ancaman terhadap keberlangsungan bangsa. Sentimen anti-Muslim telah bergerak komprehensif dari pinggiran masyarakat ke jantung pemerintahan.
JAKARTA– Kita hidup di zaman Islamofobia. Pada bulan Februari, dua serangan kekerasan terhadap Muslim terjadi di Eropa. Satu di Hanau, Jerman, lainnya di London, terjadi nyaris bersamaan dalam 24 jam. Meskipun situasinya berbeda–penyerang di Hanau meninggalkan “manifesto” penuh dengan teori konspirasi sayap kanan, sementara motivasi penyerang London tak meyakinkan buat apa. Tetapi target mereka sama: Muslim.
Kedua peristiwa itu menambah daftar serangan kekerasan terhadap Muslim di seluruh Eropa. Pada 2018 saja, insiden Islamofobia di Prancis mengalami peningkatan 52 persen; di Austria naik sekitar 74 persen, dengan terjadi 540 kasus. Itu merupakan puncak dari satu dekade serangan yang terus meningkat pada umat Islam, dan sangat mengekspresikan sikap antipati yang meluas kepada Islam. Sekitar 44 persen orang Jerman, misalnya, melihat adanya ‘kontradiksi mendasar antara Islam dan budaya serta nilai-nilai Jerman’. Angka yang sama di Finlandia tercatat 62 persen, di Italia 53 persen. Menjadi seorang Muslim di Eropa berarti tidak dipercaya, dan rentan.
Di seluruh benua biru itu, organisasi dan individu Islamofobia telah mampu memajukan agenda mereka. Gerakan jalanan Islamofobia dan partai politik menjadi lebih populer. Ide-ide mereka telah dimasukkan ke–dan dalam beberapa kasus, diumpankan oleh lembaga negara modern, yang mengawasi dan menginteli Muslim, menjadikan mereka sebagai ancaman terhadap kehidupan bangsa.
Dari jalanan ke Gedung-gedung Lembaga negara, Islamofobia dimasukkan ke dalam kehidupan politik Eropa.
Proses untuk menjadikan hal itu sudah berlangsung hampir 20 tahun. “Perang melawan teror”–yang memilih Muslim dan Islam sebagai ancaman peradaban Barat, menciptakan kondisi Islamofobia yang tersebar luas. Secara internasional, itu menyebabkan ketidakstabilan dan meningkatnya kekerasan, dengan munculnya Negara Islam sebagai konsekuensinya. Di dalam negeri, baik di Eropa dan Amerika Serikat, kebijakan kontraterorisme baru sangat lagi menargetkan Muslim.
Di Inggris, misalnya, Anda 150 kali lebih mungkin dihentikan dan digeledah di bawah jadual diberlakukannya 7 Uu Terorisme–undang-undang kejam yang memungkinkan orang-orang harus dihentikan di pelabuhan tanpa “kecurigaan yang masuk akal”, jika Anda seorang keturunan Pakistan, daripada jika Anda berkulit putih. Kemudian ada juga kebijakan yang mengatasnamakan “melawan ekstremisme”, yang fokus pada ancaman radikalisasi dan ekstremisme. Di seluruh tempat di Eropa, termasuk di Uni Eropa, kebijakan semacam itu memperluas pemolisian dan kontraterorisme untuk menargetkan ekspresi ideologi politik dan identitas keagamaan. Dalam praktiknya, umat Islam sah diperlakukan sebagai objek kecurigaan.
Dalam situasi penuh curiga ini, jaringan organisasi dan individu yang berkhotbah tentang “ancaman” Islam telah berkembang. Dikenal sebagai “gerakan kontra-jihad,” ia ada sebagai spektrum di seluruh Eropa dan Amerika dari—sebagaimana Liz Fekete, direktur Institute of Race Relations, “kekuatan pejuang jalanan di satu ujung dan konservatif budaya dan penulis neokonservatif di sisi lain”. Di Eropa, kelompok-kelompok seperti Stop Islamisasi Denmark dan Liga Pertahanan Inggris telah menjadi basis kekuatan yang mendorong kekerasan terhadap Muslim.
Di Amerika Serikat, setidaknya ada lima organisasi yang menggunakan Islamophobia sebagai isu dan cara hidup dan menghidupi, antara lain Middle East Forum dan Center for Security Policy. Gerakan yang didanai apa yang disebut Center for American Progress sebagai “Jaringan Islamophobia”, dengan tautan kepada tokoh-tokoh senior dalam politik AS. (Kita sering menyebut mereka para hawkish di sini—redaksi Jernih). Gerakan mereka yang sukses terlihat dari apa yang disebut Donald Trump sebagai ‘Muslim ban’, sebagai ekspresi utama.
Terlebih lagi manakala partai-partai sayap kanan yang tumbuh di sekitar Islamophobia dan politik kontra-jihad banyak yang terpilih dengan sukses. Vlaams Belang di Belgia, Sweden Democrats di Swedia, Alternative for Germany di Jerman, dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi partai dengan dukungan publik yang besar. Ide-ide mereka kini telah berbaur dengan retorika dan kebijakan partai-partai kanan tengah di seluruh Eropa.
Lihatlah, para pemimpin politik kanan-tengah, telah berulang kali memperingatkan adanya ‘terorisme Islam’ (Kanselir Jerman Angela Merkel) dan ketidakcocokan dengan antara nilai-nilai Eropa dengan ‘separatisme Islam’ (Presiden Emmanuel Macron dari Prancis). Bentuk-bentuk pelarangan jilbab Muslim di berbagai ruang public–mulai dari larangan jilbab di sekolah-sekolah Prancis dan pembatasan bagi guru di beberapa negara bagian Jerman, hingga pelarangan langsung terhadap niqab yang menutupi wajah di ruang publik di Denmark, Belgia dan Prancis, menunjukkan bagaimana sentimen anti-Muslim telah bergerak secara komprehensif dari pinggiran masyarakat ke jantung pemerintahan.
Inggris-lah yang memimpin. Pada 2011, negara itu memperluas ruang lingkup kebijakan counter-extremisme-nya yang dikenal sebagai Prevent, untuk memasukkan manifestasi “tanpa kekerasan” dan juga “kekerasan”. Perubahan itu dapat ditelusuri kepada elemen neokonservatif dari gerakan kontra-jihad. Itulah hasil lobi Lembaga bernama Policy Exchange and the Centre for Social Cohesion (kini bagian dari Henry Jackson Society). Keduanya secara luas dianggap sebagai think tank kalangan neokonservatif, yang mengamankan jalan untuk represi yang ada. Perluasan ruang lingkup kebijakan itu secara efektif telah mengubah guru sekolah, dokter dan perawat menjadi bagian dari operasi polisi, dan setiap Muslim menjadi ancaman keamanan potensial. Persis sebagaimana ‘intelisme’ dalam novel George Orwell, ‘1984’.
Di Inggris, kita dapat melihat lingkaran setan Islamofobia, yang direplikasi dalam beberapa bentuk di seluruh Eropa. Negara memperkenalkan undang-undang yang secara efektif menargetkan kaum Muslim, yang pada gilirannya mendorong dan memberanikan gerakan kontra-jihad–yang kebijakan-kebijakan tertulis, polemik dan protesnya mendorong negara untuk memperluas legislasi, yang semuanya mengkriminalkan identitas Muslim. Hasilnya tak lain untuk mengipasi sentimen Islamofobia di masyarakat luas.
Likewise, the attacker in Hanau fixated on crime committed by nonwhite immigrants and possessed what the German authorities have called “a deeply racist mind-set.” Both drew from the groundswell of Islamophobic rhetoric that has accompanied policies that single out Muslims for special scrutiny. But both operated alone, and neither maintained links to any organization or party. Their actions were their own.
Atmosfera seperti itu memunculkan kekerasan yang rumit. Anders Breivik, orang Norwegia yang membunuh 77 orang pada tahun 2011, menggambarkan pembantaiannya sebagai upaya untuk menangkal ‘Eurabia’—teori yang dipopulerkan Bat Ye’or dan dengan bersemangat diambil alih Gerakan Kontra-Jihad, bahwa Eropa akan dijajah dunia Arab. Para penyerang di Hanau, bagi otoritas keamanan Jerman juga dilihat sebagai memiliki ‘pola pikir yang sangat rasis’. Tetapi sejauh ini apparat menyatakan bahwa mereka tak tertaut kepada organisasi atau pihak mana pun. Tindakan mereka “murni dilakukan mereka sendiri”. Katanya.
Garis kebijakan untuk bertindak, dari retorika ke kekerasan, sangat sulit untuk ditarik. Proses penyebaran Islamofobia ke seluruh masyarakat Eropa merupakan proses yang kompleks, multicausal alias dikarenakan beragam sebab, dan tanpa akhir.
Tapi itu tidak berarti semua itu ‘comes from nowhere’. [TheNewYorkTimes]
Narzanin Massoumi adalah pengajar di University of Exeter, Inggris, dan co-editor “What Is Islamophobia?”